Antara
Bandung, Jakarta, dan Prioritas
Handi Sapta Mukti ; Praktisi
Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
|
KORAN SINDO, 21 April 2015
Pemerintah berencana membangun jalur kereta api super cepat
Jakarta- Bandung dengan nilai proyek Rp60 triliun, demikian diberitakan oleh
KORAN SINDO pada 13 April 2015. Pertanyaannya, apakah perlu? Untuk
kepentingan apa? Dan apa urgensi dan manfaatnya? Apakah hanya untuk
peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diadakan tidak setahun sekali
itu kita harus menghamburkan anggaran sebesar itu? Tidakkah dana sebesar itu
lebih bermanfaat jika digunakan untuk membangun jalur-jalur baru transportasi
publik (KA/monorel/ MRT) seperti Tangerang-Jakarta, Bogor-Jakarta,
Bekasi-Jakarta, dan inner/outer MRT di sekitar Jakarta.
Akan jauh lebih besar manfaat yang bisa didapat dengan membangun
infrastruktur transportasi publik di wilayah-wilayah tersebut yang hingga
saat ini masih didera dengan masalah kemacetan lalu lintas. Seperti
diketahui, kemacetan di jalan berdampak sangat besar bagi kehidupan
masyarakat perkotaan baik materiil maupun nonmateriil.
Tidak itu saja, kemacetan juga mengganggu sendi-sendi
perekonomian nasional, apalagi hingga saat ini Jakarta masih menjadi pusat
pemerintahan sekaligus pusat bisnis nasional dan kotakota di sekitarnya
merupakan sentra-sentra industri nasional maupun internasional. Buruknya
sistem transportasi di wilayah tersebut akan berdampak langsung pada buruknya
jalur distribusi dan logistik yang berakibat pada biaya dan daya saing
produk.
Fakta Buruk Infrastruktur
Logistik Indonesia
Berdasarkan Logistic Performance Index(LPI) 2014, Indonesia
menempati urutan ke-53 dari 150 negara, berada di bawah Malaysia (25),
Thailand (35), China (28), Singapura (5), dan Vietnam (48). Peringkat LPI
terbaik Indonesia berada di urutan ke-42 pada 2007, namun bukannya membaik
indeks logistik Indonesia malah terus mengalami penurunan dari tahun ke
tahun.
Bahkan pada survei yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) baru-baru
ini Indonesia menempati urutan terendah dari 11 negara yang disurvei. Dari
skala 1 sampai 5, nilai indeks kinerja logistik Indonesia berada di kisaran
2.5, sedangkan Singapura berada di peringkat pertama dengan nilai 4,25.
Adapun ke-11 negara yang disurvei adalah Singapura, Malaysia, Filipina,
Thailand, Vietnam, Brasil, Afrika Selatan, Chili, India, Meksiko, dan
Indonesia.
Dengan kondisi demikian, Indonesia menjadi negara yang mempunyai
daya saing terendah di antara negara-negara tersebut. Kinerja logistik akan
berpengaruh langsung terhadap biaya serta harga barang dan jasa, serta
ketersediaan atas komoditas yang diproduksi dan diperdagangkan. Sederhananya,
bila 11 negara tadi diminta untuk memproduksi barang yang sama, harga
produksi dan distribusi barang yang dibuat di Indonesia akan menjadi paling
mahal di antara negara lainnya.
Demikian pula untuk arus ekspor dan impor barang akan turut
terhambat dengan buruknya infrastruktur logistik di Indonesia yang berakibat
pada tingginya harga komoditas tersebut. Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman Indroyono Soesilo menyampaikan akibat-buruknya infrastruktur
logistik, Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp3.125 triliun setiap
tahunnya (Kompas.com, 25/2), sebuah
angka yang tidak sedikit.
Seharusnya pemerintah tidak buta dan tuli atas fakta-fakta buruk
di atas, apalagi hal tersebut sudah berlangsung lama. Karena itu, sudah
seharusnya pemerintah saat ini lebih fokus membenahi fasilitas infrastruktur
transportasi dan logistik tersebut dengan menyediakan transportasi publik
yang memadai, membangun jalur-jalur kereta/monorel/MRT/LRT baru untuk
memperluas cakupan dan jangkauan pelayanan jasa angkutan massal agar semakin
banyak masyarakat yang dapat menggunakannya dan mau beralih dari kendaraan
pribadi ke kendaraan umum.
Kita juga memerlukan jalur kereta api logistik untuk mengurangi
beban jalan dari truk-truk pengangkut logistik. Pemerintah pun harus
mempersiapkan sistem dan aturan yang ketat untuk mengelolanya agar muatan
barang dengan jarak dan beban tertentu diharuskan menggunakan kereta api
logistik. Untuk menunjang hal itu, akses jalur kereta api harus ditambah
mulai dari pelabuhan, antarkota, serta dari dan ke sentra-sentra industri.
Faktor Kepemimpinan
Memang akan dibutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk
mewujudkan itu semua. Karena itu, dengan keterbatasan dan sumber daya yang
ada, akan lebih bijak dan cerdas jika pemerintah memfokuskan anggaran dan
sumber daya yang tersedia pada pembangunan infrastruktur logistik.
Berdasarkan data dari Kementrian PPN/BAPPENAS, RAPBN-P Indonesia
2015 telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp290
triliun atau meningkat dari rencana semula sebesar Rp189.7 triliun sehingga
diperlukan tambahan anggaran sekitar Rp100 triliun untuk memenuhi target
pembangunan infrastruktur 2015 tersebut. Itu pun masih di bawah nilai ideal
untuk anggaran pembangunan infrastruktur yang seharusnya minimal 5% dari
total PDB.
Jika pada 2014 PDB Indonesia Rp10.583 triliun, seharusnya
anggaran infrastruktur yang dialokasikan negara berada di angka Rp500
triliun! Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi sangat penting yaitu
kepemimpinan yang mempunyai visi, cerdas, dan tegas. Pemimpin yang mempunyai
visi artinya mempunyai mimpi dan tujuan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa
ini dalam lima atau sepuluh tahun ke depan.
Mimpi seorang pemimpin adalah mimpi yang harus dapat diwujudkan.
Pemimpin juga harus cerdas dalam menemukan jalan untuk mewujudkan visi dan
mimpinya tersebut dengan mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki,
juga cerdas dalam memilah dan membuat prioritas atas program kerja mana yang
harus segera dilaksanakan dan mana yang tidak.
Di sini kecerdasan seorang pemimpin juga diuji dalam menilai
mana program yang mempunyai dampak besar dan memberikan multiple efek positif
yang luas dan mana yang tidak karena itulah yang harus diprioritaskan.
Pemimpin tentu juga harus tegas dan berani dalam membuka jalan untuk
mewujudkan visinya tersebut, tegas dalam mengambil keputusan, memberikan arah
dan membuat kebijakan.
Tidak mudah dipengaruhi oleh ihwal lainnya di luar kepentingan
untuk mewujudkan tujuan. Dalam hal ini Presiden selaku pimpinan tertinggi
negara mempunyai peran sentral dalam menentukan arah, mengambil keputusan dan
bertindak untuk memecahkan berbagai persoalan dan membuat prioritas program
pembangunan infrastruktur tersebut.
Jadi, kembali pada rencana pembangunan jalur kereta api super
cepat Jakarta Bandung di atas, menurut hemat saya, proyek itu tidak mempunyai
nilai urgensi yang tinggi dan seharusnya bukan prioritas saat ini. Masih
banyak pekerjaan yang lebih penting yang harus dijalankan, khususnya yang
terkait pembangunan infrastruktur.
Sudah terlalu lama kita hidup dalam kebodohan, ketidak
efisienan, dan pemborosan yang tidak perlu akibat dari keputusan-keputusan
pemimpin kita yang kurang cerdas dan mengakibatkan pembangunan menjadi salah
arah. Semoga ke depan mereka mampu mengambil keputusan yang sesuai visi,
cerdas, dan tegas. Kita dapat segera keluar dari lingkaran pemborosan dan
ketidakefisienan yang berlarut-larut selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar