Bangsa
Pemberang
Kartini Sjahrir ; Antropolog
dan mantan Duta Besar RI
untuk Argentina, Paraguay, dan Uruguay
|
KOMPAS, 24 April 2015
Tahun
ini Indonesia genap berusia 70 tahun, cukup matang untuk menentukan arah
dalam hidup berbangsa dan bertanah
air. Namun, pada kenyataannya, bangsa kita belum cukup dewasa untuk menjalani
nasion Indonesia.
Indonesia
adalah negara maritim, dengan rangkaian kepulauan yang membujur dari barat ke
timur, dari Sabang hingga Merauke. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar
dunia, terdiri atas beragam suku dengan kebudayaan yang berbeda pula.
Tidaklah
mengherankan ketika Sumpah Pemuda 1928, para pemuda mencanangkan: "Bertanah air satu Tanah Air
Indonesia, berbangsa satu Bangsa Indonesia, dan berbahasa satu Bahasa Indonesia".
Jelas tersirat di sana akan adanya
keragaman etnis dan budaya Nusantara yang bermuara menjadi nasion Indonesia
atau kita kenal sekarang sebagai NKRI. Itulah maknanya. Nasion Indonesia
adalah nasion pluralistik dalam wadah
negara maritim.
Kemajemukan
atau pluralisme ini secara ketat dikawal oleh lima prinsip dasar dalam
Pancasila. Selama 70 tahun, kita mengalami pasang surut kehidupan bernegara;
dari pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, dari
guncangan konflik suku/ras, agama, ideologi politik, korupsi, hingga
separatisme dan terorisme. Akankah kita mampu mempertahankan nasion yang
pluralistik tersebut? Mampukah kita menjadi negara demokratis?
Bangga jadi Indonesia
Saya
teringat awal-awal tahun 1970-an dan 1980-an, ada rasa bangga menjadi orang Indonesia. Bangsa yang ramah
tamah, suka menolong, dan mempunyai toleransi tinggi terhadap lingkungannya.
Di ranah tempat saya dibesarkan tahun 1950-an dan awal 1960-an, di tengah
rimba raya Sumatera di Riau, Idul Fitri, Natal, Imlek, dan Tahun Baru adalah hari-hari yang sangat
kami, anak-anak, nantikan. Tak peduli anak siapa dan tak peduli apa agamanya.
Hari-hari
besar seperti itu berarti akan ada
makanan enak, minuman sirop atau sarsaparilla, baju baru, dan sekaligus menerima "salam
tempel". Kami, sekali lagi, tidak
pernah mempersoalkan agama. Agama adalah pilihan masing-masing dan semua
agama baik adanya.
Tidak
pernah ada larangan untuk pergi bernatal ke rumah keluarga Kristen atau
berlebaran di tetangga yang Muslim.
Semua bergembira bersama, berbagi makanan bersama dan melaksanakan
ibadah masing-masing dalam kesatuan sebagai warga negara. Perbedaan bukanlah
hal yang untuk dipertentangkan melainkan untuk dikelola.
Sebagai
warga negara, relasi hubungan kita dikelola
oleh ayat-ayat konstitusi dan bukan oleh ayat-ayat suci. Ayat konstitusi
dengan jelas mengatur lalu lintas hubungan antarindividu, kelompok, etnis,
ras, dan golongan yang berada dalam naungan nasion Indonesia. Secara jelas dan tegas ayat konstitusi yang dituangkan dalam berbagai aturan yang
memberikan sanksi hukum bagi mereka yang melanggar. Agama tidak campur tangan
urusan negara. Itulah kesepakatan kita ketika bersedia menjadi bagian dari nasion Indonesia.
Akan
tetapi, ini barangkali cerita dulu. Simaklah apa yang kita lakukan dalam
kurun waktu 15 tahun terakhir sejak memasuki era Reformasi. Adakah kita
mereformasi diri? Agaknya jauh panggang dari api. Coba lihat. Kita menjadi
bangsa yang pemberang terhadap saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan.
Kalau perlu kita hukum dengan membakar dan merusak rumah ibadah mereka. Di
mana sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu?
Kita
berang melihat orang lain lebih baik bekerjanya dan lebih baik
penghidupannya. Untuk itu kalau perlu kita rusak kendaraannya atau kita
cemooh dia. Kita berang melihat saudara, teman, tetangga lebih populer, lebih
disukai di masyarakat atau di tempat kerjanya. Lalu kita olok-olok, cari-cari
kesalahan, dan kalau perlu memfitnah.
Kemiskinan vs keadilan
Ketika
ada seorang miskin mencuri jambu atau rambutan tetangga, dengan penuh
semangat kita membawa ke pengadilan dan mendapat hukuman penjara. Prosesnya
berlangsung cepat. Bagaimana dengan para koruptor kelas kakap dan atau
mafia-mafia narkoba? Apakah hukuman yang mereka terima setimpal dengan
kerugian yang ditanggung masyarakat? Apakah proses pengadilannya berlangsung
cepat atau sengaja ditunda-tunda dengan alasan "perlu bukti-bukti
kuat"?
Bagi
orang kaya dan penguasa berlaku pepatah: "kalau proses peradilan bisa
diperlambat kenapa dipercepat?" Sebaliknya bagi kaum miskin, papa, dan
tak berkuasa: "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?" Di mana sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab itu?
Kita
penuh dengan aura keberangan ketika harus
menegakkan sila Keadilan
Sosial. Masih segar dalam benak saya ketika Dr Sjahrir (alm) pernah
mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini mengidap kanker korupsi pada stadium
akhir. Korupsi itu sudah begitu rupa merasuki semua urat nadi dalam tubuh.
Rasa
malu "menilep" uang negara sirna sudah. Bahkan kalau perlu, korupsi
itu dilegalkan dengan cara memasukkan pengeluaran-pengeluaran fantastis yang
tak ada kaitannya dengan kemaslahatan publik apakah itu dalam bentuk anggaran
pendapatan dan belanja daerah ataupun bentuk-bentuk pengeluaran lainnya. Tak ada rasa malu dan
jengah bahwa sikap akal-akalan itu secara kasat mata dilihat dan dinilai oleh
publik.
Tak
ada rasa malu ketika menjadi bahan olok-olokan di media sosial dan bahkan
ironisnya ada juga rasa bangga muncul di media massa. Publik kenyang mendengar
kata "hak angket" yang hendak dilakukan para anggota-anggota
legislatif kita ketika keinginan berkuasa,
berkorupsi dan berkolusi begitu kuatnya. Sebuah parodi kehidupan
berbangsa yang menyesakkan dada. Di sana rasa perikemanusiaan dan keadilan
sama sekali punah.
Ketika
pemimpin-pemimpin yang baik, yang
menggunakan akal sehatnya, yang menghargai pluralisme, yang sangat anti
korupsi, dan bersikap demokratis mulai berkecambah dari tingkat kota, kabupaten, provinsi, dan bahkan ke
tingkat nasional, lihatlah betapa terjalnya jalan yang harus mereka tempuh.
Wali
Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali
Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Wali Kota Solo
FX Hadi Rudyatmo, Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, Bupati Simalungun JR Saragih,
Bupati Kuningan Utje CH Suganda, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, sampai Presiden RI
Joko Widodo adalah beberapa contoh dari sejumlah nama pemimpin harapan
Indonesia masa depan.
Kita semua menjadi saksi bagaimana
pemimpin-pemimpin ini setiap jam, setiap saat "digoreng",
"dikerjain", "didemo", "dipelintir
ucapan-ucapannya" atas nama keadilan bangsa Indonesia. Meskipun mereka
bekerja keras dan sungguh-sungguh berupaya memajukan daerahnya, tak ada
penghargaan sepadan. Di manakah rasa keadilan dan perikemanusiaan itu?
Kita
berang melihat bangsa lain lebih maju dari kita dan berang melihat
pemimpin-pemimpin yang baik satu per satu mulai bermunculan. Kita juga berang
bila keinginan kita tidak terpenuhi apalagi kalau merasa diri sangat
berkuasa.
Kita
berang melakukan musyawarah mufakat dan bersikap demokratis terhadap
keputusan-keputusan yang diinginkan publik yang tidak selalu sesuai dengan
harapan kita. Itulah wajah kita, wajah
yang penuh dengan kemarahan yang bermuara dalam sikap yang "senang lihat
orang susah, dan susah lihat orang senang".
Kepicikan berpikir
Sikap
pemberang biasanya lahir dari sikap arogan, sikap mau menang sendiri, dan
kepicikan berpikir. Amat sulit menjaga Pancasila sebagai dasar negara yang
menopang kemajemukan nasion Indonesia bilamana warganya memiliki karakter
pemberang. Mengutip ucapan Jean
Jacques Rousseau, "Demokrasi itu ibarat buah penting untuk pencernaan.
Hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya." Maka, bagaimana kita
mencerna buah demokrasi itu bila lambung kita penuh dengan bakteri amarah?
Saya sering melihat film-film atau membaca
mengenai seseorang yang harus diterapi
karena bawaannya marah melulu dengan metode yang disebut anger management.
Jangan-jangan kita sebagai bangsa perlu juga mengikuti terapi bagaimana
mengelola kemarahan melalui koridor
yang benar, agar besaran kemarahan (magnitude)
bisa dikurangi hingga seminim mungkin.
Kalau
suka marah, sulit berpikir yang benar dan sulit menggunakan akal sehat. Ada
baiknya memulai terapi ini dalam lingkup kecil dulu: RT/RW, kelurahan, kecamatan,
naik pada tingkat kabupaten/kota, lebih luas lagi tingkat provinsi dan
hingga kepada lingkup nasional.
Peralatan untuk terapi anger management
sudah kita miliki yaitu Pancasila. Berpulang kepada kita, apakah kita mau
menjalankan terapi ini atau kita sudah tidak peduli lagi. Terapi ini adalah
bagian dari apa yang kita sebut sebagai revolusi mental, yaitu suatu
perubahan kelakuan, tata kelakuan, dan hasil kelakuan.
Revolusi
mental menjadikan bangsa Indonesia toleran, bukan lagi bangsa yang pemberang.
Tidak hanya itu, revolusi mental menjadikan kita bangsa yang demokratis,
berperikemanusiaan, peka terhadap keadilan, menghargai musyawarah/mufakat,
dan berketuhanan Yang Maha Esa dalam tatanan nasion Indonesia yang
pluralistik.
Kita
masih mempunyai kesempatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar