Strategi
Diplomasi Perlindungan Buruh Migran
Irfa Puspitasari ; Dosen
hubungan internasional FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 22 April 2015
HUKUMAN mati tenaga kerja Indonesia (TKI) pada Selasa, 14 April
2015, di Arab Saudi membuktikan bahwa diplomasi Indonesia masih seperti
anjing menggonggong. Kafilah-kafilah di Riyadh tetap menjalankan misi mereka
tanpa kenal ampun. Tamparan keras ini perlu disikapi para diplomat untuk
memikirkan ulang strategi diplomasi yang tepat untuk memperjuangkan
perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri.
Problematika gugurnya pahlawan devisa yang sering terjadi
merupakan pertanyaan kemanusiaan. Surat permohonan ampunan dari tiga presiden
Indonesia secara berturut-turut tidak digubris. Apakah memang terjadi karena
kesalahan sistem ketenagakerjaan yang belum mampu memastikan pengiriman
tenaga yang siap kerja? Atau, apakah Indonesia justru belum menemukan
strategi dalam mengatasi permasalahan tersebut?
Moratorium TKI
Moratorium pengiriman TKI ke Saudi sungguh merupakan kebijakan
yang populer. Tetapi, apakah hal itu bisa dilaksanakan secara riil? Dengan
permintaan yang besar serta ketersediaan tenaga kerja yang melimpah dari
Indonesia, masih saja banyak terjadi pengiriman TKI di bandara-bandara
Jakarta ke Riyadh.
Strategi moratorium akan jauh lebih berhasil apabila dilakukan
investigasi secara periodik dan acak di bandara-bandara serta di badan
pelatihan TKI. Upaya menteri ketenagakerjaan pada awal 2015 patut diacungi
jempol atas temuan tersebut. Tapi, itu saja tidak cukup.
Hukuman Mati
Sebagian pihak, seperti advokasi untuk buruh migran dan utusan
untuk Indonesia ke Brasil dan ke Australia, bisa melihat hukuman mati itu
sebagai balasan karena Indonesia sebelumnya bersikeras melanjutkan hukuman
mati terhadap pengedar narkoba. Pendapat tersebut kurang bisa diterima karena
konteks pelanggaran hukum serta negaranya berbeda. Melonggarkan hukuman mati
untuk pengedar narkoba seperti melakukan barter antara nyawa TKI dan nyawa
penduduk di dalam negeri.
Para pengedar narkoba dengan sengaja memanfaatkan celah imigrasi
dan merugikan masyarakat luas. Sementara itu, sebagian buruh migran di Saudi,
hanya dengan gaji yang lebih rendah dari upah untuk pekerja lokal, dituntut
beradaptasi secara cepat dalam lingkungan yang sungguh berbeda.
Bagi sebagian di antara mereka yang kurang beruntung, istilah
tenaga kerja adalah eufimisme perbudakan yang telah dialami bangsa
Asia-Afrika pada abad ke-17. Hukuman bagi budak yang berusaha berontak atau
melarikan diri adalah hukuman mati. Sistem perbudakan itulah yang perlu
dihapus.
Strategi Diplomasi Tiga
Pengaruh
Alih-alih melakukan barter nyawa WNI di luar dengan WNI di dalam
negeri, terdapat strategi yang sebetulnya tepat sasaran. Indonesia sebetulnya
memiliki political leverage, economical leverage, dan cultural &
spiritual leverage dalam menghadapi kerasnya medan ketenagakerjaan domestik
di Saudi.
Tiga strategi pengaruh tersebut diawali dengan menggunakan
pengaruh politik. Indonesia selama ini sering menjadi singa diplomasi untuk
memperjuangkan kepentingan politik dan keamanan negara-negara Timur Tengah.
Misalnya, saat terpojoknya Iran soal dugaan kepemilikan senjata nuklir dan
jaminan atas hak asasi manusia Palestina.
Sudah saatnya Indonesia menggunakan jalur-jalur diplomasi
tersebut untuk menerapkan double edge diplomacy ala Indonesia di Timur
Tengah. Pada ujung luar, Indonesia memperjuangkan kepentingan negara-negara
Timur Tengah sebagai bagian dari solidaritas Asia. Pada ujung yang mengarah
ke dalam, Indonesia memperjuangkan WNI yang berada pada posisi rentan di
Saudi.
Strategi pengaruh kedua adalah menggunakan jalan ekonomi.
Indonesia tiap tahun mengirimkan sekitar 13 ribu jamaah haji dan sekitar 6,3
juta jamaah umrah yang menyumbang devisa besar bagi Saudi. Jumlah itu
merupakan yang terbesar se-Asia Tenggara setiap tahun.
Devisa yang besar tersebut membuat kekayaan negara yang sudah
dianugerahi minyak itu semakin melimpah. Rumah-rumah megah dibangun sebagai
tempat tinggal warga Riyadh dan kota-kota besar lainnya. Rumah-rumah megah
dengan tembok yang kukuh dan tinggi itulah tempat para buruh migran dari
Indonesia bekerja.
Sebagian di antara mereka yang kurang beruntung mendapat
perlakuan selayaknya budak pada zaman jahiliah. Harga tangan seorang TKI yang
teledor saat menyetrika, misalnya, sama dengan pelapis emas di baju hitam
kebesaran konglomerat Saudi. Miris. Niat para jamaah untuk membersihkan dosa
justru digunakan sebagian penduduk Saudi untuk memuaskan nafsu amarah mereka.
Jalur devisa tersebut setidaknya bisa dikurangi. Ide moratorium
haji dan umrah ini sempat keluar dari salah seorang anggota DPR beberapa
tahun lalu, tetapi kurang populer. Sebagian masyarakat yang kurang memahami
atau yang lebih mementingkan prestise untuk dipanggil haji atau hajah menentang
usul tersebut dan menggunakan alasan-alasan religius.
Sebagian masyarakat yang bekerja sebagai agen perjalanan tentu
saja juga menentang usul tersebut karena merugikan mereka. Kesulitan ini
perlu ditanyakan kepada nurani Majelis Ulama Indonesia dan kesungguhan para
diplomat Indonesia. Bila nurani sudah terdengar pada kesungguhan upaya, pasti
ada jalan tengah demi kebaikan bangsa bersama.
Strategi pengaruh ketiga, perlu kelihaian para diplomat jalur
resmi dan informal secara budaya dan spiritual. Strategi tersebut perlu
didukung dua kelompok, yakni penyelenggara haji dan umrah serta kelompok
penyedia jasa TKI ke Saudi. Apabila strategi kedua untuk menahan devisa dari
haji dan umrah sulit diterapkan, setidaknya ada upaya budaya dan keagamaan
secara struktural untuk terus memperjuangkan.
Secara sederhana, apabila mulut telah berucap, tangan telah
berbuat semampunya, maka hati bisa berdoa. Secara bersama-sama, perlu
dibangun solidaritas dari kontingen jamaah haji dan umrah serta para TKI di
Saudi. Cara itu bisa dilakukan, misalnya, dengan secara damai mengadakan doa
bersama di tempat-tempat umum supaya bisa menyuarakan kepada publik Saudi
betapa pentingnya perlindungan kemanusiaan para TKI bagi bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar