Negara
(dan) Partai
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS, 20 April 2015
"Saudara-saudara
mengetahui bahwa saya sekarang bukan anggota sesuatu partai, sekarang saya
bukan anggota PKI, bukan anggota Masyumi, bukan anggota Nahdlatul Ulama,
bukan anggota Partai Nasional Indonesia. Saya adalah warga negara Republik
Indonesia yang bernama Soekarno, yang kebetulan pada saat sekarang ini
memegang jabatan presiden pertama Republik Indonesia itu."
(Amanat pada Peringatan Ulang Tahun Ke-30 PNI, Bandung, 3 Juli
1957)
Meski sebagai salah seorang pendiri Partai Nasional Indonesia,
Bung Karno sejak menjadi presiden memelihara relasi netralnya dengan semua
partai, termasuk ketika sedang memperjuangkan ideologi Nasakom (Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme).
Lepas dari blunder ideologisnya, warisan berharganya adalah
konsistensi sikap politik untuk berdiri di atas semua golongan. Sayang,
warisan kenegarawanan itu belum mentradisi dalam politik kita.
Presiden-presiden selanjutnya selalu dikaitkan dengan posisi sebagai petinggi
partai. Komplikasi relasi politik dengan partai pendukung memang tak terjadi,
tetapi presiden jadi tidak netral. Keistimewaan partai(-partai) pendukung
malah dimanfaatkan para kader untuk memperluas dan memperkuat jejaring
kekuasaan, yang pada akhirnya mempermudah praktik korupsi. Apabila korupsi
semasa Orde Baru terpusat, pada masa Orde Reformasi menyebar.
Petugas partai
Sistem presidensial menggariskan presiden sebagai pemimpin
seluruh rakyat Indonesia. Semasa dicalonkan, ia bisa diklaim sebagai milik
suatu (koalisi) partai. Namun, sewaktu menjadi presiden, ia harus berdiri di
atas semua partai yang notabene bagian dari rakyat yang dipimpinnya. Survei
publik dulu juga memperlihatkan, salah satu alasan terkuat rakyat memilih
presiden yang sekarang bukan karena partainya, melainkan integritas dan
kepemimpinannya sebagai kepala daerah.
Keniscayaan calon presiden untuk diusung partai hanya karena UU
belum memberikan ruang bagi calon presiden independen. Karena peran minimalis
partai, komunitas relawan (nonpartai) bergerak all out dengan segala cara dan
tanpa pamrih untuk memobilisasi dukungan rakyat. Amat disayangkan apabila
presiden tidak mampu mengembangkan kapasitas kenegarawannya hanya karena ia
memilih untuk partisan.
Memang situasi politik pada bulan-bulan pertama pasca pemilihan
presiden masih terbelah tajam karena ambisi Koalisi Merah Putih (KMP) untuk
menguasai DPR dan MPR. Namun, elite Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
menginginkan terlalu jauh. Mengamankan posisi politik presiden diterjemahkan
sebagai memastikan presiden menjalani garis kebijakan partai. Para petinggi
partai pun terlihat sering mengunjungi istana. Malah sekarang pertemuan rutin
dengan KIH hendak dibuat lebih sering dan diformalkan.
Formalisasi komunikasi eksklusif dengan partai pendukung justru
melanggengkan keterbelahan politik di parlemen. Padahal, keterbelahan itu
kini sudah mencair dan Presiden lebih mudah berdiri di atas semua partai.
Komunikasi eksklusif dengan KIH untuk semua masalah kenegaraan akan membuat
wibawa Presiden bergantung pada dukungan sekelompok partai. Kapasitas
kenegarawanannya juga sulit berkembang.
Pemerintahlah, bukan partai, yang memiliki kapasitas
menyejahterakan rakyat. Baik untuk partai belum tentu baik untuk negara.
Karena itu, partai seharusnya tidak memasuki lingkup praksis bernegara dan
memunculkan fenomena negara di dalam negara. Komunikasi formal cukup di
antara sesama kader partai di legislatif dengan para pembantu Presiden.
Partai cukup mengawal praksis bernegara agar sejalan dengan konstitusi
negara.
Bukan negara partai
Partai memang sebuah unsur penting dalam negara demokrasi
modern, tetapi ia bukan pilar demokrasi. Secara konvensional, ada tiga pilar
demokrasi (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagai mekanisme pengawasan
untuk meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam demokrasi modern, pers
bebas diakui sebagai pilar keempat dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap
kekuasaan.
Partai bukan pilar demokrasi, malah ia harus pertama-tama mengembangkan
kualitas demokrasi secara internal. Namun, fenomena partai kita masih tidak
jauh dari gerontokrasi, politik dinasti, dan ketua hasil aklamasi. Partai
belum mampu menjadi kawah candradimuka bagi pembentukan kader calon pemimpin
bangsa untuk masa depan. Daripada menjadi academia bagi lahirnya gagasan
politik yang besar dan memberi solusi bagi negara, partai malah menjadi
beban.
Kader partai yang menjadi pejabat negara selalu ditekankan
sebagai petugas partai dan harus tunduk pada kebijakan partai. Kebijakan
partai begitu saja diklaim sebagai kebijakan rakyat. Suara partai, suara
rakyat. Bahkan, ketua partai mempersilakan kadernya keluar dari partai
apabila tidak mau disebut sebagai petugas partai. Ungkapan merendah dari sang
ketua yang menyatakan dirinya juga petugas partai sesungguhnya hanya
memuliakan partai secara tidak proporsional. Faktanya adalah personalisasi
kekuasaan di dalam tubuh partai.
Akibat ketaktegasan Presiden mengafirmasi kenegarawananya, para
pembantunya secara diam-diam atau terbuka jadi partisan. Bahkan, supremasi
negara diuji ketika menteri juga pejabat struktural partai meski berstatus
nonaktif. Partai bukan entitas independen di atas negara dengan relasi satu
arah, dalam posisi mendukung atau beroposisi terhadap pemerintah. Pemerintah
juga punya otoritas atas partai sebagai bagian dari rakyat.
Partai seharusnya sebuah alat perjuangan ideologis. Hanya di
negara komunis dengan sistem partai tunggal, pejabat negara persis petugas
partai, bertanggung jawab kepada dan dikendalikan oleh partai. Garis
kebijakan negara sesuai dengan garis kebijakan partai. Di Indonesia, tidak
ada suara partai adalah suara rakyat, apalagi faktanya sering asimetris.
Ada indeks korupsi negara sebagai hasil perilaku elite
penyelenggara negara yang membuat skor indeks persepsi korupsi Indonesia
masih pada angka 34 (jauh sekali dari 100). Juga tidak ada indeks korupsi
rakyat, tetapi ada indeks korupsi partai dan Indonesia amat rawan dengan
korupsi politik.
Elite partai di Indonesia justru harus serius mendengarkan
aspirasi rakyat, bukannya mencampuradukkan sistem parlementer dan sistem
presidensial. Kader partai di eksekutif seharusnya diwakafkan untuk rakyat
sampai akhir masa tugasnya sehingga ia terhindar dari konflik kepentingan
saat menjadi pejabat negara. Dengan cara itu, kader partai di eksekutif lebih
mudah mengoptimalkan kapasitas kenegarawanannya.
Pada akhirnya, partai memang berhak memperlakukan kadernya
sebagai petugas partai sesuai dengan konstitusi partai. Hanya saja,
konstitusi partai bukan konstitusi negara. Presiden tidak boleh membiarkan
negara dikerdilkan sebab Indonesia bukan negara partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar