Jokowi,
Suhu Panas Jakarta, dan Resep Ora Mikir
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 29 April 2015
Cicero (106-43 SM),
politisi dan filsuf Romawi, tidak pernah peduli dengan citra dirinya:
dipersepsikan baik atau buruk. Bagi Cicero, mengabdi dan berbuat baik kepada
publik dan bangsanya adalah sangat penting. Maka, ketika ia dipandang sinis
dan dicibir, terutama oleh lawan-lawan politiknya sehingga ia tak populer di
mata publik, Cicero yang kerap dipandang sebagai tokoh ambisius itu tak ambil
pusing.
Kali ini Presiden Joko
Widodo (Jokowi) tidak seperti Cicero. Jokowi biasanya juga "ora
mikir" ketika menjawab berbagai hal menyangkut dirinya. Misalnya ketika
pada masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, ia bisa menjawab pertanyaan
tentang popularitasnya naik atau turun dengan jawaban enteng, "ora
mikir".
Akan tetapi, Senin
(27/4), tampaknya ia agak keluar dari gaya jawaban khasnya. Pada acara
Silaturahim Pers Nasional di Auditorium TVRI Jakarta, Presiden Jokowi
menyadari popularitasnya menurun. Namun, penurunan popularitas itu, menurut
Presiden Jokowi, adalah risiko kebijakan pemerintah yang melakukan perubahan
di banyak hal. Kebijakan pemerintah saat ini diakui ibarat pil pahit.
Perubahan yang dilakukan pemerintahan Jokowi sekarang ini butuh kesabaran dan
pengorbanan. Jokowi pun menjanjikan, "Lihat tiga, empat, atau lima tahun
yang akan datang."
Memang, survei Litbang
Kompas terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam enam bulan ini
menurun. Kinerja dua bidang terpuruk, yaitu hukum dan ekonomi. Pada enam
bulan ini (April), kinerja bidang hukum buruk, justru tambah buruk sampai
56,8 persen, padahal survei pada masa tiga bulan lalu (Januari) angkanya 40,3
persen.
Bidang ekonomi lebih
parah lagi. Dari penilaian buruk 57 persen pada Januari lalu terus terjungkal
sampai 74,6 persen pada April ini. Untung saja kinerja politik dan keamanan
ada peningkatan sedikit dari penilaian buruk 39,3 persen berubah menjadi 32,2
persen. Pada awal April lalu, survei Indo Barometer juga menunjukkan realitas
yang sama. Dalam enam bulan ini, kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi
hanya 57,5 persen, sedangkan kepuasan terhadap Jusuf Kalla cuma 32,2 persen.
Jokowi naik ke tampuk
istana kepresidenan periode 2014-2019 tidak hanya dengan dukungan dan pujaan
mayoritas publik, tetapi juga celaan dan hinaan destruktif. Pada April ini,
pas enam bulan Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk sekitar
245 juta jiwa ini. Selama setengah tahun ini, Presiden yang merupakan kader
PDI-P itu bertahan dari tembakan lawan-lawan politiknya, terutama Koalisi
Merah Putih, juga sisa-sisa simpatisan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
yang memenuhi jagat maya media sosial. Bahkan, ini runyamnya, Jokowi pun
harus bertahan dari serangan kawan-kawan yang mendukungnya, yakni politisi
PDI-P, antara lain dalam kasus kebijakan migas dan mencuatnya pelemahan KPK.
Kisah hubungan Jokowi
dan PDI-P memang unik jika tidak ingin disebut aneh. Sudah menjadi rahasia
umum apabila orang-orang PDI-P kesulitan untuk menembus istana dan mendekati
Jokowi. Tidak heran di lingkaran ring 1 pun muncul istilah trio macan yang
dituding menghalangi partai dengan Jokowi, yaitu Rini Soemarno (Menteri
BUMN), Andi Wijajanto (Sekretaris Kabinet), dan Luhut Pandjaitan (Kepala Staf
Kepresidenan). Padahal, Rini dan Andi, misalnya, pada masa lalu termasuk
orang dekat Megawati Soekarnoputri dan PDI-P. Jokowi kelihatannya memang
menjaga jarak agar partai tidak terlalu mengatur urusan negara. Jokowi selalu
mengajukan syarat profesionalisme untuk masuk ke kabinet, misalnya, bukan
melulu terkait bagi-bagi kekuasaan atau jatah-jatahan partai. Sayangnya,
sewaktu mengurusi BUMN-BUMN, justru terjadi bagi-bagi posisi ketika pendukung
dan relawan Jokowi menjadi komisaris-komisaris.
Kisruh paling terumbar
adalah saat pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri,
Januari silam. Publik pun mampu membaca tangan PDI-P terulur dalam proses
pencalonan Komjen BG karena BG adalah mantan ajudan Megawati saat menjabat
presiden. Namun, kabarnya Jokowi yang menunjuk kursi Kapolri mungkin saja
sebagai balas budi. Runyamnya, pencalonan itu menimbulkan kontroversi,
terutama setelah BG dijadikan tersangka oleh KPK. Megawati tampaknya meradang
karena dianggap sebagai penyebabnya. Sampai-sampai hubungan Istana Presiden
dan Teukur Umar (kediaman Megawati) kurang harmonis. Di sisi lain, KMP di DPR
pun tampaknya njlomprongke.
Menerima baik pencalonan BG, tetapi sebetulnya sengaja menjerumuskannya ke
dalam kesulitan. Untunglah Jokowi membatalkan pencalonan BG karena dinilai
kontroversi. Sayangnya, alasan kontroversi tidak dipakai Jokowi saat melantik
BG sebagai Wakil Kepala Polri.
Barangkali Jokowi
dalam situasi yang sulit bergerak. Apalagi cap petugas partai muncul sangat
verbal dan jelas. Ketua Umum PDI-P Megawati dalam pidato penutupan di Kongres
IV di Sanur, Bali, 11 April lalu, mengingatkan bahwa politisi PDI-P yang
memiliki jabatan di eksekutif ataupun legislatif adalah petugas partai.
"Ingat, kalian
adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan dari
partai," kata Megawati seraya melanjutkan, "Kalau kalian tidak mau
disebut sebagai petugas partai, silakan keluar dari partai." Pidato itu
memang tidak menunjuk seseorang, kecuali institusi legislatif dan eksekutif.
Namun, sudah sangat terbaca mudah bahwa sasaran utama pidato soal petugas
partai adalah Presiden Jokowi, kader PDI-P yang kemudian menjadi presiden
periode 2014-2019.
Namun, sayangnya, para
politisi bahkan sekelas elite partai pun semestinya menempatkan bangsa dan
negara jauh di atas partai, seperti diperlihatkan Presiden Filipina Manuel
Quezon (1878-1944) atau Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963)
yang memilih mengabdi untuk bangsa dan negara dan menanggalkan kepentingan
partai begitu terpilih menjadi pemimpin bangsa. Jangan sampai istilah
"presiden boneka" seperti terjadi pada pilpres lalu ada benarnya.
Kata filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900), di dalam individu
jarang terjadi kegilaan, tetapi di dalam kelompok, partai politik, bangsa,
dan zaman, kegilaan adalah biasa.
Seperti kata Perdana
Menteri Inggris Winston Churchill (1874-1965) yang menegaskan bahwa dalam
perang hanya dapat membunuh satu kali, tetapi di politik bisa berkali-kali,
memang nyatanya Jokowi tetap melenggang meski ditembaki dari sana-sini. Maka,
ia pun terus blusukan. Ia menemui nelayan. Bersama Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti, Presiden Jokowi berdialog dan menjelaskan
penghapusan subsidi bahan bakar minyak (solar) kepada nelayan. Ia menjelaskan
tentang kebijakan maritimnya.
Ia juga membagikan
kartu sakti pasca kenaikan harga bahan bakar minyak. Jokowi juga membagikan
traktor kepada petani agar bisa segera membajak sawah untuk segera menanam
padi dan seterusnya menghasilkan beras unggulan supaya mimpi swasembada
pangan bisa terwujud.
Dalam enam bulan ini,
langkah blusukan-nya memang jauh ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa
Tenggara Barat, dan tentu saja Jawa. Istana sering ditinggalkannya. Tetapi,
suhu ibu kota Jakarta selalu panas. Enam bulan memanah barulah masa-masa
awal. Perjalanan masih panjang. Seperti ketidakpuasan di bidang hukum dan
ekonomi, Jokowi mesti berkonsentrasi penuh untuk membenahi dan
memperbaikinya.
Di tengah nada
pesimistis, Jokowi harus memperlihatkan komitmen pemberantasan korupsi dan
membersihkan negeri ini dari koruptor yang tidak kapok-kapok. Jokowi tentunya
lebih banyak berbuat agar rakyat terhindar dari beban kehidupan. Semakin
kinerja membaik, langkah pemerintahan di bawah Jokowi-JK semakin ringan.
Tetapi, sebaliknya
akan berat jika berbagai persoalan kusut tak terurai. Terlebih lagi banyak
moncong senjata yang diarahkan dari berbagai sudut, yang mungkin bisa
membakar suhu panas Jakarta. Kali ini resep "ora mikir" pasti tidak
mujarab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar