Petugas
Partai
Anas Urbaningrum ; Ketua Presidium Nasional Perhimpunan
Pergerakan Indonesia
|
KORAN SINDO, 28 April 2015
Istilah ”petugas partai” kembali
diperdebatkan setelah Kongres PDI Perjuangan di Bali beberapa waktu silam,
khususnya menyangkut posisi Presiden Jokowi.
Sebelumnya, menjelang Pilpres
2014, istilah petugas partai digunakan Megawati ketika mendeklarasikan Jokowi
sebagai capres PDIP dan beberapa partai koalisi yang akhirnya mengusung
pasangan Jokowi-JK. Pada penutupan Kongres PDIP, Megawati bahkan menegaskan
bahwa kader PDIP yang tidak mau diposisikan sebagai petugas partai
dipersilakan untuk keluar.
Ada yang tidak setuju dengan
istilah tersebut, bahkan memprotes pemosisian Jokowi sebagai petugas partai.
Argumentasinya, Presiden Jokowi dipilih rakyat, bukan oleh partai. Pemosisian
sebagai petugas partai dianggap mengganggu ”independensi” politik Jokowi
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Malah ada yang menilai
pemosisian sebagai petugas partai adalah tanda tak hormat dan merendahkan
harkat-martabat Presiden.
Jika dinalar secara dingin dan
jernih, sesungguhnya istilah petugas partai tidaklah keliru. Setiap kader
partai, apa pun posisi dan perannya, adalah para petugas partai. Para kader
partai adalah pelaksana visi, misi, dan cita-cita perjuangan partai. Siapa
pun kader partai—baik yang bertugas sebagai pengelola pengurus partai,
pejabat eksekutif, pejabat legislatif, maupun yang memilih tugas di sektor
sosial-ekonomi—semuanya adalah petugas dan pelaksana yang harus
memperjuangkan ideologi dan platform partai.
Karena itu, wajar jika kader
partai yang tengah menjalankan amanah di lembaga eksekutif (presiden,
gubernur, bupati, wali kota, atau wakilnya) dan lembaga legislatif (DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan kabupaten/kota) dikategorikan sebagai petugas partai.
Apalagi mekanisme untuk menjadi presiden misalnya haruslah lewat partai.
Hanya partai atau gabungan partai yang berwenang mengajukan pasangan
capres-cawapres.
Demikian juga dengan anggota DPR
dan DPRD yang dicalonkan oleh partai meski sistem pemilu memungkinkan bagi
pemilih untuk memilih pribadi calon. Maknanya adalah terdapat jejak partai
yang tak mungkin dihapuskan. Lantas, apakah petugas partai berlawanan dengan
pelayan rakyat? Bagi penganut ”mazhab kontradiksi”, petugas partai
bertentangan dan berhadapan dengan konsep pelayan rakyat.
Sebaliknya, bagi ”mazhab
demokrasi”, tidak ada pertentangan di antara keduanya. Antara petugas partai
dan pelayan rakyat memang dua hal yang berbeda, tapi perbedaan keduanya sama
sekali bukan alasan kuat untuk diperhadapkan. Kader yang ditugaskan partai
dan kemudian mendapatkan amanah sebagai pejabat publik, apakah di lembaga
eksekutif atau legislatif, pada dasarnya adalah pelayan rakyat.
Tugasnya melayani hajat dan
kepentingan rakyat. Pejabat publik yang memproduksi kebijakan-kebijakan
prorakyat sejatinya tengah melayani aspirasi dan kepentingan rakyat. Itulah
cita-cita partai yang ditunaikan oleh kader-kader partai yang berposisi
sebagai pejabat publik. Tidak tersedia argumentasi untuk menjadikan pejabat
publik yang dipilih oleh rakyat untuk bercerai dengan partai.
Tidak ada rumus politik bahwa
untuk bisa menjadi pelayan rakyat harus berjarak dan berpisah dengan partai
pengusungnya. Pelayan rakyat yang baik tidaklah harus bukan petugas partai.
Pejabat publik sebagai pelayan rakyat tidak musti gagal berperan sebagai
petugas partai. Sebaliknya, petugas partai yang berhasil adalah pejabat
publik yang mampu melayani rakyatnya dan oleh karenanya meningkatkan kinerja
dan citra partainya.
Tantangan yang sehat adalah
bagaimana mengawinkan keduanya meski sejatinya ”berdekatan”. Jika perkawinan
itu sukses yakni mampu menjadi petugas partai yang sekaligus pelayan rakyat,
pada saat itulah partai sedang menjalankan fungsi kodratinya. Partai sehat
ketika kadernya yang menjadi pejabat publik setia pada pekerjaannya untuk
melayani kepentingan rakyat.
Demokrasi yang sehat adalah ketika
para pejabat publik yang dipilih, termasuk dari kaderkader partai, loyal pada
rel pengabdian untuk mengurus hajat dan kebutuhan rakyat banyak. Sebaiknya,
jika pejabat publik terbelah kepribadiannya antara petugas partai dan pelayan
rakyat, itu tanda belum sehatnya demokrasi dan belum berfungsinya partai pada
kodrat kehadirannya.
Adalah tanda partai belum sehat
jika kehadiran dan kerja-kerjanya berjarak dengan rakyat. Demokrasi yang
belum sehat salah satu tandanya adalah ketika kepentingan rakyat disingkirkan
oleh hajat-hajat oligarkis para pengelola partai.
Bukan
Jongos
Hal yang sama ketika berkembang
kecurigaan yang berlebihan kepada partai dan petugas partai. Partai-partai
lantas tidak dipercaya hadir dan bekerja untuk rakyat. Partai dinilai hadir
untuk dirinya sendiri, hidup di ruang tertutup, dan menjalankan logika kerja
berbeda dengan kepentingan rakyat.
Logika partai dianggap hanya
kekuasaan untuk kekuasaan, bukan kekuasaan untuk kebaikan bersama. Pada saat
itu petugas partai diidentikkan sebagai jongos elite partai yang menguasai
dan menikmati sumber daya nasional atau lokal. Petugas partai lalu tidak
berbeda dengan hama yang mengganggu fungsi pelayanan kepada rakyat banyak.
Jadi, tantangan untuk menyatukan
peran petugas partai dengan fungsi pelayan rakyat ada pada beranda partai,
ruang kerja para pejabat publik, para pengkritik partai, dan rakyat sendiri.
Mendikotomikan dan mengontradiksikan keduanya tidak bermanfaat bagi kemajuan
demokrasi dan peningkatan pelayanan rakyat. ”Deparpolisasi” sama bahayanya
dengan terlalu dominannya oligarki partai di dalam pemerintahan.
Saatnya untuk berpikir jernih dan
waras. Partai-partai musti berusaha keras untuk menjadi kekuatan demokrasi,
di mana kader-kadernya berkomitmen atas panggilan tugas dan berkecakapan
untuk bekerja melayani rakyat. Alat ukurnya adalah keberanian memproduksi
kebijakan-kebijakan prorakyat dan menjadi solusi atas masalah-masalah yang
dihadapi rakyat.
Komitmen minus kecakapan bukan
solusi, sedangkan kecakapan minus komitmen bisa mendatangkan kerumitan. Bukan
masanya lagi partaipartai dimusuhi dan dibenci. Kekurangan di tubuh partai
justru harus dibantu untuk diperbaiki, dengan kritik yang keras sekalipun.
Dalam sistem demokrasi, jelas partai tidak bisa dikubur, selemah apa pun
partai-partai itu.
Langkah realistis dan benar adalah
memaksa partai untuk memperbaiki diri dan kader-kadernya sehingga ada
sambungan yang cocok antara peran petugas partai dan fungsi pelayan rakyat.
Patut diyakini bahwa petugas partai bisa menjadi pelayan rakyat. Sebaliknya,
pelayan rakyat bisa sekaligus sebagai petugas partai.
Mengapa bisa? Karena petugas
partai jelas berbeda dengan jongos elite partai. Petugas partai berorientasi
pada ideologi dan kepentingan organisasi, jongos elite partai mengabdi pada
selera perorangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar