Kamis, 30 April 2015

Konferensi Asia Afrika dan Hukum Internasional

Konferensi Asia Afrika dan Hukum Internasional

Damos Agusman  ;  Pemerhati dan Pengajar Hukum Internasional;
Lulusan S-3 Goethe University of Frankfurt
KOMPAS, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Peringatan Konferensi Asia Afrika pekan lalu lebih banyak dimaknai sebagai fenomena hubungan dan politik internasional. Kontribusinya dalam melahirkan norma baru hukum internasional jarang terkuak; kalau pun ada, masih terbatas di kalangan komunitas akademis pemerhati hukum ini.

Kota Bandung telah melahirkan embrio beberapa norma hukum internasional yang dewasa ini dinikmati hampir seluruh negara berkembang. Sebelum Konferensi Asia Afrika (KAA), norma hukum internasional adalah produk Barat. Kumpulan norma hukum ini sudah lahir sebelum negara-negara berkembang lahir dan langsung mengikat sejak kelahiran mereka.

Norma utama yang lahir dari kota ini adalah ”dekolonisasi” dan hak penentuan nasib sendiri oleh rakyat di bawah pemerintahan kolonial. Sejak KAA, kolonialisme yang pada periode itu masih halal telah berubah secara drastis menjadi haram. KAA telah berhasil mengkriminalkan kolonialisme yang diciptakan kolonial Barat.

Dekolonisasi adalah norma baru karena Piagam PBB sendiri tidak pernah mengharamkannya. Dalam Paragraf D (a) Komunike Akhir KAA, ke-25 negara secara lantang untuk kali pertama menyebut kolonialisme dengan semua manifestasinya sebagai ”iblis” yang perlu dihentikan. Kriminalisasi terhadap kolonialisme ini akhirnya memicu kemerdekaan berbagai negara belahan Asia dan Afrika. Lahirnya norma dekolonisasi baru ini sangat unik.

Biasanya lahirnya norma-norma hukum internasional harus melalui proses yang lama serta membutuhkan persetujuan dari negara-negara. Namun, norma dekolonisasi ini lahir dan langsung mendapat pengakuan internasional secara serta-merta tanpa harus disetujui oleh negara-negara kolonial itu sendiri. Ini disebut ius cogens, yaitu norma hukum yang bersifat fundamental yang eksistensinya tidak dapat dikesampingkan oleh norma-norma hukum lainnya. Contoh jenis norma ini adalah larangan perbudakan dan penyiksaan yang, terhadap norma ini, tidak mungkin dilakukan asas pengecualian.

Tak dapat diabaikan

Fakta bahwa negara-negara baru dapat melahirkan suatu ius cogens adalah fenomena sejarah yang tidak dapat diabaikan dalam perkembangan hukum internasional. Sejak itu PBB mulai merujuk pada norma dekolonisasi ini dan akhirnya dituangkan dalam berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) yang dimulai dengan Deklarasi tentang Dekolonisasi 1960.

Lahirnya suatu norma yang sifatnya melawan dunia Barat pada saat itu sangat mustahil. Dunia yang dibalut dengan Perang Dingin antara Timur dan Barat akan sulit menerima norma apa pun baiknya jika sifatnya tidak netral dan menyerang salah satu kubu, dalam hal ini Barat. Pada 1955 dunia Barat-lah yang masih dominan mempraktikkan kolonialisme karena sebagian besar negara-negara Afrika masih berada dalam jajahannya. Pada era ini definisi penentuan nasib sendiri selalu diartikan kemerdekaan dari penjajahan Eropa.

Uni Soviet, yang sekalipun mendominasi negara-negara Eropa Timur, masih jauh dari kesan kolonial ini. Akibatnya, para perumus dihantui oleh kekhawatiran adanya pemihakan pada kubu Uni Soviet, terlebih lagi Tiongkok adalah juga peserta KAA. Namun, berkat kepiawaian para pemimpin negara-negara KAA, dilema ini dapat diatasi. Rumusan yang disepakati adalah kolonialisme dalam segala bentuknya sehingga tidak terbatas pada kolonialisme Barat saja, tetapi juga dalam bentuk manifestasi yang lain. Berkat arahan bijak dari para pemimpin KAA ini pula, rumusan ini disepakati secara bulat tanpa resistensi.

KAA juga melahirkan prinsip norma HAM baru, yaitu antirasialisme dan antidiskriminasi. Memang sebelumnya sudah ada Deklarasi Universal PBB tentang HAM pada 1946 yang digagas Eleanor Roosevelt.Deklarasi ini adalah konstruksi setelah PD II yang diwarnai trauma kekejaman Nazi. Karena deklarasi ini adalah produk politik menang perang, gaungnya tidak berlanjut dan ini terbukti dengan sulitnya PBB menyepakati suatu instrumen hukum HAM untuk menjadikannya norma mengikat.

KAA tampil dengan perumusan prinsip norma yang lebih tegas soal antirasialisme dan antidiskriminasi ini. Namun, berbeda dengan Deklarasi Universal HAM PBB, rumusan prinsip KAA ini dikawal secara besar-besaran oleh negara-negara dunia ketiga di forum PBB. Sesudah KAA, negara-negara baru yang lahir akibat KAA menyatu dengan negara-negara berkembang lainnya dan membentuk kelompok negara ketiga. Kelompok ini dengan semangat Bandung sangat kompak dan solider sehingga pengaruhnya yang besar akhirnya mampu membawa prinsip norma ini ke dalam instrumen hukum HAM yang ditandai dengan lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik oleh PBB pada 1966.

Tak hanya itu, prinsip norma KAA ini juga bergaung dan memicu perdebatan di Amerika Serikat. Pada periode ini AS masih menganut kebijakan diskriminasi sampai akhirnya dikeluarkan UU tentang Hak-hak Sipil 1964 menyusul rangkaian demonstrasi rakyat AS ras Afrika yang dimotori Martin Luther King Yunior. Tanpa disadari, hasil KAA telah menjadi soft power untuk mentransformasi negara-negara lain tanpa tersandera Perang Dingin.

Peringatan Ke-60 KAA pekan lalu semakin mengingatkan kita: Bandung bukan hanya kota KAA, melainkan kota di mana benih hukum internasional disemai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar