Kartini
Bukan Valentine
Ki Supryoko ; Direktur
Pascasarjana Pendidikan UST Jogjakarta
|
JAWA POS, 21 April 2015
ADA fenomena sosiokultural yang menarik; akhir-akhir ini
anak-anak muda sibuk merayakan Hari Valentine (Valentine’s Day) ketika 14 Februari tiba. Bahkan, beberapa hari
sebelumnya, mereka mempersiapkan kartu ucapan selamat atau aneka bingkisan.
Ketika Hari Valentine tiba, banyak SMS berisi ucapan selamat dan bingkisan
cokelat yang ’’beterbangan’’ ke aneka jurusan. Mereka sangat antusias
merayakannya.
Bagaimana dengan Hari Kartini? Ketika 21 April tiba, biasanya
tidaklah semeriah ketika mereka merayakan Hari Valentine. Lebih dari itu,
bahkan banyak anak muda kita yang acuh tak acuh dengan Hari Kartini.
Benar bahwa Presiden Soekarno pernah menandatangani Keputusan
Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964, tanggal
2 Mei 1974, yang menetapkan Kartini sebagai pahlawan kemerdekaan nasional
sekaligus menetapkan hari kelahiran Kartini, 21 April, untuk diperingati
setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Meski begitu, perayaan Hari Kartini tidak semeriah Hari Valentine.
Beda Orientasi
Orientasi Hari Kartini dan Hari Valentine berbeda. Hari Kartini
diambil dari hari kelahiran RA Kartini di Jepara, Indonesia, yang
memperjuangkan terwujudnya emansipasi perempuan Indonesia. Pada sisi lain,
Hari Valentine diambil dari hari dipenggalnya kepala St. Valentine atau Santo
Valentinus di Roma, Romawi, yang melawan kebijakan Kaisar Claudius.
Bahwa Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan bagi
bangsanya, itu tidak perlu diragukan. Dalam buku Door Duisternis tot Licht
(1911) yang dihimpun J.H. Abendanon yang merupakan kumpulan surat Kartini
kepada sahabat-sahabatnya dari Eropa serta dalam buku Habis Gelap Terbitlah
Terang; Boeah Pikiran (1922) yang disusun Armijn Pane dkk, terlukis keinginan
kuat Kartini untuk mengantarkan perempuan pribumi pada derajat yang sama
dengan pria.
Pada usia 12 menjelang 13 tahun, Kartini mulai dipingit orang
tuanya. Dia baru saja selesai belajar di Europese Lagere School (ELS) dan
ingin melanjutkan sekolah dokter di Belanda, tetapi tidak diizinkan ayahnya.
Dia pun belajar mandiri dan mengungkapkan keinginannya untuk membawa kemajuan
bagi perempuan pribumi kepada sahabat-sahabatnya.
Di rumah, dia membaca koran, majalah, dan buku-buku bermutu.
Koran De Locomotief dan majalah De Hollandsche Lelie merupakan menu
bacaannya. Buku-buku berbahasa Belanda karangan Van Eeden, Augusta de Witt,
Goekoop de Jong van Beek, dan sebagainya juga menjadi menu bacaannya. Buku
Max Havelaar karya Multatuli, De Stille Kraacht karya Louis Coperus, serta
roman Die Waffen Nieder karya Berta von Suttner bahkan dibacanya
berkali-kali. Dari belajar mandiri itulah, Kartini tumbuh menjadi perempuan
cerdas yang cekatan dalam berkorespondensi.
Ketika dinikahi Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada
12 November 1903, Kartini segera mendirikan sekolah perempuan di kompleks
kabupaten dan Kartini sendiri yang menjadi gurunya. Jadi, peringatan Hari
Kartini lebih berorientasi pada emansipasi perempuan Indonesia.
Valentine berbeda dengan Kartini. Kaisar Claudius membuat
kebijakan tidak boleh ada perkawinan pria dengan perempuan karena
mengakibatkan para pria enggan menjadi prajurit kerajaan untuk menundukkan negara-negara
sekitar.
St. Valentine melawan kebijakan Kaisar Claudius dengan tetap
mengawinkan pria dengan perempuan yang saling mencintai. Ketika kegiatan itu
diketahui kerajaan, Valentine ditangkap dan pada 14 Februari 269 M kepalanya
dipenggal. Seperempat abad kemudian, tepatnya 496 M, pendeta Gelasius
menetapkan 14 Februari sebagai Hari Valentine. Jadi, perayaan Hari Valentine
lebih berorientasi pada ekspresi kasih sayang antara pria dan perempuan.
Kewajiban Pemerintah
Mengapa pada era globalisasi ini peringatan Hari Kartini semakin
surut, tetapi perayaan Hari Valentine semakin meriah? Itulah permasalahan
kita sekarang.
Mengenai Valentine, jawabannya sederhana. Perayaan itu meriah
karena kelihaian marketing orang Eropa dan AS dengan menciptakan mitos-mitos
baru seolah-olah yang mereka rayakan adalah pesan St. Valentine. Anak muda
Jepang yang dulu tidak mengenal Hari Valentine sekarang getol merayakannya.
Lebih dari itu, dalam merayakan, muncul tradisi baru yang disebut Girichoko,
yakni kewajiban para perempuan memberikan hadiah cokelat kepada teman pria;
seolah itu semua pesan St. Valentine.
Masyarakat Taiwan dulu juga tidak mengenal Hari Valentine karena
telah memiliki ’’Hari Raya Anak Perempuan’’ yang disebut Xi Qi. Namun, kini
banyak anak muda Taiwan yang lebih senang merayakan Hari Valentine daripada
Hari Raya Anak Perempuan.
Anak muda Indonesia pun cenderung demikian, lebih suka merayakan
Hari Valentine daripada Hari Kartini. Merayakan Hari Valentine tentu tidak
dilarang, tetapi jangan melupakan Hari Kartini.
Kalau kita ingin masyarakat antusias memperingati Hari Kartini
seperti beberapa tahun lalu, pemerintah wajib memperbaiki ’’marketing’’ Hari
Kartini. Pemerintah harus mampu mengondisikan peringatan Hari Kartini sembari
meyakinkan masyarakat akan pentingnya mengimplementasikan konsep emansipasi
perempuan di tengah-tengah era globalisasi sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar