Selasa, 21 April 2015

Negara (dan) Partai

Negara (dan) Partai

Yonky Karman  ;  Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 20 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

"Saudara-saudara mengetahui bahwa saya sekarang bukan anggota sesuatu partai, sekarang saya bukan anggota PKI, bukan anggota Masyumi, bukan anggota Nahdlatul Ulama, bukan anggota Partai Nasional Indonesia. Saya adalah warga negara Republik Indonesia yang bernama Soekarno, yang kebetulan pada saat sekarang ini memegang jabatan presiden pertama Republik Indonesia itu."

 (Amanat pada Peringatan Ulang Tahun Ke-30 PNI, Bandung, 3 Juli 1957)

Meski sebagai salah seorang pendiri Partai Nasional Indonesia, Bung Karno sejak menjadi presiden memelihara relasi netralnya dengan semua partai, termasuk ketika sedang memperjuangkan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).

Lepas dari blunder ideologisnya, warisan berharganya adalah konsistensi sikap politik untuk berdiri di atas semua golongan. Sayang, warisan kenegarawanan itu belum mentradisi dalam politik kita. Presiden-presiden selanjutnya selalu dikaitkan dengan posisi sebagai petinggi partai. Komplikasi relasi politik dengan partai pendukung memang tak terjadi, tetapi presiden jadi tidak netral. Keistimewaan partai(-partai) pendukung malah dimanfaatkan para kader untuk memperluas dan memperkuat jejaring kekuasaan, yang pada akhirnya mempermudah praktik korupsi. Apabila korupsi semasa Orde Baru terpusat, pada masa Orde Reformasi menyebar.

Petugas partai

Sistem presidensial menggariskan presiden sebagai pemimpin seluruh rakyat Indonesia. Semasa dicalonkan, ia bisa diklaim sebagai milik suatu (koalisi) partai. Namun, sewaktu menjadi presiden, ia harus berdiri di atas semua partai yang notabene bagian dari rakyat yang dipimpinnya. Survei publik dulu juga memperlihatkan, salah satu alasan terkuat rakyat memilih presiden yang sekarang bukan karena partainya, melainkan integritas dan kepemimpinannya sebagai kepala daerah.

Keniscayaan calon presiden untuk diusung partai hanya karena UU belum memberikan ruang bagi calon presiden independen. Karena peran minimalis partai, komunitas relawan (nonpartai) bergerak all out dengan segala cara dan tanpa pamrih untuk memobilisasi dukungan rakyat. Amat disayangkan apabila presiden tidak mampu mengembangkan kapasitas kenegarawannya hanya karena ia memilih untuk partisan.

Memang situasi politik pada bulan-bulan pertama pasca pemilihan presiden masih terbelah tajam karena ambisi Koalisi Merah Putih (KMP) untuk menguasai DPR dan MPR. Namun, elite Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menginginkan terlalu jauh. Mengamankan posisi politik presiden diterjemahkan sebagai memastikan presiden menjalani garis kebijakan partai. Para petinggi partai pun terlihat sering mengunjungi istana. Malah sekarang pertemuan rutin dengan KIH hendak dibuat lebih sering dan diformalkan.

Formalisasi komunikasi eksklusif dengan partai pendukung justru melanggengkan keterbelahan politik di parlemen. Padahal, keterbelahan itu kini sudah mencair dan Presiden lebih mudah berdiri di atas semua partai. Komunikasi eksklusif dengan KIH untuk semua masalah kenegaraan akan membuat wibawa Presiden bergantung pada dukungan sekelompok partai. Kapasitas kenegarawanannya juga sulit berkembang.

Pemerintahlah, bukan partai, yang memiliki kapasitas menyejahterakan rakyat. Baik untuk partai belum tentu baik untuk negara. Karena itu, partai seharusnya tidak memasuki lingkup praksis bernegara dan memunculkan fenomena negara di dalam negara. Komunikasi formal cukup di antara sesama kader partai di legislatif dengan para pembantu Presiden. Partai cukup mengawal praksis bernegara agar sejalan dengan konstitusi negara.

Bukan negara partai

Partai memang sebuah unsur penting dalam negara demokrasi modern, tetapi ia bukan pilar demokrasi. Secara konvensional, ada tiga pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagai mekanisme pengawasan untuk meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam demokrasi modern, pers bebas diakui sebagai pilar keempat dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan.

Partai bukan pilar demokrasi, malah ia harus pertama-tama mengembangkan kualitas demokrasi secara internal. Namun, fenomena partai kita masih tidak jauh dari gerontokrasi, politik dinasti, dan ketua hasil aklamasi. Partai belum mampu menjadi kawah candradimuka bagi pembentukan kader calon pemimpin bangsa untuk masa depan. Daripada menjadi academia bagi lahirnya gagasan politik yang besar dan memberi solusi bagi negara, partai malah menjadi beban.

Kader partai yang menjadi pejabat negara selalu ditekankan sebagai petugas partai dan harus tunduk pada kebijakan partai. Kebijakan partai begitu saja diklaim sebagai kebijakan rakyat. Suara partai, suara rakyat. Bahkan, ketua partai mempersilakan kadernya keluar dari partai apabila tidak mau disebut sebagai petugas partai. Ungkapan merendah dari sang ketua yang menyatakan dirinya juga petugas partai sesungguhnya hanya memuliakan partai secara tidak proporsional. Faktanya adalah personalisasi kekuasaan di dalam tubuh partai.

Akibat ketaktegasan Presiden mengafirmasi kenegarawananya, para pembantunya secara diam-diam atau terbuka jadi partisan. Bahkan, supremasi negara diuji ketika menteri juga pejabat struktural partai meski berstatus nonaktif. Partai bukan entitas independen di atas negara dengan relasi satu arah, dalam posisi mendukung atau beroposisi terhadap pemerintah. Pemerintah juga punya otoritas atas partai sebagai bagian dari rakyat.

Partai seharusnya sebuah alat perjuangan ideologis. Hanya di negara komunis dengan sistem partai tunggal, pejabat negara persis petugas partai, bertanggung jawab kepada dan dikendalikan oleh partai. Garis kebijakan negara sesuai dengan garis kebijakan partai. Di Indonesia, tidak ada suara partai adalah suara rakyat, apalagi faktanya sering asimetris.

Ada indeks korupsi negara sebagai hasil perilaku elite penyelenggara negara yang membuat skor indeks persepsi korupsi Indonesia masih pada angka 34 (jauh sekali dari 100). Juga tidak ada indeks korupsi rakyat, tetapi ada indeks korupsi partai dan Indonesia amat rawan dengan korupsi politik.

Elite partai di Indonesia justru harus serius mendengarkan aspirasi rakyat, bukannya mencampuradukkan sistem parlementer dan sistem presidensial. Kader partai di eksekutif seharusnya diwakafkan untuk rakyat sampai akhir masa tugasnya sehingga ia terhindar dari konflik kepentingan saat menjadi pejabat negara. Dengan cara itu, kader partai di eksekutif lebih mudah mengoptimalkan kapasitas kenegarawanannya.

Pada akhirnya, partai memang berhak memperlakukan kadernya sebagai petugas partai sesuai dengan konstitusi partai. Hanya saja, konstitusi partai bukan konstitusi negara. Presiden tidak boleh membiarkan negara dikerdilkan sebab Indonesia bukan negara partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar