Kamis, 23 April 2015

Semangat Bandung

Semangat Bandung

Dinna Wisnu  ;   Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
KORAN SINDO, 22 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebagian besar dari kita mungkin bertanya-tanya tentang apa manfaat peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun ini untuk kita. Beberapa pendapat memandang konferensi ini hanya sekadar rutinitas dan seremonial.

Hampir seluruh negara yang tergabung dari benua Asia- Afrika telah berubah jauh kondisi politik dan ekonominya. Hampir semua sudah merdeka, mereka tidak lagi terjebak untuk memilih bersekutu dengan blok komunis atau blok kapitalis. Meskipun ada yang hidup relatif berkecukupan, masih ada negara-negara yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Apabila situasinya telah berubah, apa yang kemudian mendasari negara-negara Asia-Afrika untuk bertemu dan memperingati KAA? Pandangan yang optimistis justru menyimpulkan sebaliknya. Berangkat dari keprihatinan yang sama di mana masih ada negara-negara di Asia-Afrika yang saat ini masih hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan belum memperoleh kemerdekaan seperti Palestina, maka negara-negara Asia-Afrika perlu bertemu untuk membicarakan kesenjangan dan perbedaan yang ada di antara mereka.

Namun demikian, pertanyaannya tetap sama, dasar pijakan apa yang membuat negara-negara ini dapat menyatukan cara pandang? Pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan yang baru. Menjelang sepuluh tahun KAA, artinya tahun 1965, Roeslan Abdul Gani harus membuat buku tentang konferensi tersebut karena dia gusar dengan pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa KAA sudah tidak ada kaitannya dengan kondisi ekonomi-politik terkini.

Negara-negara Asia-Afrika sudah mencari selamatnya sendiri dengan cara mendekat dengan poros-poros kekuatan ekonomi dunia. Dia memberikan contoh serangan dari Ghana yang melakukan pengorganisasian negara-negara Afrika Tengah untuk menolak hasil referendum soal Irian Barat (sekarang Papua) dalam Sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969.

Duta Besar Akwei dari Ghana didukung oleh 30 negara, khususnya dari selatan Sahara. Mereka usul perdebatan itu ditunda dan rakyat Papua dimintai lagi pendapatnya enam tahun lagi (1975). Ghana menuding Indonesia tak ubahnya seperti kekuatan kolonial yang sedang berupaya menundukkan Irian Barat. Penolakan itu tentu membuat gusar diplomat Indonesia namun yang cukup mengejutkan adalah pidato Duta Besar Aljazair Yazid yang menyerang balik wakil Ghana.

Dia mengatakan bahwa Indonesia dalam masalah Papua berbeda dengan penguasa kolonial rasialis di Afrika Selatan ataupun Portugal. Indonesia adalah salah satu negara yang melindungi pergerakan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika. Indonesia bahkan mengundang Ghana, yang pada saat itu belum sepenuhnya merdeka dan masih menggunakan nama kolonial The Gold Coast untuk hadir dalam konferensi.

Pidato Yazid kemudian diikuti pidato dukungan dari negara-negara lain seperti yang terlibat di KAA 1955, sehingga negara-negara yang mendukung Ghana mulai mundur teratur. Pengalaman atau cerita-cerita tersebut setidaknya mewakili gambaran tentang apa yang disebut ”Semangat Bandung” (Bandung Spirit).

Semangat Bandung sebetulnya adalah semangat dari negara-negara bekas jajahan untuk mendorong angin perubahan dalam politik internasional yang terancam oleh potensi pecahnya Perang Dingin menjadi Perang Dunia ke-3 apabila dunia tidak mencoba berbuat sesuatu.

Emosi dari Semangat Bandung ini memang tentu tidak dapat seratus persen persis sama dengan emosi semangat para pemimpin bangsa yang hadir di tahun 1955. Para pemimpin yang hadir pada saat itu menurut Richard Wright dapat disebut sebagai pahlawan bagi rakyatnya.

Dalam bab pembukanya, Richard dengan sangat kagum menyatakan bahwa KAA ini adalah konferensinya para pemimpin bangsa-bangsa yang sebagian besar adalah mantan tahanan politik, orang-orang yang hidup dalam kesendirian di pembuangan, orang-orang yang menjalani kehidupan yang rahasia setiap hari, orang-orang yang pengorbanan dan penderitaan adalah temannya sehari-hari.

Dan mereka semua adalah pribadi-pribadi yang sangat religius, disiplin, berbakat sebagai penghimpun dukungan. Richard merujuk pada Ali Sastroamidjojo, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah, dan Chou En-Lai. Semakin berkurangnya emosi atau rasa memiliki dari konferensi ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh negara-negara anggota.

Tahun 2005, memperingati 50 tahun KAA, Konferensi telah memelopori deklarasi New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Tujuan dari NAASP ini adalah melembagakan gagasan awal kerja sama yang sudah diletakkan oleh pendiri KAA untuk lebih terukur dan mencapai hasil. NAASP ini adalah sebuah pengejawantahan bangunan penghubung intra-regional antara negara-negara Asia dan Afrika.

NAASP ini berdiri di tiga pilar utama yaitu solidaritas politik, kerja sama ekonomi, dan hubungan sosial budaya. Dalam NAASP, Indonesia telah memainkan perannya yang penting. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi termasuk yang berupaya mendorong NAASP untuk menjadi lebih sentral dalam kegiatan bersama antarnegara di Asia-Afrika. Banyak program kerja sama yang diawasi dan dipelopori oleh Indonesia dan juga negara-negara lain.

Program itu mulai dari pemberdayaan perempuan, penanggulangan bencana alam, antiterorisme, hingga perubahan iklim dunia. Melalui kegiatan bersama tersebut, negara Asia dan Afrika dapat terus-menerus melakukan dialog dan aktivitas bersama sehingga menumbuhkan rasa percaya dan mengurangi potensi ketegangan yang ada. Namun demikian, kelanjutan dari NAASP ini sendiri masih menunggu realisasi dari para anggotanya.

Di satu sisi idealisme kerangka kerja NAASP memang menarik, tetapi apakah rohnya dihayati para pelakunya? Dalam deklarasi NAASP 2005, yakni ketika terjadi peringatan 50 tahun KAA, 88 kepala negara/pemerintahan atau wakilnya menyepakati bahwa mekanisme pertemuan NAASP ke depan adalah berupa KTT kepala negara/pemerintahan tiap empat tahun, temu menteri luar negeri tiap dua tahun, pertemuan kementerian teknis lain bila diperlukan.

KTT untuk pebisnis akan diselenggarakan bersamaan dengan KTT kepala negara/pemerintahan. Kenyataannya NAASP ini belum dipakai untuk membuka jalur kerja sama ekonomi, politik, atau sosial budaya. Maklum, salah satu faktornya adalah karena intensitas kunjungan, pertemanan, juga berita dari dalam negeri negara-negara anggota tersebut yang relatif jarang dilakukan atau diketahui sesama publik di negara anggota NAASP.

Media kita belum menguak informasi macam ini. Artinya bila Semangat Bandung ini ingin lebih banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum, ada pekerjaan rumah yang cukup serius, termasuk di antaranya untuk membuka kesadaran publik tentang siapa saja mitra-mitra kerja sama yang potensial dari benua Asia dan Afrika.

Kita harus lebih terbiasa untuk mencari tahu perkembangan, misalnya, AfrikaSelatan, Bostwana, Kamboja, Malawi, Madagaskar, dan seterusnya. Pada era di mana informasi dapat relatif lebih mudah dicari, selayaknya kita sebagai publik juga membuka rasa ingin tahu kita tentang negara-negara yang sudah meluangkan waktu untuk ikut mensyukuri KAA 1955 yang dicetuskan oleh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar