Pesta
Bikini Meniru Nenek-Nenek
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN SINDO, 27 April 2015
Ujian nasional merupakan ritual
tahunan yang menegangkan dalam sistem pendidikan yang kita jalani. Ujian
tersebut seolah menjadi peristiwa penentu perjalanan hidup dan kehidupan
seorang siswa.
Berbagai cara dilakukan oleh
siswa, guru dan orangtua untuk dapat melewati peristiwa sakral dan
menegangkan tersebut. Sebut saja bimbel, mencari bocoran soal, sampai hal-hal
yang berbau mistis seperti mencari wangsit ke kuburan dan menggandeng dukun,
dari mulai dukun tradisional yang menggunakan mantra dan sesajen sampai dukun
lulusan luar negeri yang menggunakan metodologi berpikir rasional berbasis
teknologi informasi.
Kekalutan orang terhadap ujian
nasional dimanfaatkan oleh para pihak yang melihat itu sebagai sisi
keuntungan, maka terjadilah kebocoran soal yang mengguncang jagat pendidikan
Indonesia dan dianggap aib yang menampar dunia pendidikan kita. Padahal
masalah kebocoran adalah hal yang ”biasa” dalam siklus perjalanan pembangunan
Indonesia.
Kontraktor bikin bangunan
rata-rata atapnya bocor, bikin toilet di lantai dua juga sering bocor, pipa
PDAM tidak jarang mengalami kebocoran, jaringan listrik juga sering bocor di
perjalanan. Kebocoran bukan hanya melanda hal-hal yang biasa, tetapi juga
melanda wilayah-wilayah yang dianggap paling sakral dan dijaga oleh ratusan
pasukan.
Berapa kali kita mendengar
pembicaraan presiden yang dianggap rahasia sekalipun sering bocor terdengar
ke luar, bahkan sampai ke negeri Australia dan Amerika. KPK, lembaga anti
rasuah yang paling ditakuti di negeri ini, surat penetapan status
tersangkanya pada seseorang pernah bocor sebelum diumumkan. Jadi kenapa kita
harus panik terhadap soal ujian nasional yang bocor kalau kebocoran di negeri
ini sudah dianggap hal yang wajar?
Perjalanan pendidikan yang
melelahkan dan berpuncak pada ujian nasional telah melahirkan peserta didik
yang depresi. Bukan hanya peserta didiknya, bahkan pendidiknya pun banyak
yang mengalami depresi disebabkan oleh kebingungan mereka dalam mengartikulasikan
seluruh ide dan gagasan tentang hakikat pendidikan yang sering kali
berbenturan dengan doktrin administratif pendidikan yang berbasis kurikulum
bongkar muat.
Ciri-ciri peserta didik yang
depresi itu sangat mudah diidentifikasi, ketika ada pengumuman bahwa mereka
bebas untuk tidak masuk sekolah (libur), maka tepuk tangan mereka menggema di
ruang kelas disertai dengan senyum bahagia para gurunya. Jadi secara umum
kalau murid ditanya pelajaran apa yang disukai di sekolah, sebenarnya bukan
pelajaran matematika, fisika, kimia, atau biologi yang mereka sukai, tetapi
pelajaran bebaslah yang menjadi pelajaran favorit.
Hal tersebut menunjukkan betapa
sistem pelajaran di sekolah telah menjadi monster yang menakutkan dan
mencekam. Tumpah ruah kebahagiaan atas selesainya seluruh jenjang pendidikan
yang dijalani oleh siswa, banyak diekspresikan dalam berbagai tingkah polah
yang sering kali bertentangan dengan spirit pendidikan itu sendiri.
Ekspresi itu banyak diwujudkan
dengan ritual berkonvoi di jalanan, coret-coret baju seragam, sampai pesta
minuman keras, bahkan kita mendengar saat ini tidak sedikit anak sekolah yang
melakukan pesta seks. Sebuah ironi dari spirit kemuliaan pendidikan yang
mengajarkan nilai luhur tentang makna keutuhan manusia.
Pada akhirnya, kekerasan doktrin
pendidikan berbanding terbalik dengan realitas produk pendidikan yang telah
kehilangan substansi dan terperosok ke dalam lubang seremoni pendidikan atas
nama kualitas dan atas nama kompetensi seseorang. Seluruh kompetensi yang
menjadi kebanggaan dan alat ukur pendidikan kita, kini terperosok ke dalam
pendidikan yang terkerangkeng dan sibuk memuja metodologi serta melupakan
substansi dari arah dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Pertanyaan unik dapat kita ajukan
dalam tesis yang sangat sederhana, betulkah pendidikan formal yang berpuncak
pada ujian nasional adalah jaminan mutu bagi masa depan seseorang? Tapi
mengapa para pengusaha sukses banyak lahir tanpa latar belakang pendidikan
profesinya, para penemu banyak lahir dari orang-orang yang tidak sepenuhnya
mengikuti pendidikan formal.
Tukang kuli bangunan mampu
mewujudkan sisi pembangunan yang indah tanpa pendidikan sekolah bangunan,
tetapi justru kebudayaan mereka dalam memahami bangunan porak-poranda oleh
orangorang yang mengenyam pendidikan tinggi berdasarkan karakter yang lebih
menekankan pada titik keuntungan dibanding watak peradaban. Istana Negara dan
Istana Cipanas sebagai simbol kebanggaan masyarakat Indonesia justru dibangun
melalui kerja rodi.
Gedung Sate yang tinggi megah
sebagai ikonnya masyarakat Jawa Barat juga dibangun dengan kerja rodi. Jalan
Anyer-Panarukan, jalur kereta api dari Jakarta hingga Surabaya, juga dibangun
oleh kekuatan pekerja yang tak bersekolah.
Yang lebih unik lagi, karya-karya
musik dan lagu yang berkualitas banyak diciptakan dan dinyanyikan oleh orang
yang tidak pernah mengikuti pendidikan musik secara formal, tetapi
mengutamakan imajinasi dan rasa serta pengalaman hidup yang membuat mereka
unggul dalam kreativitas.
Silakan ditanyakan kepada Bang
Haji Rhoma Irama si Raja Dangdut, Iwan Fals, Ebiet G Ade, Slank, dan Melly
Goeslaw, mereka sekolah musik di mana? Jawabannya ”tanyakan kepada rumput
yang bergoyang,” begitulah kata Ebiet G Ade, ”Terlalu,” kata Bang Haji Rhoma Irama,
Bongkar itulah kata Iwan Fals, Ada Apa dengan Cinta , begitulah Melly Goeslaw
mengatakan.
Ketika hari menjelang senja, Ma
Icih berkata dengan nada penuh makna kepada Mang Udin suami tercintanya,
”Udin, saya tidak mengerti, katanya pendidikan dasar 9 tahun tapi kenapa
pemerintah melaksanakan ujian di kelas 6...? Terus sekarang pendidikan yang
baik 12 tahun, kenapa harus ada ujian nasional di kelas 9...? Selanjutnya
dari kelas 6 ke kelas 7 mah bukan lulus, tapi naik... dari kelas 9 ke kelas
10 juga sama, bukan kelulusan tapi kenaikan.”
Mang Udin menimpali sambil
tersenyum, ”Iya Icih, saya juga tidak mengerti, buat apa sampai bimbel segala
ya? Kalau bimbel dianggap efektif dan merupakan cara mudah untuk lulus ujian,
sebaiknya sekolah dihapus saja diganti dengan bimbel, terus ujian. Kan jadi
murah biaya pendidikan Indonesia.”
Ma Icih kembali menimpali, ”Betul,
Din. Kelihatannya cucu-cucu kita sekarang banyak mengalami stres, karena
terlalu seriusnya belajar di sekolah. Bajunya serius, bukunya serius. Bahkan
saking seriusnya itu buku, sebelum masuk ke sekolah tidak pernah dibaca dulu
oleh pejabat yang menangani bukunya, sehingga gambar porno, ajaran agama
abal-abal bisa masuk ke buku.
Kalau buku yang menentukan arah
pembelajaran di kelas, nanti mah sekolah guru harus dihapus karena tidak
bermanfaat lagi ketika mengajar. Guru tidak lagi menyampaikan pemahaman
pengetahuan yang dia miliki hasil dari kuliahnya, mereka hanya sekedar
menyampaikan isi buku kepada murid-muridnya.
Jadi guru sudah tidak lagi mewakili
pengetahuan yang dimilikinya, tetapi dia lebih mewakili pesan percetakan yang
dititipkan kepadanya.” Ma Icih menambahkan, ”Nini (Nenek) sekarang itu lagi
ada kebahagiaan, ternyata anak-anak sekolah di Jakarta kayanya sudah bosan
dan pusing dengan berbagai teori yang membuat mereka menjadi semakin asing
dengan dirinya, bahkan mereka sudah bosan dengan peradaban pakaian perkotaan
yang membuat mereka menjadi tersiksa.
Mereka ingin hidup sederhana
seperti Nini, pake baju cukup kutang wungkul sehingga diadakan pesta sebagai
wujud kebahagiaan tamatnya mereka sekolah. Padahal kalau uang untuk biaya
sekolah mereka itu diberikan kepada Nini, Nini bisa beli kutang baru karena
kutang lama kancingnya sudah copot sebelah,” ujar Ma Icih menutup
pembicaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar