Rabu, 22 April 2015

Narasi Baru Asia Afrika

Narasi Baru Asia Afrika

Darmansjah Djumala  ;   Diplomat, Bertugas di Jakarta
KOMPAS, 22 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selama seminggu, 19-24 April, Jakarta dan Bandung menjadi tuan rumah perhelatan internasional, peringatan Konferensi Asia Afrika. Tak kurang dari 90 negara dan tujuh organisasi internasional terdaftar hadir. Laiknya perayaan peringatan hari bersejarah, ada sesuatu yang dipandang perlu dirayakan. Tetapi, apa sebenarnya yang hendak dirayakan?

Hasil Konferensi Asia Afrika (KAA) 60 tahun lalu berupa Dasasila atau Semangat Bandung (Bandung Spirit), berisi 10 butir prinsip politik luar negeri. Sepintas memang ada kesan prinsip- prinsip yang digaungkan Semangat Bandung 60 tahun lalu tak banyak berbeda dengan praktik politik luar negeri saat ini, baik yang dilakukan negara secara individual maupun organisasi internasional. Sebut saja, prinsip menghormati kedaulatan suatu negara, non-intervensi dan non-agresi.

Prinsip ini masih dipegang teguh dan kerap menjadi landasan penentuan sikap terhadap isu dan konflik internasional. Secara substansial, prinsip ini tak banyak berubah hingga kini. Namun, jika dilihat konteks dan suasana politik internasional ketika KAA diselenggarakan pertama kali, Semangat Bandung menggaungkan suatu nilai baru.

Ketika dunia saat itu masih pekat diwarnai persaingan Timur-Barat dalam suasana Perang Dingin, KAA Bandung menegaskan sikap yang menolak pembentukan aliansi pertahanan bersama yang menghamba kepada kekuatan adidaya dan tekanan asing. Pada titik ini, 10 prinsip Dasasila Bandung mengerucut pada satu sikap politik dalam pergaulan internasional, yaitu independensi atau kemandirian. Menjadi pertanyaan: apakah sikap politik seperti ini masih relevan?

Jawabnya: masih. Terlebih jika dilihat apa yang terjadi di berbagai belahan dunia: di Eropa Timur (Ukraina), di Timur Tengah (Suriah dan Yaman), untuk tidak menyebut semuanya. Apa yang terjadi di Ukraina, Suriah, dan Yaman adalah contoh betapa pentingnya prinsip independensi di tengah tarikan kekuatan politik asing. Tatkala Ukraina terjepit di antara tekanan dua kekuatan besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa di satu pihak dan Rusia di pihak lain), negeri itu tercampakan dalam perpecahan bangsa.

Manakala Suriah gamang menghadapi pengaruh Barat dengan gelombang demokratisasinya di satu pihak dan pengaruh Iran dan Rusia di pihak lain, maka ia terjerembab dalam perang saudara yang keji. Ketika Yaman tak cukup arif bermain antara dua pengaruh kekuatan luar, negeriitu jatuh dalam perpecahan bangsa, antara penganut Sunni dan Syiah. Konflik di ketiga negara itu hanya menegaskan ketakberdayaan mereka dalam mengelola dengan baik pengaruh kekuatan luar akibat absennya prinsip independensi dalam politik luar negeri.

Maka, kemandirian danindependensi menjadi mantra politik luar negeri jika kita mendamba keutuhan negeri. Inilah warisan (legacy) KAA 1955 yang masih relevan dan valid dengan situasi politik global saat ini. Oleh karena itu, tatkala KAA diperingati, yang dirayakan bukanlah peristiwanya (event April 1955). Tetapi, lebih pada nilai (value) dari peristiwa itu sendiri; yaitu nilai kemandirian dan independensi dalam politik luar negeri.

Kehendak kerja sama

Selain nilai kemandirian, narasi tentang Asia Afrika juga berkait kehendak bekerja sama. KAA 1955 sejatinya embrio pembentukan Gerakan Non-Blok/GNB (Non-Alligned Movement) pada 1961. KAA dan GNB lahir dari rahim sama: kehendak politik untuk mandiri dan independen. Pada perkembangannya, ketika dunia masih diliputi suasana Perang Dingin dan ketidakadilan dalam tata ekonomi dunia, GNB mengedepankan pendekatan konfrontatif pada negara maju.

Adalah Indonesia, ketika menjadi ketua GNB dan menjadi tuan rumah KTT GNB 1992, yang menggeser paradigma hubungan antara Utara-Selatan (baca: negara maju vis a vis negara berkembang): dari konfrontasi ke kerja sama. Dengan semangat membangun kerja sama ini negara-negara Asia Afrika mengembangkan kerja sama Selatan-Selatan. Dalam beberapa program kerja samanya banyak juga melibatkan negara maju dalam bidang pendanaan yang disalurkan dalam skema kerja sama segitiga (triangle cooperation).

Kerja sama segitiga, antara dua negara berkembang Asia Afrika dan 1 negara maju, menyodorkan narasi baru tentang Asia Afrika: meski menganut paham kemandirian dan independensi dalam politik luar negeri, Asia Afrika membuka kerja sama dengan negara maju.

Kerja sama antarnegara Asia Afrika (kerja sama Selatan-Selatan) dan dengan negara maju menjadi keniscayaan manakala kita melihat data pembangunan ekonomi di banyak negara Asia Afrika. Menurut The Economist, sepertiga bangsa Asia masih hidup di bawah 1,51 dollar AS per hari. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa hamper separuh bangsa Afrika masih hidup kurang dari 1,25 dollar AS per hari.

Hubungan dagang antara kedua benua ini pun belum berimbang. Pada 2013, Asia hanya mengimpor produk Afrika sebanyak 3,3 persen dari seluruh nilai impornya dari seluruh dunia. Sebaliknya, Afrika mengimpor produk Asia sebesar 39,9 persen dari seluruh impornya. Ada ketidakseimbangan di sini. Pun dalam hal investasi. Data Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2014 mengungkapkan dari seluruh investasi asing di Afrika, 28 persen berasal dari Asia. Sebaliknya di Asia, hanya 0,80 persen dari seluruh investasi asing dari Afrika. Lagi-lagi kita menyaksikan ketidakseimbangan hubungan ekonomi kedua benua ini.

Data ini menjadi semacam ironi, apabila melihat potensi kedua benua. Pengamat sependapat bahwa gravitasi ekonomi dunia telah bergeser, dari Amerika-Eropa ke Asia, menjadikan Asia mesin pertumbuhan dunia. Sementara Afrika adalah benua yang memiliki segala, menjadikannya sebagai benua harapan (continent of hope). Apabila kedua benua ini bekerja sama, maka akan tercipta sinergi dahsyat yang bisa memberi manfaat bagi kemakmuran kedua benua. Pemaknaan perayaan KAA kali ini hendaknya tidak direduksi sebatas merayakan peristiwa internasional 60 tahun yang lalu. Tetapi, lebih merayakan nilai dan prinsip dalam hubungan luar negeri; yaitu kemandirian dan independensi. Perayaan kali ini hendaknya dimaknai juga sebagai upaya yang menawarkan narasi baru tentang Asia Afrika: meski memegang teguh prinsip mandiri dan independen dalam politik luar negeri, tetap membuka pintu kerja sama ekonomi, baik sesama negara berkembang maupun dengan negara maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar