Perpres
Infrastruktur Kereta Api
Roos Diatmoko ; Anggota
Komisi Transportasi DRN 2005-2011
|
KOMPAS, 22 April 2015
Sebagai tuan rumah Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika,
Bandung berbenah menjadi pusat perhatian media penjuru dunia.
Walaupun tema Konferensi Asia Afrika (KAA) adalah penguatan
kerja sama negara Selatan-Selatan dalam upaya mempromosikan perdamaian dan
kesejahteraan dunia, Wali Kota Bandung juga mengundang CEO bisnis dunia.
Memanfaatkan kunjungan pebisnis dunia, Indonesia sekaligus menjadi tuan rumah
World Economic Forum (WEF) Asia Timur 2015. Jakarta akan menjadi magnet
aspirasi Asia Timur di tengah kelesuan ekonomi.
Tentu saja kerja sama infrastruktur akan jadi topik penting bagi
Indonesia. Peristiwa internasional 19-21 April ini juga sebagai lanjutanacara
APEC CEO Summit di Beijing tahun lalu. Presiden Joko Widodo berusaha memikat
investor melalui presentasinya tentang peluang kerja sama infrastruktur
Indonesia. Janji kepada investor antara lain adalah perubahan dan kemudahan
dalam bisnis.
Peluang dari perpres
Menjelang kunjungan ke Jepang dan Tiongkok pada 20 Maret lalu,
Presiden Jokowi menandatangani Perpres No 38/2015 tentang Kerja Sama
Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Penyediaan Infrastruktur.
Sayangnya, media tak banyak memublikasikannya. Sebaliknya, media lebih
meramaikan Perpres No 39/2015 tentang Fasilitas Uang Muka Mobil yang akhirnya
dibatalkan. Perpres No 38/2015 menyangkut perubahan dan kemudahan KPBU semoga
lebih cermat dan bermanfaat.
Apabila tugas penjabaran Perpres No 38/2015 dapat dipercepat
sampai tenggat 20 April oleh para menteri terkait infrastruktur, para calon
investor dapat kembali tanpa tangan hampa. KPBU versi baru tidak hanya
menggantikan Perpres No 67/2005 dan perubahannya, lingkupnya pun diperluas
tidak hanya untuk infrastruktur dasar. Ia bisa mencakup gabungan dari dua
atau lebih jenis untuk infrastruktur ekonomi dan sosial serta terbuka bagi
investor asing.
Lagi pula, pemerintah mendorong anggaran infrastruktur naik
menjadi Rp 282 triliun dari Rp 190 triliun. Tambahan anggaran berasal dari
pengurangan subsidi BBM. Untuk pertama kalinya anggaran infrastruktur di APBN
bisa lebih besar daripada subsidi.
Sektor transportasi menjadi urutan pertama kerja sama
infrastruktur dalam Perpres No 38/2015. Transportasi adalah tantangan nyata
saat penyelenggaraan KAA dan WEF. Jangan sampai salah satu tamu negara
menanyakan kemacetan di Jakarta dan Bandung seperti dulu.
Polemik antara pemerintah pusat dan daerah dalam menangani
kemacetan di Jabodetabek belum selesai. Janji membentuk Otoritas Transportasi
Jakarta belum tertangani. Konsep KPBU sektor transportasi tak kunjung tuntas.
Contoh kerja sama pemerintah-swasta (public private
partnership/PPP) adalah ketika kereta api Bandara Soekarno-Hatta Jakarta
ditawarkan sejak Infrastructure Summit
2004. Pada awal pemerintahan SBY, semua proyek infrastruktur nasional
bernilai Rp 1.000 triliun perlu PPP agar dapat menutup kekurangan dana yang
hanya dianggarkan 20 persen melalui APBN.
Penulis bersama Dirut Angkasa Pura II dan Dirut PT KA (Persero)
pernah mengunjungi kereta api Bandara KLIA Kuala Lumpur yang dibangun sebagai
proyek PPP KAI pada Mei 2002 ketika baru beroperasi. Gagasan konsorsium
industri kereta api global dan lokal diusulkan agar kereta api Bandara
Soekarno- Hatta-Manggarai bisa dibangun dengan teknologi seperti Express Rail
Link KLIA.
Menurut konsultan Tewet Jerman, estimasi nilai proyek sekitar
500 juta euro. Ide konsorsium gugur karena estimasi proyek kereta api bandara
menurut Angkasa Pura II tersebut hanya terbatas 100 juta dollar AS. Setelah
10 tahun berlalu, kini nilai proyek kereta api Bandara Soekarno-Hatta-Halim
menjadi Rp 24 triliun (sekitar 2,1 juta dollar AS).
Dukungan VGF
Pada PPP sektor transportasi di negara mana pun, setiap
penundaan berdampak potensi kerugian akibat kenaikan nilai investasi. Oleh
konsultan Bank Dunia, istilahnya pilihan no go atau business as usual. Dengan
Perpres No 38/2015, KPBU belum siap karena memerlukan perpres khusus (Kompas,
15 April).
Memang sebelumnya Perpres No 83/2011 menugaskan kepada PT KA
(Persero) menyelenggarakan prasarana dan sarana kereta api Bandara
Soekarno-Hatta. Dananya tidak bersumber dari APBN, melainkan disiapkan PT KA
(Persero). Secara umum bukankah Perpres No 38/2015 mempertegaspenugasan
melalui BUMN?
Berdasarkan perpres baru, pengembalian investasi badan usaha
pelaksana atas penyediaan infrastruktur bersumber dari pembayaran oleh
pengguna dalam bentuk tarif; pembayaran ketersediaan layanan dan atau bentuk
lain. Contoh model ketersediaan layanan adalah ide buy service yang diusulkan
Wali Kota Surabaya untuk membangun sistem trem dan monorel.
Untuk layanan perkeratapian umum, sulit diharapkan model bisnis
mandiri dengan tarif terjangkau. Dukungan pemerintah berbentuk viable gap
fund (VGF) tetap diperlukan. Namun, untuk menjaga fiskal, Kementerian
Keuangan mensyaratkan agar VGF tidak mendominasi (kurang dari 49 persen?).
Yang kemudian dipersoalkan oleh investor adalah konsistensi
dukungan pemerintah. Para investor yang ikut menanggung risiko merasa
investasinya bukan sumbangan gratis kepada pemerintah dalam penyediaan
pelayanan publik. Sebaliknya, KPBU bukan merupakan privatisasi barang publik.
KPBU juga sebaiknya tidak mengaitkannya dengan jenis teknologi. Apabila MRT
dibangun dengan dukungan dana pinjaman lunak, APBN dan APBD, apakah proyek
LRT di Jakarta, pengumpan MRT di Tangerang Selatan, atau monorel Bandung
tidak bisa memperoleh dukungan pemerintah?
Ketika PPP kereta api Bandara Soekarno-Hatta mendapat dukungan
pemerintah, PPP KA bandara di kota lain juga berhak. Para investor yang hadir
dalam WEF dan KAA akan berharap bahwa Perpres No 38/2015 tidak harus
dilaksanakan dengan perpres berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar