Ahwa
dan Marwah NU
Akh Muzakki ; Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel
Surabaya
|
JAWA POS, 20 April 2015
Tulisan Maimunah Saroh berjudul Kontroversi Pemilihan Rais Am
(Jawa Pos, 13/4/2015) sangat menarik. Mengapa begitu? Sebab, tulisan Maimunah
itu membidik secara khusus penggunaan sistem ahlul halli wal ’aqdi (ahwa)
sebagai mekanisme pemilihan rais am.
Tulisan itu menjadi pembenar bahwa yang membuat setiap muktamar
NU ramai adalah adanya pemilihan pimpinan tertinggi organisasi: rais am.
Namun, tulisan tersebut justru membuka kotak pandora tentang kurangnya
pemahaman terhadap NU beserta roh perjuangannya, marwah kiai, dan mekanisme
organisasi.
Karena itulah, saya merangkai tulisan ini dalam rangka
meluruskan nalar keliru tersebut. Saya tidak punya maksud lain kecuali hanya
menjelaskan tata aturan yang sebenarnya, tanpa ada kepentingan dengan
persoalan dukung-mendukung.
Nalar keliru tersebut cenderung menyesatkan. Indikasi
argumentatifnya sangat jelas. Pertama, Maimunah Saroh tidak memahami
substansi aturan organisasi. Tapi, keberpihakannya pada urusan
dukung-mendukung telah mendorongnya untuk mempertontonkan hal itu.
Ketidakpahaman tersebut dia tunjukkan dengan argumen dasarnya bahwa ahwa
melanggar AD/ART NU. ’’Kalau mau menerapkan ahwa, mereka harus mengubah
AD/ART NU melalui muktamar.’’ Begitu teriakan ceroboh Maimunah.
Jangan salah, aturan pemilihan dan penetapan rais am dalam ART
NU pasal 41 ayat (1) huruf (a) justru menjadi pintu masuk legal formal
penerapan ahwa. Riilnya, diktumnya berbunyi: Rais am dipilih secara langsung
oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam
muktamar setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaannya. Jadi, ada dua
mekanisme yang bisa dijadikan opsi pemilihan dan penetapan rais am:
musyawarah mufakat dan pemungutan suara.
Nah, ahwa merupakan salah satu bentuk ikhtiar konkretisasi saja
dari opsi musyawarah mufakat. Artinya, secara substansial, ahwa juga sudah
diatur ART NU. Memang, secara nomenklatural, nama ahwa tidak tercantum pada
ART NU itu, namun secara prinsip dan substansi sudah dikandung di dalamnya.
Jadi, sangat keliru jika menyebut ahwa melanggar AD/ART NU.
Justru, dari aturan pemilihan dan penetapan rais am pada ART NU tersebut,
Maimunah cenderung salah paham dengan hanya mengambil kalimat awal sebagai
rujukan. Pemahaman dia tidak utuh dan cenderung berhenti hanya pada kalimat
ini: Rais am dipilih secara langsung oleh muktamirin. Dia tidak melanjutkan
pemahamannya pada kalimat yang tersusun sesudahnya: melalui musyawarah
mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar setelah yang bersangkutan
menyampaikan kesediaannya.
Kalau pembacaan terhadap ART NU pasal 41 ayat (1) huruf (a)
tersebut utuh, pemahamannya akan sempurna pula. Yakni, pemilihan langsung
bisa menggunakan instrumen musyawarah mufakat atau pemungutan suara.
Keliru nalar dari pembacaan terhadap ART NU pasal 41 ayat (1)
huruf (a) tersebut diperparah oleh ketidaksempurnaan pengetahuan dan
pemahamannya terhadap konsep ahwa. Inilah yang menjadi keliru nalar lanjutan
sebagaimana ditunjukkan argumen dasar di bawah ini.
Ya, kedua, Maimunah tampak tidak memahami konsep ahwa seutuhnya.
Tetapi, dia sudah buru-buru menghakimi konsep itu. Dari tulisannya, tampak
sangat jelas bahwa dia hanya memahami konsep ahwa hanya dari tahap akhir
semata. Padahal, ahwa memiliki proses dan prosedur yang cukup panjang.
Ada kegagalan pemahaman atas konsep ahwa: calon rais am tidak
dipilih secara semena-mena dan secara sepihak oleh elite PB NU. Sama sekali
tidak. Kalimat pembenar dia berikut tidak berdasar: ahwa dianggap mengambil
alih hak PW-PC NU dalam menentukan pemimpin NU ke depan. Padahal, kiai-kiai
yang ditunjuk sebagai anggota ahwa belum tentu lebih wira’i, zuhud, arif, dan
alim ketimbang rais syuriah PW-PC NU.
Justru, dalam desain ahwa, calon rais am diajukan oleh jajaran
tingkat organisasi di bawahnya (PW NU dan PC NU) berdasar rapat pengurus
harian syuriah-tanfidziyah masing-masing. Lalu, hasil rapat di masing-masing
tingkat itu mengusulkan sejumlah nama kiai untuk dibawa ke proses
rekapitulasi nasional sebagai calon rais am. Dari proses rekapitulasi suara
terbanyak itulah akan dimunculkan sembilan nama sebagai formatur (anggota
ahwa) untuk menentukan siapa yang akan disepakati sebagai raim am terpilih.
Dengan proses dan prosedur ahwa seperti itu, penentuan calon
rais am dilakukan secara kelembagaan, kolegial, serta transparan. Disebut
kelembagaan karena melibatkan seluruh tingkat organisasi dan jajaran
kepengurusan, baik syuriah maupun tanfidziyah. Dinamakan kolegial karena
prosesnya tidak didasarkan pada pilihan dan pertimbangan pribadi pengurus di
masing-masing tingkat atau jajaran, melainkan gabungan dari mereka semua.
Disebut transparan karena prosesnya diselesaikan melalui tahap
yang jelas dan tidak ’’di bawah tangan’’. Dengan demikian, semua pihak bisa
mengontrol jalannya pemilihan dengan tetap menjaga semangat kolegial yang
dilakukan pada tahap pertama hingga akhir.
Proses dan prosedur panjang pelaksanaan ahwa tersebut dibangun
untuk kepentingan luhur. Selain motif partisipatoris, hal itu ditujukan untuk
meminimalkan kubu-kubuan setelah pemilihan. Juga, mencegah praktik
bergerilyanya kekuatan modal melalui perilaku risywah (money politics)
karena prosesnya yang panjang itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar