Arti
Kartini di Masa Kini
M Fuad Nasar ; Pemerhati
Sosial
|
MEDIA INDONESIA, 21 April 2015
“SEORANG ibu yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dan
terhormat dalam masyarakat hendaklah selamanya ingat dan sadar, ibu adalah
ibu. Di sinilah bedanya gerakan wanita di Barat dengan gerakan wanita di
Timur. Gerakan wanita di Barat cenderung melepaskan diri dari tanggung jawab
dan kewajiban rumah tangga, yaitu gerakan yang mereka namakan Women
Liberation Movement atau Women’s Lib, sedangkan gerakan wanita di Timur, di
Indonesia, mencari sintesa antara kewajiban rumah tangga dan masyarakat.”
Demikian Prof Dr HA Mukti Ali,
pelopor ilmu perbandingan agama dan mantan menteri agama, memberi analisis
yang sangat penting dan menarik tentang emansipasi wanita. Saya memandang hal
itu amat relevan direnungkan dalam momentum peringatan Hari Kartini.
Memperingati Hari Kartini 21
April yang merupakan tanggal lahir Raden Ajeng Kartini pada 1879 tentu tidak
sekadar memperingati Kartini sebagai tokoh sejarah, tapi kita perlu
mencermati ide-ide yang diperjuangkannya.
Membicarakan RA Kartini berarti
berbicara tentang masyarakat Indonesia pada zamannya. Kendati 90% bangsa
Indonesia di masa itu pemeluk Islam, agama yang mendorong pendidikan dan
kemajuan umatnya tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, dalam zaman itu
begitu kuat pengaruh adat istiadat yang tidak membolehkan anak perempuan
bersekolah, tidak boleh bekerja di luar rumah atau menduduki jabatan di dalam
masyarakat. Perempuan harus tunduk kepada adat istiadat dan tidak boleh punya
kemauan untuk maju.
Perjuangan Kartini seabad yang
lampau identik dengan perjuangan emansipasi wanita. Perkataan ‘emansipasi’
berasal dari bahasa Latin, emancipatio, artinya pembebasan dari suatu
kungkungan atau ikatan. Walau demikian, cita-cita emansipasi Kartini bukanlah
‘westernisasi’ atau meniru begitu saja kebudayaan Barat.
Kartini berasal dari keluarga
bangsawan. Ayahnya Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat.
Kartini seorang wanita muslim yang menghendaki bangsanya maju, sebagaimana
agama Islam mewajibkan umatnya untuk bisa membaca dan menulis.
Perjalanan hidup Kartini cukup
singkat. Ia wafat pada 1904 dalam usia 25 tahun, empat hari setelah
melahirkan. Setahun sebelum meninggal Kartini membuka Sekolah Gadis Jawa di
Kabupaten Jepara. Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan
tanah air, Kartini mengemukakan ide-ide pembaharuan masyarakat yang melampaui
zamannya melalui surat suratnya yang bersejarah.
Cita-citanya yang tinggi
dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda
di luar negeri, seperti Tuan EC Abendanon, Ny MCE OvinkSoer, Zeehandelaar,
Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan Ny HG de BooijBoissevain.
Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada 1911 oleh Mr JH
Abendanon dengan judul Door Duisternis
tot Licht. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru
Armjn Pane pada 1922 dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang.
Prof Dr HAMKA sebagaimana
dikutip Solichin Salam pada bukunya, Kartini
Dalam Sejarah Nasional Indonesia (1983), mengemukakan beberapa pandangan,
`Saya melihat dalam salah satu suratnya
Kartini, dia mengatakan tetap senang dengan Islam, dan tidak akan pindah
memeluk agama lain. Jadi, meskipun di situ dalam karangannya jelas beliau itu
tidak penuh pengetahuannya tentang Islam, tetapi menunjukkan bahwa beliau
cinta kepada Islam’.
Lanjut Hamka, ‘Saya menulis dalam Pedoman Masyarakat,
kalau Kartini masih hidup sekarang dan melihat wanita-wanita sekarang yang
keBarat-baratan dengan pakaian-pakaiannya, dan hanya memakai kebaya setahun
sekali waktu Hari Kartini. Apakah itu yang dikehendaki Kartini? Bukankah
malah beliau akan mengumpat? Padahal Kartini justru menganjurkan agar wanita
kita kembali pada kepribadian sendiri’.
Kartini bukan satu-satunya
tokoh perempuan yang mengisi tempat penting dalam perjuangan bangsa dan
kemajuan masyarakat. Sejarah mencatat nama dan jasa tokoh pejuang perempuan
lainnya, seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Laksamana Keumalahayati, Rohana
Kudus, Siti Manggopoh, Nyi Ageng Serang, Nyai Ahmad Dahlan, Dewi Sartika, Ny
Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, Rahmah El Yunusiyyah, Rasuna
Said, dan Rasimah Ismail.
Dari hari ke hari pada sebagian
masyarakat kita merasakan sesuatu yang hilang dari kehidupan, yaitu
keteladanan dan kehangatan cinta ibu dalam keluarga modern. Padahal, peranan
ibu dalam membangun keluarga dan kehidupan masyarakat sangat penting, tidak
saja pada masa lalu dan masa kini, tapi juga di masa mendatang. Ibu merupakan
saka guru peradaban sehingga Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Wanita ialah tiang negara. Bila wanitanya
baik, baiklah negara dan bila wanitanya buruk, rusaklah negara.“ Sejalan
dengan itu sangat beralasan Sayid Muhammad Shadieq Hasan Khan, cendekiawan
muslim asal Pakistan, menunjukkan pegangan yang paling kuat bagi emansipasi
wanita ialah agama Islam dan pokok-pokok ajarannya termaktub di dalam Quran
dan hadis-hadis Nabi.
Semoga peringatan Hari Kartini
menyadarkan kaum ibu pada tuntutan menyiapkan generasi penerus yang lebih
baik. Surat Kartini kepada Ny Abendanon 21 Januari 1902 menyatakan, “Perempuan itu jadi saka guru peradaban.
Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikan. Di
haribaannyalah anak itu belajar merasa dan berpikir, berkata-kata, dan makin
lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu besar pengaruhnya
bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Dan betapakah ibu bumiputera akan
sanggup mendidik anaknya bila mereka sendiri tiada berpendidikan?“
Pertanyaan Kartini itu telah
terjawab dengan kemajuan dunia pendidikan sekarang ini. Namun, di balik itu
patut direnungkan, pendidikan dan kemajuan yang harus dicapai perempuan tidak
boleh hanya karena semangat bersaing dan tidak ingin ketinggalan dari
laki-laki.
Tingkat pendidikan perempuan
yang semakin tinggi dan karier yang cemerlang haruslah berbanding lurus
dengan kualitas keluarga dan kepribadian anak-anak yang dilahirkannya.
Pendidikan bagi perempuan
haruslah berangkat dari filosofi dasar bahwa mendidik seorang perempuan
berarti mendidik satu keluarga dan mendidik satu keluarga sama dengan membina
satu generasi. Barangkali di situlah kemuliaan perjuangan Kartini bagi
kemajuan negeri dan arti Kartini di masa kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar