Hukuman
Mati yang Mematikan Hukum
August Corneles T Karundeng ; Rohaniwan;
Anggota
asosiasi teolog-teolog Indonesia
|
JAWA POS, 27 April 2015
MARY Jane Fiesta
Veloso, 30, merupakan perempuan Filipina yang miskin sekaligus orang tua
tunggal bagi dua anak. Dia pernah bekerja sebagai buruh migran di Dubai. Dia
adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya. Bahkan, dia
juga merupakan korban percobaan pemerkosaan saat bekerja di Dubai.
Pada April 2010,
dikabarkan dia direkrut oleh teman mantan suaminya yang bernama Maria
Kristina P. Sergio untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia
melalui jalur ilegal. Bukannya bekerja, dia malah diminta Kristina untuk
pergi ke Indonesia, menemui teman Kristina. Tanpa sepengetahuannya, ternyata
tas yang dibawanya ke Indonesia berisi 2,6 gram heroin. Mary Jane ditangkap
petugas Bea dan Cukai Bandara Internasional Adisutjipto, Jogjakarta, pada 24
April 2010, saat turun dari pesawat terbang rute Kuala Lumpur–Jogjakarta.
Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan hukuman mati karena Mary Jane terbukti
melanggar pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pengedaran narkoba
diibaratkan pembunuhan masal di Indonesia. Warga asing yang membawa narkoba
ke Indonesia dengan demikian diibaratkan penjahat yang hendak melakukan
pembunuhan masal berencana di Indonesia. Indonesia berduka atas tingginya
angka kematian generasi muda gara-gara narkoba. Karena itu, hukuman bagi
pembunuh masal harus tegas, yaitu hukuman mati. Hukuman mati di Indonesia
telah menjadi simbol nyata betapa bencinya bangsa Indonesia dengan para
pengedar narkoba yang telah membunuh jutaan anak bangsa yang masih produktif.
Walaupun demikian, kita perlu menyadari
bahwa hukuman mati tidak jarang disajikan sebagai suatu ketidakadilan. Tidak sedikit studi
yang menyimpulkan bahwa proses-proses persidangan hukuman mati begitu
dipenuhi dengan kesalahan sehingga bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak
rasional.
Hasil studi James S. Liebman, Jeffrey Fagan, dan Valerie West yang bertajuk A Broken System: Error Rates in Capital
Cases 1973-1995 (2000: 1) di University of Columbia School of Law, yang
meneliti hampir 4.600 kasus hukuman mati di seluruh negara bagian Amerika,
memperlihatkan bahwa secara nasional, angka menyeluruh dari kesalahan pada
kasus-kasus hukuman mati adalah 68 persen atau hampir tujuh dari setiap
sepuluh kasus sehingga menimbulkan keraguan yang besar. Kesimpulan terhadap penelitian itu, kesalahan serius
terhadap pengadilan hukuman mati telah mencapai proporsi yang epidemis (2000:
20). Hal itulah yang perlu menjadi perhatian bagi pengadilan hukuman mati di
Indonesia. Sebab, tidak seperti hukuman-hukuman lain, di dalam pengadilan
hukuman mati, begitu orang dieksekusi mati secara salah, tidak ada jalan bagi
pengadilan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Walter Berns dalam
buku bunga rampai suntingan Stassen yang berjudul Capital Punishment (1998: 14) menyatakan, keadilan berarti
retribusi. Artinya, keadilan harus cukup peduli tentang komunitas moral dan
legal untuk menjadi marah dan memberikan hukuman mati sebagai balasan
terhadap para pembunuh yang bengis, yang merongrong komunitas itu (1998:
101). Prinsip keadilan retributif berhasil merasionalisasi hukuman mati dalam
konsep salah dan benar dengan cara me(nyalah)letakkan tindakan pembunuhan
bukan lagi di tangan pengedar narkoba yang dapat membunuh generasi muda
bangsa, melainkan di tangan otoritas, yaitu sistem yuridis yang merupakan
wakil dari masyarakat. Dengan keadilan retributif melalui hukuman mati, upaya
menghapus dosa telah diganti dengan cara membunuh si pendosa.
Glen H. Stassen di dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul Etika
Kerajaan (2005: 243-4) memperlihatkan bahwa hukuman mati adalah jalan ketidakberdayaan dan kegagalan
dalam mengurangi angka kejahatan. Bagi Stassen, hukuman mati justru
meneladankan budaya pembunuhan. Hukuman mati punya dampak imitatif yang
paradoksal pada para pembunuh potensial lainnya. Hukuman mati menampilkan
contoh resmi pemerintah bahwa membunuh seseorang adalah sebuah cara yang
wajar untuk menyelesaikan berbagai perasaan kebencian. Kesucian hukum bak
sebuah kotoran yang berlapis emas.
Di kalangan kristiani,
kisah tentang jemaat Efesus menjadi bernas bagi hukum Indonesia. Jemaat
Efesus adalah jemaat yang terpuji karena mereka tekun mencari kebenaran.
Mereka tidak pernah membiarkan kepalsuan terjadi di tengah-tengah mereka
sehingga mereka bahkan tidak segan-segan menguji orang-orang yang mengaku
diri sebagai rasul. Akan tetapi, jemaat yang militan itu juga dicela. Tuhan
tidak mendapati lagi kasih di dalam jemaat Efesus (Wahyu 2:1-7). Seluruh
upayanya menjaga kemurnian, meninggikan kebenaran dan kesalehan yang
menakjubkan, tidak ada gunanya sedikit pun tanpa disertai kasih. Seperti yang
terjadi di jemaat Efesus, dalam setiap usaha untuk menegakkan kebenaran dan
kemurnian, selalu ada pencobaan untuk meninggalkan kasih. Semangat yang
terlalu tinggi untuk menegakkan kebenaran, bahkan menjaga kemurnian, mudah
sekali berubah menjadi kebencian dan nafsu untuk melenyapkan orang-orang yang
dianggap tidak benar serta tidak murni.
Yesus di dalam
masa-Nya difitnah sebagai orang yang tidak benar dan tidak murni. Bahkan, Dia
mati di kayu salib sebagai simbol kematian yang paling hina. Hukuman mati
yang diterima Yesus memperlihatkan betapa hukum dapat dimanipulasi begitu
rupa demi kepentingan tertentu sehingga menciptakan keadilan yang tak lagi
adil. Girard bahkan memperlihatkan bahwa orang di masa Yesus justru membunuh
Yesus karena tidak mampu untuk mencapai titik rekonsiliasi tanpa membunuh
(1996: 186). Hukuman mati adalah pilihan yang paling mudah untuk menghapus
sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kejahatan dengan memusnahkan penjahatnya
sekaligus.
Hukum di Indonesia
merupakan sebuah kedaulatan yang harus dihormati. Hal itu tidak dapat lagi
dimungkiri karena hukum di Indonesia merupakan cerminan kesucian bangsa ini.
Namun, kita tidak boleh lupa bahwa hukum tetaplah buatan manusia. Hukum ada
bagi manusia, bukan manusia bagi hukum. Maka, tidak dapat kita mengatakan
bahwa hukuman mati harus dijalankan demi kedaulatan hukum itu sendiri. Ketika
hukum dijalankan tidak secara kritis, hukum pun kehilangan fungsinya. Hannah Arendt
memperlihatkan bahwa banalitas kejahatan lahir karena manusia tidak kritis
dan hanya taat terhadap perintah atau hukum yang diberikan (1963: 135 Bdk.
Villa, 2000: 66-7). Karena itu, Indonesia tidak dapat bermental revolusi
dalam hal hukuman mati dengan menyetujui hukuman mati begitu saja. Indonesia
membutuhkan revolusi mental justru agar dapat kritis terhadap hukum itu
sendiri, demi kemanusiaan, demi kehidupan. Rakyat Indonesia perlu berpartisipasi aktif
di dalam berbagai kelompok yang bekerja untuk mencegah pembunuhan melalui
peredaran narkoba, dengan cara pemberdayaan yang jauh lebih efektif, daripada
mendukung hukuman mati bagi para pengedarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar