Semangat
Bandung
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 22 April 2015
Sebagian besar dari kita mungkin bertanya-tanya tentang apa
manfaat peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun ini untuk kita.
Beberapa pendapat memandang konferensi ini hanya sekadar rutinitas dan
seremonial.
Hampir seluruh negara yang tergabung dari benua Asia- Afrika
telah berubah jauh kondisi politik dan ekonominya. Hampir semua sudah
merdeka, mereka tidak lagi terjebak untuk memilih bersekutu dengan blok
komunis atau blok kapitalis. Meskipun ada yang hidup relatif berkecukupan,
masih ada negara-negara yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Apabila situasinya telah berubah, apa yang kemudian mendasari
negara-negara Asia-Afrika untuk bertemu dan memperingati KAA? Pandangan yang
optimistis justru menyimpulkan sebaliknya. Berangkat dari keprihatinan yang
sama di mana masih ada negara-negara di Asia-Afrika yang saat ini masih hidup
di bawah garis kemiskinan dan bahkan belum memperoleh kemerdekaan seperti
Palestina, maka negara-negara Asia-Afrika perlu bertemu untuk membicarakan
kesenjangan dan perbedaan yang ada di antara mereka.
Namun demikian, pertanyaannya tetap sama, dasar pijakan apa yang
membuat negara-negara ini dapat menyatukan cara pandang? Pertanyaan tersebut
bukanlah pertanyaan yang baru. Menjelang sepuluh tahun KAA, artinya tahun
1965, Roeslan Abdul Gani harus membuat buku tentang konferensi tersebut
karena dia gusar dengan pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa KAA sudah
tidak ada kaitannya dengan kondisi ekonomi-politik terkini.
Negara-negara Asia-Afrika sudah mencari selamatnya sendiri
dengan cara mendekat dengan poros-poros kekuatan ekonomi dunia. Dia
memberikan contoh serangan dari Ghana yang melakukan pengorganisasian negara-negara
Afrika Tengah untuk menolak hasil referendum soal Irian Barat (sekarang
Papua) dalam Sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969.
Duta Besar Akwei dari Ghana didukung oleh 30 negara, khususnya
dari selatan Sahara. Mereka usul perdebatan itu ditunda dan rakyat Papua
dimintai lagi pendapatnya enam tahun lagi (1975). Ghana menuding Indonesia
tak ubahnya seperti kekuatan kolonial yang sedang berupaya menundukkan Irian
Barat. Penolakan itu tentu membuat gusar diplomat Indonesia namun yang cukup
mengejutkan adalah pidato Duta Besar Aljazair Yazid yang menyerang balik
wakil Ghana.
Dia mengatakan bahwa Indonesia dalam masalah Papua berbeda
dengan penguasa kolonial rasialis di Afrika Selatan ataupun Portugal.
Indonesia adalah salah satu negara yang melindungi pergerakan kemerdekaan
negara-negara Asia-Afrika. Indonesia bahkan mengundang Ghana, yang pada saat
itu belum sepenuhnya merdeka dan masih menggunakan nama kolonial The Gold Coast untuk hadir dalam
konferensi.
Pidato Yazid kemudian diikuti pidato dukungan dari negara-negara
lain seperti yang terlibat di KAA 1955, sehingga negara-negara yang mendukung
Ghana mulai mundur teratur. Pengalaman atau cerita-cerita tersebut setidaknya
mewakili gambaran tentang apa yang disebut ”Semangat Bandung” (Bandung Spirit).
Semangat Bandung sebetulnya adalah semangat dari negara-negara
bekas jajahan untuk mendorong angin perubahan dalam politik internasional
yang terancam oleh potensi pecahnya Perang Dingin menjadi Perang Dunia ke-3
apabila dunia tidak mencoba berbuat sesuatu.
Emosi dari Semangat Bandung ini memang tentu tidak dapat seratus
persen persis sama dengan emosi semangat para pemimpin bangsa yang hadir di
tahun 1955. Para pemimpin yang hadir pada saat itu menurut Richard Wright
dapat disebut sebagai pahlawan bagi rakyatnya.
Dalam bab pembukanya, Richard dengan sangat kagum menyatakan
bahwa KAA ini adalah konferensinya para pemimpin bangsa-bangsa yang sebagian
besar adalah mantan tahanan politik, orang-orang yang hidup dalam kesendirian
di pembuangan, orang-orang yang menjalani kehidupan yang rahasia setiap hari,
orang-orang yang pengorbanan dan penderitaan adalah temannya sehari-hari.
Dan mereka semua adalah pribadi-pribadi yang sangat religius,
disiplin, berbakat sebagai penghimpun dukungan. Richard merujuk pada Ali
Sastroamidjojo, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah, dan Chou En-Lai. Semakin
berkurangnya emosi atau rasa memiliki dari konferensi ini adalah tantangan
yang harus dijawab oleh negara-negara anggota.
Tahun 2005, memperingati 50 tahun KAA, Konferensi telah
memelopori deklarasi New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Tujuan
dari NAASP ini adalah melembagakan gagasan awal kerja sama yang sudah
diletakkan oleh pendiri KAA untuk lebih terukur dan mencapai hasil. NAASP ini
adalah sebuah pengejawantahan bangunan penghubung intra-regional antara
negara-negara Asia dan Afrika.
NAASP ini berdiri di tiga pilar utama yaitu solidaritas politik,
kerja sama ekonomi, dan hubungan sosial budaya. Dalam NAASP, Indonesia telah
memainkan perannya yang penting. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi termasuk
yang berupaya mendorong NAASP untuk menjadi lebih sentral dalam kegiatan
bersama antarnegara di Asia-Afrika. Banyak program kerja sama yang diawasi
dan dipelopori oleh Indonesia dan juga negara-negara lain.
Program itu mulai dari pemberdayaan perempuan, penanggulangan
bencana alam, antiterorisme, hingga perubahan iklim dunia. Melalui kegiatan
bersama tersebut, negara Asia dan Afrika dapat terus-menerus melakukan dialog
dan aktivitas bersama sehingga menumbuhkan rasa percaya dan mengurangi
potensi ketegangan yang ada. Namun demikian, kelanjutan dari NAASP ini
sendiri masih menunggu realisasi dari para anggotanya.
Di satu sisi idealisme kerangka kerja NAASP memang menarik,
tetapi apakah rohnya dihayati para pelakunya? Dalam deklarasi NAASP 2005,
yakni ketika terjadi peringatan 50 tahun KAA, 88 kepala negara/pemerintahan
atau wakilnya menyepakati bahwa mekanisme pertemuan NAASP ke depan adalah
berupa KTT kepala negara/pemerintahan tiap empat tahun, temu menteri luar
negeri tiap dua tahun, pertemuan kementerian teknis lain bila diperlukan.
KTT untuk pebisnis akan diselenggarakan bersamaan dengan KTT
kepala negara/pemerintahan. Kenyataannya NAASP ini belum dipakai untuk
membuka jalur kerja sama ekonomi, politik, atau sosial budaya. Maklum, salah
satu faktornya adalah karena intensitas kunjungan, pertemanan, juga berita
dari dalam negeri negara-negara anggota tersebut yang relatif jarang
dilakukan atau diketahui sesama publik di negara anggota NAASP.
Media kita belum menguak informasi macam ini. Artinya bila
Semangat Bandung ini ingin lebih banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
umum, ada pekerjaan rumah yang cukup serius, termasuk di antaranya untuk
membuka kesadaran publik tentang siapa saja mitra-mitra kerja sama yang
potensial dari benua Asia dan Afrika.
Kita harus lebih terbiasa untuk mencari tahu perkembangan, misalnya,
AfrikaSelatan, Bostwana, Kamboja, Malawi, Madagaskar, dan seterusnya. Pada
era di mana informasi dapat relatif lebih mudah dicari, selayaknya kita
sebagai publik juga membuka rasa ingin tahu kita tentang negara-negara yang
sudah meluangkan waktu untuk ikut mensyukuri KAA 1955 yang dicetuskan oleh
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar