Transformasi
"The New York Times"
Ignatius Haryanto ; Peneliti
Senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
|
KOMPAS, 27 April 2015
Apakah
perkembangan dunia media digital juga berpengaruh pada produksi salah satu
surat kabar terbaik di dunia seperti The
New York Times?
Apakah
slogan "All the News That's Fit to
Print" yang digaungkan pendirinya masih berlaku dalam era ketika
berita diproduksi dalam ketergesaan dan kepastian informasi harus menunggu
beberapa saat? Dua pertanyaan ini hanyalah sebagian kecil dari sejumlah
pertanyaan menarik untuk melihat kondisi koran yang terbit sejak 1851 itu.
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, kita bisa melihat apa yang ditulis oleh Nikki
Usher, asisten profesor di George Washington University, yang menulis buku Making News at The New York Times (University of Michigan Press, 2014).
Buku ini karya Usher dalam bentuk disertasi PhD-nya di University of Southern
California, Annenberg School of
Communication and Journalism. Yang menarik, buku ini ditulis dengan gaya
jurnalisme narasi sehingga "bau" tulisan disertasi yang ilmiah jadi
agak tergeser.
Usher
menulis buku setelah ia bergabung dengan redaksi The New York Times (NYT)
selama lima bulan pada 2010 dan ia melakukan penelitian dengan metode
etnografi dengan wawancara mendalam tak kurang dari 80 wartawan NYT dan
merekam bagaimana reaksi mereka terhadap perubahan yang terjadi pada surat
kabar mereka.
Di
luar buku Usher ini, kita juga ingat akan suatu film dokumenter bikinan
Andrew Rossi dan David Carr, Page One: A Year Inside the New York Times
(2011), yang juga menggambarkan bagaimana transformasi terjadi dalam diri NYT
yang baru saja memiliki divisi multimedia.
Buku
Usher ini menggambarkan adanya ketegangan antara apa yang ingin dilakukan
koran ini untuk terus memperbarui beritanya lewat media online, lalu muncul
persoalan ketika isi media harus bisa interaktif dengan pembaca, tetapi di
sisi lain, koran ini juga harus terus menjadi penentu kebijakan dan menjadi
arah pemberitaan di Amerika.
Ada
tiga kata kunci dalam dunia media online saat ini: kesegeraan,
interaktivitas-dalam bentuk video maupun grafik interaktif-dan partisipasi. Tiga nilai ini, menurut Usher,
menjadi sumber ketegangan di NYT, tetapi juga sekaligus sarana terjadinya
perubahan dalam diri koran yang pernah memiliki pemimpin redaksi perempuan,
Jill Abramson, itu.
Banyak
wartawan di NYT yang, tadinya merasa selesai pekerjaannya dengan menulis
berita, kini menambah kegiatan lain: mencicitkan isi berita yang telah
dipublikasikannya, menambah pembaruan berita yang telah ditulisnya. Terkadang
itu juga artinya si wartawan harus menjawab banyak pertanyaan yang diajukan
pembaca, baik lewat Facebook maupun Twitter. Sejumlah wartawan merasa tak
tahu apakah mereka senang atau tidak dengan kondisi ini, tetapi begitulah hal
ini berjalan dan mengubah kebiasaan mereka sebelumnya.
Tupai-isasi
Dean
Starkman, editor Columbia Journalism Review, pernah mengecam perkembangan
dunia media online saat ini, tak ubah ibarat seekor tupai yang berlari di
lingkaran dalam sarangnya. Binatang pengerat kecil ini terus-menerus berlari
walaupun sebenarnya ia tak pernah beranjak ke mana-mana. Lingkaran yang
mengitari tupai itu tak menekankan soal kesegeraan, tetapi soal gerakan demi
gerakan itu sendiri. Analogi ini dikutip Usher menggambarkan bagaimana kritik
ditujukan kepada kondisi media online saat ini.
Dalam
perkembangan setakat ini, industri media hari-hari ini sangat menekankan
kesegeraan dalam memublikasikan informasi, tak peduli apakah informasi sudah
lengkap atau belum, apakah faktanya
sudah akurat atau belum. Penekanan yang dilakukan oleh para editor saat ini
adalah jumlah berita yang diproduksi ketimbang kualitas berita yang
diterbitkan.
Interaktivitas
adalah nilai lain yang juga dianggap sangat penting. Interaktivitas di sini
dimaknai sebagai pelibatan pembaca terhadap isi media online NYT. Bentuknya
bisa bermacam-macam, seperti lebih banyak foto yang ditampilkan via media
online daripada yang bisa muncul pada harian, kemudian juga muncul grafik
interaktif yang mendukung isi berita, serta adanya percakapan dengan para
pembaca.
Inti
interaktivitas ini, menurut Usher, adalah pelibatan pembaca yang berarti
pembaca akan lebih lama membaca dan tinggal dalam situs NYT. Pembaca yang
lama tinggal di situs ini nantinya akan tercatat dalam web metric sebagai
dasar untuk menggaet para pengiklan masa kini. Hal ini penting mengingat
kebiasaan pembaca media online yang mudah berselancar dari satu situs ke
situs lain.
Seorang
ahli komunikasi generasi awal, Ithiel de Sola Pool, pernah memprediksi rupa
penerbitan elektronik masa depan dalam buku yang ia tulis pada 1983,
Technologies of Freedom. Menurut De Sola Pool, "penerbitan elektronik di
masa depan akan makin menyerupai permainan (game) elektronik, ketika unsur
cahaya dan suara akan muncul di antara kata-kata yang dihasilkannya. Pemain
yang akan memulai permainan dan mesin akan merespons dalam cara yang
interaktif".
Ditarik
ke konteks sekarang, situs berita sedemikian rupa terkonvergensi antara media
berbasis teks, ditambah dengan video, seri foto, efek suara, terkadang juga
tampil dalam bentuk Podcast, misalnya. Sungguh luar biasa apabila De Sola
Pool sudah pernah membayangkan kondisi tersebut tiga dekade sebelumnya. Maka,
hari ini jurnalis yang memiliki kemampuan dalam perancangan web, pemrograman,
pembuatan video, dan pengambilan foto akan lebih dibutuhkan sekarang ini
ketimbang wartawan yang "cuma" memiliki keterampilan menulis.
Dari
penelitian Usher ini ditemukan bahwa menggarap item pemberitaan yang
memungkinkan adanya interaktivitas dengan pembaca adalah yang paling sukar
dilakukan. Artinya, menggarap item berita yang demikian tak dapat dilakukan
setiap hari dan hal ini hanya bisa diterapkan pada pemberitaan yang
tenggatnya lebih luwes.
Konteks Indonesia
Ada
banyak hal yang bisa ditarik manfaatnya dari membaca buku Nikki Usher ini
bagi konteks perkembangan jurnalistik di Indonesia. Transformasi media ini
tidak hanya terjadi di Amerika dalam diri The New York Times, tetapi juga
bagi media yang ada di Indonesia. Bagaimanapun, praktik media online yang
segera, interaktif, dan partisipatif telah juga dilakukan di Indonesia lebih
dari satu dasawarsa lalu. Namun, masalahnya, belum banyak riset mendalam
dilakukan untuk memahami lebih jauh gejala yang tengah berubah ini di
Indonesia.
Hal
pertama, misalnya, apakah kehadiran media online ini akan membuat jurnalisme
media arus utama akan tergeser? Jika tidak, strategi konvergensi macam apa
yang bisa diterapkan untuk menyatukan keduanya? Apakah strategi konvergensi
media ini juga sama dengan strategi monetisasinya? Hal terakhir ini yang
dianggap menjadi misteri besar bagi perkembangan media online, ketika makin
hari makin banyak orang yang ingin masuk di dalamnya.
Hal
berikut adalah mengevaluasi sisi produksi informasi yang ada saat ini, baik
dari mereka yang memproduksinya maupun isi informasi yang dihasilkan. Apakah
kriteria lama soal layak berita tak lagi menjadi pegangan satu-satunya dan
sebaliknya unsur sensasionalisme menjadi mengemuka bagi media online pada
saat ini? Berita apa saja yang mudah ditransformasikan untuk menjadi
interaktif, dan berita seperti apa yang sulit mengadopsi model demikian?
Di
luar ihwal praktik produksi informasi dilakukan oleh para wartawan, bagaimana
pula kita menilai informasi yang dihasilkan dalam bentuk partisipasi
masyarakat (atau kerap juga disebut sebagai wartawan warga)? Di mana
batas-batas peliputan wartawan warga ini?
Jika
sejumlah penelitian ini bisa dikerjakan di Indonesia, dunia akademis serta
dunia industri di Indonesia bisa mendapatkan masukan atas perkembangan yang
terjadi saat ini, dan transformasi yang terjadi ini pun akan tercatat dan
jadi bahan pembelajaran untuk perubahan teknologi komunikasi pada kegiatan
jurnalistik yang makin canggih terjadi di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar