Penyelesaian
Beban Sejarah
Albert Hasibuan ; Anggota
Dewan Pertimbangan Presiden 2012-2014
|
KOMPAS, 24 April 2015
Akhirnya,
saya baca, pemerintah serius menuntaskan berbagai pelanggaran hak asasi
manusia berat lama dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi
tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan;
Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan
Intelijen Negara; dan Komnas HAM.
”Tim
gabungan ini dibentuk sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan perkara
pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu. Ini agar tak lagi ada
beban sejarah yang menjadi tanggungan generasi selanjutnya,” demikian
pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo pada Selasa, 21 April (Kompas, 22/4).
Sesuai
data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan
ditangani Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kasus peristiwa 1965-1966,
penembakan misterius 1982-1985, Talangsari di Lampung (1989), penghilangan
orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi
II, serta peristiwa Wasior dan Wamena (2003).
Kalau
memang pemerintah, sesuai pernyataan Jaksa Agung,akan membentuk KKR dalam
waktu singkat, saya menyambut dengan gembira. Saya membayangkan para korban
yang rata- rata sudah uzur sepertimendapatharapan kembali. Di antaranya, saya
ingat, Pak Bedjo Untung dari YPKP (peristiwa 1965-1966), ibu Sumarsih, Hera
Tetty, Karsiah, ibu Hoo Kim Ngo (Trisakti, Semanggi I dan II), Azwar Kaili
(Talangsari, Lampung, 1989), Paian Siahaan dan ibu Tuti Koto (penghilangan
orang secara paksa 1997-1998), dan banyak lagi.
Sehubungan
dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu, saya akan memberikan
pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
Penyelesaian
pelanggaran HAM berat masa lalu harus berdasarkan etika. Dasar etika ini
mengacu pada wawasan persatuan bangsa seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD
RI 1945 yang secara khusus terkait dengan tujuan kemerdekaan Indonesia dan
tanggung jawab negara melindungi dan melayani masyarakat bangsa Indonesia.
Juga solidaritas kebangsaan yang telah menjadi spirit utamakemerdekaan
Indonesia. Solidaritas ini terbentuk bukan karena kesamaan ikatan etnik,
agama, ideologi-politik, ataupun ikatan lain, melainkan karena ikatan
kebersamaan untuk mencapai keadaban kemanusiaan.
Kemudian,
politik yang mengacu pada era reformasi. Dasar politik ini membuka peluang
bagi negara dan pemerintah untuk melakukan koreksi berbagai kesalahan dan
kelalaian masa lampau. Namun, saya mencatat, peluang ini belum dimanfaatkan
secara tuntas dan efektif oleh para pemimpin politik selama ini. Sejumlah
pernyataan kebijakan (policy statements) yang berimplikasi pada pembuatan
peraturan perundang-undangan telah dilakukan, tetapi belum seluruhnya
terlaksana secara tuntas dan ditegakkan dengan efektif.
Lalu,
hukum. Bidang hukum ini merupakan instrumen sah untuk menegaskan bahwa
tindakan-tindakan negara tidak sewenang-wenang dan keadilan dapat ditegakkan.
Peraturan perundang-undangan pada masa-masa awal reformasi, dan sudah tentu
konstitusi UUD RI Tahun 1945, memberikan landasan hukum yang cukup memadai
untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam
hal ini, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan
”bahwa tak ada orang-orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia akan
menikmati impunitas atau bebas dari hukum” menjadi dasar hukum penyelesaian
pelanggaran hukum.
Juga
Tap MPR No V/2000 yang memberi mandat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa
lalu dengan cara ”pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang
bermanfaat”.
Masukan lembaga
Perlu
diperhatikan, saran-saran resmi dari berbagai lembaga, antara lain: (a)
Putusan MK atas persepsi Jaksa Agung dalam penerapan UU No 26 Tahun 2000
Pasal 43 Ayat (1) berkenaan penolakan melakukan penyidikan terhadap sejumlah
kasus pelanggaran HAM berat. Juga (b) Surat Ketua MA No KMA/403/VI/2003
tertanggal 12 Juni 2003 perihal permohonan rehabilitasi kasus HAM masa lalu
yang selanjutnya disarankan oleh DPR RI agar ditindaklanjuti oleh Presiden RI
melalui Surat DPR KS.02/2947/DPR-RI/2003.
Kemudian,
(c) Putusan MK No 001-017/PUU-I/2003 tertanggal 24 Februari 2004 yang
menyatakan Pasal 60 Huruf g UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilihananggota DPR,
DPD, DPRD inkonstitusional karena diskriminatif terhadap para pemohon korban
1965, yang terhambat pelaksanaannya karena belum dicabutnya Keppres No 28
Tahun 1975. Selain itu, (d) usulan DPR RI kepada Presiden RI pada 28
September 2009 perihal pembentukan pengadilan HAM ad hoc bagi kasus
penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998, pencarian korban 13
orang hilang, pemberian rehabilitasi dan kompensasi bagi keluarga korban,
serta perlunya ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.
Dengan
demikian, satu aspek penting dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa
lalu adalah pemulihan hak-hak dasar korban melalui kompensasi dan
rehabilitasi. Pemulihan itu menjadi tanggung jawab negara untuk mengurus dan
menyelesaikannya. Di sini, pemulihan hak-hak dasar korbandilakukan melalui,
pertama, kompensasi (ganti rugi). Dalam proses pemberian kompensasi ini tidak
mudah karena keterbatasan keuangan negara, tuntutan para korban, kesulitan
mengidentifikasi korban, dan lain-lain. Saya pikir, kompensasi itu harus
tetap diusahakan antara lain melalui mekanisme hukum dengan menunjuk UU No 26
Tahun 2000.
Kedua,
dilakukan pemulihan (rehabilitasi) hak-hak perdata korban. Ketiga, memberikan
tunjangan sosial kepada para korban, dan lain-lain.
Pokok
pikiran saya yang terakhir adalah berupa pengampunan (amnesti) para pelaku.
Sehubungan dengan itu, saya berpendapat, pengampunan terhadap para pelaku
pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian penting dari penyelesaian
masalah tersebut. Dalam perspektif tanggung jawab negara, asumsi utama yang
menjadi rujukan adalah negara mengambil alih semua kesalahan yang pernah
dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di
masa lalu.
Dengan
dasar perspektif ini, ada tiga pendekatan (model) pengampunan (amnesti).
Pertama, Kepala Negara sebagai representasi kepercayaan masyarakat memberi
pengampunan secara umum terutama kepada mereka yang didakwa (diduga) telah
melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang saat ini telah
meninggal dunia.
Kedua,
pengampunan berupa amnesti oleh Kepala Negara diberikan kepada pelaku
pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dinyatakan bersalah oleh proses
peradilan yang jujur dan bertanggung jawab. Ketiga, pengampunan secara
sosial-budaya yang dilakukan anggota dan/atau kelompok masyarakat dengan
difasilitasi oleh negara. Pendekatan ini merupakan rekonsiliasi sosial
yangmemberi tanda (makna) penghentian konflik sosial masa lalu.
Pelanggaran
HAM berat masa lalu harus dituntaskan penyelesaiannya secara adil dan
bertanggung jawab. Bukan demi melupakan masa lalu, melainkanmengambil
pelajaran dari pengalaman buruk masa lalu (Presiden SBY menyebutnya A burden
of history) untuk dijadikan kekuatan menggalang kemajuan dan keadabanbangsa
Indonesia di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar