Ketika
RI Meninggalkan Afrika
Djoko Susilo ; Mantan
Dubes RI di Rusia dan Belarusia
|
JAWA POS, 23 April 2015
ENAM
puluh tahun yang lalu Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang digelar di Bandung
dengan menghasilkan Dasasila Bandung menggetarkan percaturan politik
internasional. Saat itu sebagian besar wilayah Afrika masih berada dalam
belenggu penjajahan. Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika di antara 29 negara
peserta KAA, hanya beberapa yang berasal dari Afrika, yakni Mesir, Pantai
Emas (Ghana), Liberia, dan Ethiopia. Setelah KAA yang menegaskan perlawanan
terhadap kolonialisme dan pentingnya solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika,
satu demi satu bangsa-bangsa di Afrika berhasil membebaskan diri dari
penjajahan. Wajar jika KAA, Indonesia, dan Bung Karno mempunyai nama harum di
Benua Afrika.
Namun,
keharuman nama Indonesia dan Soekarno yang dianggap membantu dan memberikan
inspirasi perjuangan melawan penjajahan di Afrika tidak pernah dimanfaatkan
secara maksimal oleh pemerintah sesudahnya, termasuk saat masa reformasi.
Sejak zaman Orde Baru, bisa dikatakan praktis politik luar negeri Republik
Indonesia (RI) meninggalkan saudara-saudaranya di Afrika. Kawasan Afrika
tidak lagi menjadi prioritas dan bahkan tidak dianggap penting. Presiden RI
sejak masa kepemimpinan Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jarang
menginjakkan kaki di Benua Afrika. SBY sempat ke Liberia dalam rangka forum
MDG (Millennium Development Goal)
yang digagas PBB. Untung, Menlu Retno P. Marsudi agak berbeda dengan para pendahulunya,
dengan mengunjungi Ethiopia belum lama ini.
Tidak
pentingnya Afrika dalam format kebijaksanaan diplomasi RI tampak jelas dari
struktur Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di mana untuk menangani hampir 50
negara Afrika, yang mengurus hanya seorang direktur urusan Afrika dengan dana
pas-pasan. Bandingkan dengan negara-negara besar seperti Tiongkok, Amerika
Serikat (AS), Jepang, atau negara Eropa seperti Inggris dan Prancis yang
menempatkan pejabat setingkat direktur jenderal (Dirjen). Bukan hanya itu,
Tiongkok secara teratur juga menggelar Sino-African
Summit yang mengundang para kepala negara Afrika ke Beijing. Hasilnya
jelas, Tiongkok sekarang sangat maju dan menuai hasil peningkatan dagang,
ekonomi, dan investasi yang besar di kawasan Afrika.
Tidak
pentingnya Afrika bagi diplomasi RI juga sangat terlihat dari jumlah
perwakilan RI di kawasan itu. Dari hampir 60 negara Afrika, RI mempunyai
perwakilan di 15 negara, separo di antaranya di negara-negara Arab-Afrika
dari Sudan sampai Maroko. Dengan demikian, sangat jelas kawasan Afrika
sub-Sahara sama sekali kurang tersentuh diplomasi RI. Beberapa Kedutaan Besar
RI (KBRI) harus merangkap sampai beberapa negara. Misalnya KBRI di Abuja,
Nigeria, yang harus merangkap sampai sepuluh negara atau malah lebih. Di
seluruh perwakilan RI di Afrika, hanya Mesir yang masuk kategori kelas I
dengan mempunyai wakil duta besar dan jumlah staf diplomatik yang memadai.
Pemerintah RI juga hanya mempunyai satu Konsulat Jenderal RI (KJRI) di
Capetown. Untuk negara yang cukup kaya minyak seperti Angola, Gabon, atau
sesama penghasil cokelat terbesar di dunia seperti Ghana dan Pantai Gading,
kita sama sekali tidak punya perwakilan apa pun.
Para
pejabat maupun pengusaha RI belum mempunyai persepsi yang tepat tentang
Afrika. Ini berbeda dengan Tiongkok atau Malaysia yang menempatkan Afrika
sebagai prioritas penting. Petronas, misalnya, memproduksi minyak per hari
1,6 juta barel (Pertamina hanya 700.000 barel), sebagian besar dihasilkan
dari ladangnya di Afrika. Perusahaan perkebunan sawit Malaysia pun, sudah
banyak yang mengembangkan sayapnya ke Liberia, Sierra Leone, Nigeria, dan
kawasan Afrika lainnya.
Sebenarnya,
sejumlah pengusaha swasta Indonesia sudah mulai masuk ke Afrika. Misalnya,
Indomie punya pabrik besar di Nigeria dengan karyawan sekitar 6.000 orang dan
menguasai pangsa pasar sampai 70 persen di kawasan Afrika Barat. Begitu juga
beberapa merek jadul seperti obat Naspro, sabun detergen B-29, cukup punya
pasaran di Afrika. Bahkan, ketika ke Abuja, saya sempat berbicara dengan
seorang pengusaha konfeksi asal Surabaya yang datang ke Nigeria dengan
sepuluh penjahit. Dalam tempo dua tahun dia sudah punya karyawan sampai 300
orang. Sayangnya, peluang bisnis tersebut tidak banyak ditangkap pengusaha
Indonesia karena tidak adanya dukungan pemerintah RI.
Bangsa-bangsa
Afrika bisa dikatakan masih mengagumi Indonesia. Tapi, justru pemerintah
Indonesia sendiri yang mengabaikan dukungan dan ungkapan cinta bangsa-bangsa
Afrika. Pemerintah dan DPR seharusnya mulai melakukan evaluasi atas
kebijaksanaan luar negerinya. Parlemen, misalnya, kalau melakukan kunjungan
ke luar negeri, jangan hanya mau ”pelesiran” ke Eropa atau AS, tetapi
sekali-sekali harus berani mengunjungi negara Afrika. Presiden harus
memerintah Menlu RI agar banyak terlibat dalam forum Afrika, baik dalam
kerangka south-south dialogue atau dalam forum multilateral seperti WTO.
RI
harus melihat Afrika sebagai potensi kerja sama ekonomi dan politik, bukan
sebagai sumber masalah. Kalau kita ingin didukung bangsa-bangsa Afrika dalam
berbagai forum internasional, kembalilah mengaktifkan diplomasi di kawasan
Afrika. Bukalah sejumlah KBRI atau KJRI di negara yang sudah semakin
berkembang seperti Angola atau Ghana atau malahan Republik Seychelles. Dan
tingkatkan status KBRI di negara strategis seperti Afrika Selatan serta
Nigeria.
Cukuplah
kekalahan Dr Marie Pangestu dalam persaingan Dirjen WTO dan kekalahan telak
Dr Indroyono Soesilo dalam perebutan Dirjen FAO dua tahun lalu jadi
pelajaran. Tidak adanya dukungan kuat dari Afrika mengakibatkan seringnya RI
mengalami kekalahan dalam kompetisi memperebutkan posisi bergengsi di
organisasi internasional. Karena mengabaikan kegiatan diplomasi di Afrika, RI
tidak mampu tampil dengan gagah di dunia internasional seperti 60 tahun lalu,
saat KAA dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar