Mantra
Membangun Desa
Ismail Hasani ; Pengajar
Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Direktur Riset Setara Institute
|
KOMPAS, 22 April 2015
Promosi ”1 desa 1 miliar” pada Pemilu 2014 adalah mantra politik
yang diucapkan dalam banyak pertemuan politik saat itu. Meski materi itu
bukanlah gagasan para kandidat, melainkan bersumber dari UU No 6/2014 tentang
Desa, daya tarik materi kampanye itu sempat memukau masyarakat yang
mengimpikan pembangunan desa dengan paradigma desa membangun menuju
kesejahteraan dan keadilan.
Secara sederhana, paradigma ini bertolak dari pengakuan negara
atas otoritas desa sebagai satu kesatuan hukum yang otonom. Desa bukan obyek
pembangunan, melainkan subyek yang bisa mandiri, termasuk mendesain sektor pembangunan
mana yang paling prioritas bagi sebuah desa. Tugas negara terbatas pada
penyediaan alokasi dana dan berbagai standar, sementara tugas membangun
diserahkan kepada desa.
Meskipun desa membangun bukan paradigma baru, karena sebelumnya
telah menjadi praktik di desa-desa di beberapa wilayah, kehadiran UU Desa
telah menjadi spirit baru pembangunan pedesaan. Sebelumnya pembelajaran juga
diperoleh dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Pedesaan yang berlangsung selama 10 tahun. Meskipun paradigmanya
sentralistis, model dan pendekatan PNPM Mandiri dalam pengambilan
keputusannya mengadopsi paradigma desa membangun.
PNPM Mandiri telah berkontribusi pada peningkatan pengetahuan
kepala desa dan pelaku pemberdayaan desa dengan prinsip kerja partisipatif
dan orientasi pembangunan inklusif.
Menguji mantra
Begitu pemerintahan baru terbentuk, tekad UU Desa
menyejahterakan masyarakat langsung menghadapi sejumlah ujian. Ujian pertama
terkait dengan kewenangan kementerian yang menangani urusan desa. Ketegangan
antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi ini berjalan hampir enam bulan dan baru selesai
setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan dua peraturan presiden, yaitu
Perpres 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Perpres 12/2015 tentang
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dua
peraturan yang merupakan penegas dari Perpres 165/2014 tentang Penataan Tugas
dan Fungsi Kabinet Kerja pada intinya mengatur kewenangan dua kementerian
terkait dengan desa. Kemendagri akan tetap memiliki kaki hingga ke desa yang
dikelola Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, sedangkan Kementerian
Desa akan mengurus urusan desa selain soal pemerintahan.
Jalan tengah ala Jokowi ini dianggap solusi politik tepat,
tetapi tetap menyisakan potensi masalah hukum karena membonsai otonomi desa
dengan tetap menjadikan desa sebagai unit pemerintahan paling rendah di bawah
Kemendagri yang menganut rezim hukum pemerintahan daerah. Padahal, rezim UU
Desa tegas mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang otonom
dalam NKRI.
Selain itu, potensi lapangan muncul terkait kepatuhan kepala
desa pada standar-standar yang dikeluarkan dua kementerian. Namun, setidaknya
langkah Jokowi ini telah memutus kebekuan pembangunan desa sehingga
akselerasi pembangunan desa bisa segera berjalan.
Ihwal akuntabilitas dana desa adalah ujian kedua implementasi UU
Desa. April 2015 adalah awal implementasi UU Desa, khususnya tahap awal
pencairan dana desa. Pada tahap awal, desa baru akan memperoleh alokasi Rp
250 juta-Rp 280 juta. Jumlah ini pun dibatasi penggunaannya sesuai dengan
standar prioritas pembangunan desa, yang tertuang dalam Permendes 5/2015
tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Pencairan dana juga baru
bisa dilakukan setelah desa melengkapi dokumen pokok RPJM Desa, APBDesa, dan
RKP Desa. Untuk pemenuhan dokumen, atas bantuan fasilitator PNPM dan
inisiatif para kepala daerah, desa-desa hampir semuanya telah memenuhi.
Namun, potensi ujian justru datang dari pemerintahan desa.
Memang tidak pada tempatnya pemerintah meragukan kemampuan pemerintah desa
dalam mengelola keuangan. Namun, pembelajaran praktik PNPM menunjukkan bahwa
dana pemberdayaan sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi di lapangan
tidak banyak dirasakan masyarakat. Betul bahwa hanya di angka 0,5 persen
tingkat korupsi dana PNPM (data 2012), tetapi dari berbagai kasus yang
muncul, cukup bagi Kementerian Desa menjaga marwah pembangunan desa dengan
standar akuntabilitas yang tinggi. Tantangan akuntabilitas ini harus dijawab
oleh Kementerian Desa dengan mencipta atau mengadopsi model-model pengawasan
yang telah diinisiasi PNPM atau masyarakat sipil.
Memastikan dana desa tidak dikorupsi oknum pemerintahan desa dan
pemerintahan daerah tidak cukup mengandalkan pendamping yang akan direkrut
oleh Kementerian Desa secara massal. Rekrutmen dalam jumlah besar, dengan
kompensasi yang lumayan tinggi untuk standar sarjana, jelas berpotensi
memunculkan masalah. Apalagi, standar tenaga pendamping yang ditetapkan oleh
Permendes 3/2015 jauh lebih longgar dibandingkan dengan standar yang
tercantum dalam UU Desa.
Marwah desa
Mantra ”1 desa 1 miliar” memang tak mudah direalisasikan dalam
tahun 2015-2016. Menteri Marwan Jafar menjanjikan baru pada 2018 dana desa
bisa digenapi sesuai dengan mantra politik membangun desa seperti saat
pemilu. Bahkan, jumlahnya hingga Rp 1,4 miliar sesuai dengan persentase
alokasi dana dalam skema APBN pada setiap tahunnya. Mantra yang teruji secara
bertahap ini bisa dimaklumi mengingat tingkat kesiapan desa yang variatif dan
penerapan standar akuntabilitas tinggi dari penggunaan dana desa. Sebagai
dana yang bersumber dari APBN, pengelolaan dana desa tunduk pada rezim hukum
keuangan negara, di mana ia harus dikelola dengan standar akuntansi negara,
termasuk menjadikan dana tersebut sebagai obyek audit BPK dan BPKP.
Dana desa berbeda dengan dana yang bersumber dari tanah bengkok.
Jika pada masa sebelumnya sumber dana dari tanah bengkok menjadi otoritas
penuh kepala desa, dalam skema UU Desa, dana ini harus dikelola secara
transparan, akuntabel, berbasis perencanaan, dan menjadi obyek audit.
Berbagai ujian yang muncul harus dikelola secara sehat, solutif,
dan berintegritas. Menteri Desa tak perlu ragu membuat jaring pengaman
berlapis meski berdampak pada keterlambatan karena menjaga marwah pembangunan
desa jauh lebih utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar