Konferensi
Asia Afrika dan Hukum Internasional
Damos Agusman ; Pemerhati dan Pengajar Hukum Internasional;
Lulusan S-3 Goethe University of Frankfurt
|
KOMPAS, 29 April 2015
Peringatan Konferensi
Asia Afrika pekan lalu lebih banyak dimaknai sebagai fenomena hubungan dan
politik internasional. Kontribusinya dalam melahirkan norma baru hukum
internasional jarang terkuak; kalau pun ada, masih terbatas di kalangan
komunitas akademis pemerhati hukum ini.
Kota Bandung telah
melahirkan embrio beberapa norma hukum internasional yang dewasa ini
dinikmati hampir seluruh negara berkembang. Sebelum Konferensi Asia Afrika
(KAA), norma hukum internasional adalah produk Barat. Kumpulan norma hukum
ini sudah lahir sebelum negara-negara berkembang lahir dan langsung mengikat
sejak kelahiran mereka.
Norma utama yang lahir
dari kota ini adalah ”dekolonisasi” dan hak penentuan nasib sendiri oleh
rakyat di bawah pemerintahan kolonial. Sejak KAA, kolonialisme yang pada
periode itu masih halal telah berubah secara drastis menjadi haram. KAA telah
berhasil mengkriminalkan kolonialisme yang diciptakan kolonial Barat.
Dekolonisasi adalah
norma baru karena Piagam PBB sendiri tidak pernah mengharamkannya. Dalam
Paragraf D (a) Komunike Akhir KAA, ke-25 negara secara lantang untuk kali
pertama menyebut kolonialisme dengan semua manifestasinya sebagai ”iblis”
yang perlu dihentikan. Kriminalisasi terhadap kolonialisme ini akhirnya
memicu kemerdekaan berbagai negara belahan Asia dan Afrika. Lahirnya norma
dekolonisasi baru ini sangat unik.
Biasanya lahirnya
norma-norma hukum internasional harus melalui proses yang lama serta
membutuhkan persetujuan dari negara-negara. Namun, norma dekolonisasi ini
lahir dan langsung mendapat pengakuan internasional secara serta-merta tanpa
harus disetujui oleh negara-negara kolonial itu sendiri. Ini disebut ius
cogens, yaitu norma hukum yang bersifat fundamental yang eksistensinya tidak
dapat dikesampingkan oleh norma-norma hukum lainnya. Contoh jenis norma ini
adalah larangan perbudakan dan penyiksaan yang, terhadap norma ini, tidak
mungkin dilakukan asas pengecualian.
Tak dapat diabaikan
Fakta bahwa
negara-negara baru dapat melahirkan suatu ius cogens adalah fenomena sejarah
yang tidak dapat diabaikan dalam perkembangan hukum internasional. Sejak itu
PBB mulai merujuk pada norma dekolonisasi ini dan akhirnya dituangkan dalam
berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) yang dimulai dengan Deklarasi
tentang Dekolonisasi 1960.
Lahirnya suatu norma
yang sifatnya melawan dunia Barat pada saat itu sangat mustahil. Dunia yang
dibalut dengan Perang Dingin antara Timur dan Barat akan sulit menerima norma
apa pun baiknya jika sifatnya tidak netral dan menyerang salah satu kubu,
dalam hal ini Barat. Pada 1955 dunia Barat-lah yang masih dominan mempraktikkan
kolonialisme karena sebagian besar negara-negara Afrika masih berada dalam
jajahannya. Pada era ini definisi penentuan nasib sendiri selalu diartikan
kemerdekaan dari penjajahan Eropa.
Uni Soviet, yang
sekalipun mendominasi negara-negara Eropa Timur, masih jauh dari kesan
kolonial ini. Akibatnya, para perumus dihantui oleh kekhawatiran adanya
pemihakan pada kubu Uni Soviet, terlebih lagi Tiongkok adalah juga peserta
KAA. Namun, berkat kepiawaian para pemimpin negara-negara KAA, dilema ini
dapat diatasi. Rumusan yang disepakati adalah kolonialisme dalam segala
bentuknya sehingga tidak terbatas pada kolonialisme Barat saja, tetapi juga
dalam bentuk manifestasi yang lain. Berkat arahan bijak dari para pemimpin
KAA ini pula, rumusan ini disepakati secara bulat tanpa resistensi.
KAA juga melahirkan
prinsip norma HAM baru, yaitu antirasialisme dan antidiskriminasi. Memang
sebelumnya sudah ada Deklarasi Universal PBB tentang HAM pada 1946 yang
digagas Eleanor Roosevelt.Deklarasi ini adalah konstruksi setelah PD II yang
diwarnai trauma kekejaman Nazi. Karena deklarasi ini adalah produk politik
menang perang, gaungnya tidak berlanjut dan ini terbukti dengan sulitnya PBB
menyepakati suatu instrumen hukum HAM untuk menjadikannya norma mengikat.
KAA tampil dengan perumusan
prinsip norma yang lebih tegas soal antirasialisme dan antidiskriminasi ini.
Namun, berbeda dengan Deklarasi Universal HAM PBB, rumusan prinsip KAA ini
dikawal secara besar-besaran oleh negara-negara dunia ketiga di forum PBB.
Sesudah KAA, negara-negara baru yang lahir akibat KAA menyatu dengan
negara-negara berkembang lainnya dan membentuk kelompok negara ketiga.
Kelompok ini dengan semangat Bandung sangat kompak dan solider sehingga
pengaruhnya yang besar akhirnya mampu membawa prinsip norma ini ke dalam
instrumen hukum HAM yang ditandai dengan lahirnya Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik oleh PBB pada 1966.
Tak hanya itu, prinsip
norma KAA ini juga bergaung dan memicu perdebatan di Amerika Serikat. Pada
periode ini AS masih menganut kebijakan diskriminasi sampai akhirnya
dikeluarkan UU tentang Hak-hak Sipil 1964 menyusul rangkaian demonstrasi
rakyat AS ras Afrika yang dimotori Martin Luther King Yunior. Tanpa disadari,
hasil KAA telah menjadi soft power untuk mentransformasi negara-negara lain
tanpa tersandera Perang Dingin.
Peringatan Ke-60 KAA
pekan lalu semakin mengingatkan kita: Bandung bukan hanya kota KAA, melainkan
kota di mana benih hukum internasional disemai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar