Antara
Soekarno, Mandela, Jokowi, dan Nahrawi
Dinarsa Kurniawan ; Wartawan
Jawa Pos
|
JAWA POS, 27 April 2015
PERAYAAN 60 Tahun
Konferensi Asia-Afrika (KAA) sudah berlalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi)
mungkin sudah bisa bernapas lega setelah serangkaian seremoni yang
dihadirinya berjalan lancar. Salah satu seremoni yang dia lalui adalah historical walk untuk mengenang
digelarnya konferensi tersebut 60 tahun lalu di Kota Kembang. Dalam acara
Jumat lalu (24/4) itu, orang nomor satu di Indonesia tersebut berjalan dengan
diapit Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib Tun Razak dan Presiden Tiongkok
Xi Jinping.
Senyum tak henti
mengembang di wajah para pemimpin tersebut. Lambaian tangan juga mengiringi
langkah mereka ketika berjalan menyusuri Jalan Asia Afrika, Bandung. Sesekali
di antara mereka berbincang. Entah apa yang diperbincangkan. Mungkin
pembicaraan serius yang menyangkut hubungan diplomatik antarnegara atau malah
hal-hal yang remeh-temeh. Misalnya, ”Ayo, habis ini kita belanja bareng di FO
(factory outlet).”
Tapi, bagaimana jika
yang dibicarakan adalah sepak bola? Jika itu yang menjadi bahan obrolan
sepanjang perjalanan, pasti terasa menyiksa bagi presiden ketujuh RI itu.
Jika dibandingkan dengan Tiongkok dan Malaysia, prestasi sepak bola Indonesia
paling medioker, kalau tidak mau dibilang papan bawah. Untung, Presiden Timor
Leste Taur Matan Ruak tidak ikut dalam rombongan terdepan. Kalau Taur Matan
Ruak ikut nimbrung soal urusan bola, bisa jadi Jokowi tiba-tiba mundur ke
barisan di belakangnya karena malu.
Ya, Indonesia sekarang
bukan lagi negara superior untuk urusan sepak bola bila dibandingkan dengan
Timor Leste. Faktanya, ranking FIFA terbaru Timor Leste yang notabene negeri
kemarin sore itu sudah meng-overlap Indonesia. Kita berada di peringkat
ke-159, sedangkan negara yang dulu provinsi ke-27 Indonesia itu menempati
urutan ke-152.
Karena itulah, KAA seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai media
konsolidasi dan kerja sama antara negeri-negeri Asia dan Afrika. Tapi,
semangat perubahan yang dibawanya juga memberikan inspirasi bagi Jokowi untuk
memperbaiki negara yang dipimpinnya ini. Termasuk memperbaiki prestasi sepak
bolanya yang tak kunjung siuman dari koma.
Dari negeri macan Asia
yang disegani di era KAA dulu, kini Indonesia menjelma sebagai anak kucing
persia nan lucu. Berkaca pada apa yang dilakukan Soekarno dulu untuk
olahraga, yang benar-benar mampu membanggakan rakyatnya, seharusnya Jokowi
juga memberikan perhatian serupa terhadap olahraga seperti sang patron.
Kebetulan, saat ini
yang perlu mendapatkan curahan perhatian adalah sepak bola. Ingatlah, ketika
Indonesia masih sangat muda, kita pernah menahan imbang Uni Soviet pada
Olimpiade Melbourne 1954 di babak perempat final. Padahal, ketika itu negeri
komunis tersebut diperkuat Lev Yashin, salah seorang penjaga gawang terbaik
sepanjang masa.
Deretan prestasi
membanggakan juga terukir pada era itu. Antara lain, merebut medali perunggu
pada Asian Games 1958 serta medali perak Asian Games 1966. Sekarang...
Boro-boro deh. Lawan Filipina saja babak belur. Pada pertemuan terakhir
dengan negara yang dulu selalu menjadi bulan-bulanan itu, kita malah kalah 0-4.
Itu terjadi pada pertandingan grup A Piala AFF 2014. Prestasi terakhir yang
pernah kita raih adalah emas sepak bola pada SEA Games 1991. Lama sekali, 24
tahun silam. Kalau pada SEA Games tahun ini di Singapura timnas kita gagal
juga dapat emas, tahun depan kita bakal bikin ulang tahun perak peringatan
emas SEA Games terakhir dari cabor sepak bola.
Karena itulah, langkah Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI pada 18
April lalu sudah seharusnya mendapatkan dukungan dari Jokowi. Sebab,
pembekuan itu adalah langkah awal untuk menyelamatkan sepak bola Indonesia. Sang presiden harus
memastikan bahwa Menpora, yang merupakan pembantunya di bidang keolahragaan,
tak sendiri berjuang memperbaiki sepak bola nasional. Sekarang sudah waktunya
Jokowi turun gunung dan menyampaikan sikap terkait sepak bola Indonesia.
Jika nanti FIFA geram
dan memberikan sanksi kepada Indonesia karena presiden ikut turun tangan,
saat itulah justru peran presiden bakal lebih besar untuk ikut men-drive
sepak bola kita menuju arah yang lebih baik. Kemenpora serta seluruh rakyat
tentu bakal lebih bersemangat karena sang panutan turut berjalan di barisan
terdepan untuk menggelorakan perbaikan sepak bola nasional.
Selain itu, para
pemain yang selama ini khawatir mau dibawa ke mana nasibnya jika PSSI
dibekukan bakal lebih tenang. Nah, dengan ikut andil memperbaiki kondisi
sepak bola Indonesia, sejatinya Jokowi juga melaksanakan Nawacita yang
konsisten didengungkan ketika berkampanye pada pilpres tahun lalu. Sebab,
bagi rakyat Indonesia, sepak bola bukan sekadar permainan mencari keringat.
Lebih dari itu, sepak bola adalah identitas sekaligus kebanggaan bangsa.
Seperti juga makna
olahraga rugbi bagi masyarakat Afrika Selatan. Permainan full body contact asal Inggris itu punya banyak penggemar di
Afrika Selatan. Karena itulah, tidak heran ketika kali pertama terpilih
sebagai presiden pada 1994, Nelson Mandela tidak hanya memberikan perhatian
untuk kesejahteraan rakyatnya, tapi juga mengulurkan perhatian untuk The Springboks (nama timnas rugbi
Afrika Selatan).
Akhirnya, tim yang
saat itu dikapteni Francois Pienaar tersebut sukses menjuarai Piala Dunia
Rugbi 1995, di mana Afrika Selatan menjadi tuan rumah. Namun, jalan yang
harus dilalui Mandela begitu berliku. Kala itu kondisi rugbi di Afrika
Selatan sangatlah kompleks. Pria yang biasa disapa Madiba itu harus
mendamaikan dendam rasial yang sudah mengakar berpuluh tahun. Meredam
kemarahan masa lalu dalam individu-individu terbaik itu serta menyatukan mereka
dalam tim yang beranggota pemain berkulit hitam dan putih. Membangun tim
Springboks terbaik tanpa memedulikan warna kulit.
Sebagai catatan,
sebelum era Mandela, timnas rugbi hanya beranggota pemain berkulit putih.
Karena itu, meski sudah dibebaskan dari hantu apartheid, pemain kulit hitam
tetap didiskriminasi ketika turut membela panji negaranya. Kisah menyentuh
tersebut terangkum dalam film bertitel Invictus
(2009) yang memasang Morgan Freeman sebagai Mandela dan Matt Damon sebagai
Pienaar.
Pertanyaannya
sekarang, akankah Jokowi mengambil langkah seperti yang sudah dilakukan
Soekarno dan Mandela? Sebenarnya saya sendiri sebagai die-hard fan sepak bola Indonesia menginginkan presiden mengambil
sikap secepatnya. Kalau bisa sebelum menikahkan putra sulungnya, Gibran. Ya
Pak, ya... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar