Negara
Belum Hadir bagi Buruh
M Hadi Shubhan ; Pengajar
dan Pembimbing Hukum Perburuhan
dan Filsafat Hukum pada Program Doktor (S-3) Fakultas Hukum
Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 28 April 2015
Ketika Joko Widodo
dalam kampanyenya selaku calon presiden mengusung Nawacita, ada secercah
harapan bagi kalangan buruh untuk dapat menatap kehidupan mendatang dengan
lebih cerah.
Dalam Nawacita
tersebut, khususnya dalam cita yang ketujuh, negara akan mewujudkan
kemandirian ekonomi, dengan program aksi yang
akan membangun pemberdayaan buruh. Dengan Nawacita pula negara
berjanji akan hadir dalam membangun tata kelola pemerintah yang bersih,
sehingga jika terjadi ketidakadilan bagi buruh tentu negara tak akan absen
untuk menghapuskan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan itu.
Harapan buruh
terhadap capres Jokowi yang kemudian
memenangi pemilihan presiden dan menjadi presiden tentu bukan tanpa latar
belakang. Selama pemerintahan Orde Baru dan yang terakhir pemerintahan
Presiden SBY, buruh senantiasa termarjinalkan dan tertindas dalam berbagai
kebijakan yang diambil pemerintah saat itu. Atau paling tidak, tidak pernah
ada kebijakan afirmatif untuk kesejahteraan buruh. Akibat marjinalisasi dan penindasan terhadap
buruh dalam penetapan berbagai kebijakan tersebut, tingkat kesejahteraan
buruh tidak bertambah membaik, bahkan
kecenderungan semakin terpuruk.
Tidak membaiknya
tingkat kesejahteraan buruh dapat dilihat secara kasatmata dari upah yang
diterima, yang diwujudkan dalam kebijakan upah minimum provinsi (UMP) dan
upah minimum kabupaten/kota (UMK). Pada tahun 1995-an, upah minimum regional
(UMR) selalu di atas bahkan bisa sampai dua kali lipat dari gaji terendah
pegawai negeri sipil saat itu. Kini, pada 2015, upah minimum jauh di bawah
penghasilan para abdi negara itu.
Pada awal pemerintahan
Presiden Jokowi, Menteri Tenaga Kerja memberi harapan baru dengan langsung
tancap gas menjalankan tugas kementeriannya, dengan inspeksi mendadak ke
tempat penampungan tenaga kerja Indonesia, bahkan dengan cara yang tidak
lazim, yakni dengan melompati pagar
tempat penampungan tersebut.
Namun, setelah itu,
tidak lagi ada gereget dari Menaker. Tidak ada pula terobosan-terobosan dari
pemerintah yang dikeluarkan untuk memecahkan kebuntuan permasalahan
perburuhan, seperti soal pengupahan, jaminan kepastian kerja, dan jaminan sosial.
Pada sisi lain, dalam
visi misinya pada agenda ekonomi berdikari, ditegaskan bahwa sebagai salah
satu komitmen untuk membangun pemberdayaan buruh, akan dilakukan penambahan
iuran BPJS Kesehatan yang berasal dari APBN dan APBD. Namun, alih-alih
pemerintah meningkatkan pemberdayaan buruh, belakangan pemerintah justru akan
menaikkan iuran BPJS.
Iuran BPJS bisa saja
dinaikkan, tetapi harus terlebih dahulu diperbaiki pelayanannya. Pada pertengahan
Februari 2015, pimpinan BPJS dan Ketua
Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia menandatangani Surat Edaran Bersama Nomor
08 Tahun 2015/077/DPN/3.1/5 B/II/2015 tentang Penundaan Aktivasi Kepesertaan
bagi Peserta Pekerja Penerima Upah bagi anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia
atau Apindo, yang berarti menunda
pelaksanaan kewajiban pendaftaran peserta jaminan kesehatan oleh
pengusaha.
Perlindungan dan kesejahteraan buruh
Langkah mundur
pemerintahan Jokowi tidak berhenti sampai di situ. Pada awal tahun ini,
pemerintah juga yang berinisiatif mengajukan revisi UU Ketenagakerjaan pada
program legislasi nasional DPR. Tidak jelas apa isi perubahan UU
Ketenagakerjaan tersebut karena belum ada (atau masih disembunyikan?) draf
RUU-nya serta belum ada pula naskah akademiknya. Tetapi, isinya kemungkinan
besar tidak akan menambah kesejahteraan dan perlindungan dan kesejahteraan
buruh, karena hal itu merupakan inisiatif elite tanpa melibatkan pemangku
kepentingan yang ada.
Pemerintahan Jokowi
memang baru berumur satu semester sehingga belum banyak program-program di
bidang perlindungan buruh yang bisa dievaluasi. Proposisi demikian bisa jadi
benar. Namun, tidak demikian faktanya. Program Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 2015 ternyata tidak mengimplementasikan secara konkret sembilan
agenda prioritas Nawacita, khususnya bidang perburuhan atau ketenagakerjaan.
Lampiran 1 RPJMN tidak
secara konkret mengimplementasikan Nawacita bidang tenaga kerja. Sementara,
Lampiran 2, alih-alih mengelaborasi Nawacita, malah justru berlawanan dengan
Nawacita. Pada halaman 3-144 buku II program 3.5.10 tentang tenaga kerja,
tertulis "kebutuhan regulasi RPP tentang Pengupahan yang mengaitkan
antara pengupahan dan produktivitas sebagai amanat dari UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan". Program ini jelas bertentangan dengan
Nawacita, yang mengamanatkan adanya RUU Sistem Pengupahan dan Perlindungan
Upah (lihat Nawacita visi misi Capres Jokowi pada halaman 33).
Dalam Nawacita pula
tercantum, Jokowi berjanji akan melakukan pelarangan kebijakan penggunaan
alih tenaga kerja di BUMN. Sayang sekali, hal ini sama sekali tidak dijabarkan
secara konkret dalam RPJMN tersebut. RPJMN telah secara elaboratif mengupas
peran strategis BUMN, tetapi tidak mengatur secara terencana penghapusan alih
daya pekerja pada BUMN. BUMN sebagai salah satu agen pembangunan, harus
mempelopori keteladanan dalam berbagai aspek termasuk keteladanan untuk tidak
bertindak tidak adil terhadap pekerjanya melalui lembaga alih daya pekerja.
Faktanya, justru BUMN
yang secara terstruktur, sistematis, dan masif mempergunakan lembaga alih
daya pekerja dalam mengelola manajemennya,
dan bahkan tidak sedikit pula yang menggunakan alih daya yang tidak sesuai
dengan ketentuan.
Nawacita sebagai
cita-cita Jokowi dalam jabatannya sebagai presiden, kelihatannya tidak cukup direspons oleh tim
kerjanya, baik dalam RPJMN maupun
dalam regulasi-regulasi pemerintahan,
khususnya yang berkaitan dengan perburuhan. Buruh kini hanya berjuang
sendirian, tanpa kehadiran negara. Di usia pemerintahan Jokowi yang baru
berumur satu semester, pemerintah barangkali perlu diingatkan untuk kembali
ke agenda Nawacita yang diusungnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar