Jumat, 24 April 2015

Ketika RI Meninggalkan Afrika

Ketika RI Meninggalkan Afrika

Djoko Susilo  ;   Mantan Dubes RI di Rusia dan Belarusia
JAWA POS, 23 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ENAM puluh tahun yang lalu Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang digelar di Bandung dengan menghasilkan Dasasila Bandung menggetarkan percaturan politik internasional. Saat itu sebagian besar wilayah Afrika masih berada dalam belenggu penjajahan. Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika di antara 29 negara peserta KAA, hanya beberapa yang berasal dari Afrika, yakni Mesir, Pantai Emas (Ghana), Liberia, dan Ethiopia. Setelah KAA yang menegaskan perlawanan terhadap kolonialisme dan pentingnya solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika, satu demi satu bangsa-bangsa di Afrika berhasil membebaskan diri dari penjajahan. Wajar jika KAA, Indonesia, dan Bung Karno mempunyai nama harum di Benua Afrika.

Namun, keharuman nama Indonesia dan Soekarno yang dianggap membantu dan memberikan inspirasi perjuangan melawan penjajahan di Afrika tidak pernah dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah sesudahnya, termasuk saat masa reformasi. Sejak zaman Orde Baru, bisa dikatakan praktis politik luar negeri Republik Indonesia (RI) meninggalkan saudara-saudaranya di Afrika. Kawasan Afrika tidak lagi menjadi prioritas dan bahkan tidak dianggap penting. Presiden RI sejak masa kepemimpinan Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jarang menginjakkan kaki di Benua Afrika. SBY sempat ke Liberia dalam rangka forum MDG (Millennium Development Goal) yang digagas PBB. Untung, Menlu Retno P. Marsudi agak berbeda dengan para pendahulunya, dengan mengunjungi Ethiopia belum lama ini.

Tidak pentingnya Afrika dalam format kebijaksanaan diplomasi RI tampak jelas dari struktur Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di mana untuk menangani hampir 50 negara Afrika, yang mengurus hanya seorang direktur urusan Afrika dengan dana pas-pasan. Bandingkan dengan negara-negara besar seperti Tiongkok, Amerika Serikat (AS), Jepang, atau negara Eropa seperti Inggris dan Prancis yang menempatkan pejabat setingkat direktur jenderal (Dirjen). Bukan hanya itu, Tiongkok secara teratur juga menggelar Sino-African Summit yang mengundang para kepala negara Afrika ke Beijing. Hasilnya jelas, Tiongkok sekarang sangat maju dan menuai hasil peningkatan dagang, ekonomi, dan investasi yang besar di kawasan Afrika.

Tidak pentingnya Afrika bagi diplomasi RI juga sangat terlihat dari jumlah perwakilan RI di kawasan itu. Dari hampir 60 negara Afrika, RI mempunyai perwakilan di 15 negara, separo di antaranya di negara-negara Arab-Afrika dari Sudan sampai Maroko. Dengan demikian, sangat jelas kawasan Afrika sub-Sahara sama sekali kurang tersentuh diplomasi RI. Beberapa Kedutaan Besar RI (KBRI) harus merangkap sampai beberapa negara. Misalnya KBRI di Abuja, Nigeria, yang harus merangkap sampai sepuluh negara atau malah lebih. Di seluruh perwakilan RI di Afrika, hanya Mesir yang masuk kategori kelas I dengan mempunyai wakil duta besar dan jumlah staf diplomatik yang memadai. Pemerintah RI juga hanya mempunyai satu Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Capetown. Untuk negara yang cukup kaya minyak seperti Angola, Gabon, atau sesama penghasil cokelat terbesar di dunia seperti Ghana dan Pantai Gading, kita sama sekali tidak punya perwakilan apa pun.

Para pejabat maupun pengusaha RI belum mempunyai persepsi yang tepat tentang Afrika. Ini berbeda dengan Tiongkok atau Malaysia yang menempatkan Afrika sebagai prioritas penting. Petronas, misalnya, memproduksi minyak per hari 1,6 juta barel (Pertamina hanya 700.000 barel), sebagian besar dihasilkan dari ladangnya di Afrika. Perusahaan perkebunan sawit Malaysia pun, sudah banyak yang mengembangkan sayapnya ke Liberia, Sierra Leone, Nigeria, dan kawasan Afrika lainnya.

Sebenarnya, sejumlah pengusaha swasta Indonesia sudah mulai masuk ke Afrika. Misalnya, Indomie punya pabrik besar di Nigeria dengan karyawan sekitar 6.000 orang dan menguasai pangsa pasar sampai 70 persen di kawasan Afrika Barat. Begitu juga beberapa merek jadul seperti obat Naspro, sabun detergen B-29, cukup punya pasaran di Afrika. Bahkan, ketika ke Abuja, saya sempat berbicara dengan seorang pengusaha konfeksi asal Surabaya yang datang ke Nigeria dengan sepuluh penjahit. Dalam tempo dua tahun dia sudah punya karyawan sampai 300 orang. Sayangnya, peluang bisnis tersebut tidak banyak ditangkap pengusaha Indonesia karena tidak adanya dukungan pemerintah RI.

Bangsa-bangsa Afrika bisa dikatakan masih mengagumi Indonesia. Tapi, justru pemerintah Indonesia sendiri yang mengabaikan dukungan dan ungkapan cinta bangsa-bangsa Afrika. Pemerintah dan DPR seharusnya mulai melakukan evaluasi atas kebijaksanaan luar negerinya. Parlemen, misalnya, kalau melakukan kunjungan ke luar negeri, jangan hanya mau ”pelesiran” ke Eropa atau AS, tetapi sekali-sekali harus berani mengunjungi negara Afrika. Presiden harus memerintah Menlu RI agar banyak terlibat dalam forum Afrika, baik dalam kerangka south-south dialogue atau dalam forum multilateral seperti WTO.

RI harus melihat Afrika sebagai potensi kerja sama ekonomi dan politik, bukan sebagai sumber masalah. Kalau kita ingin didukung bangsa-bangsa Afrika dalam berbagai forum internasional, kembalilah mengaktifkan diplomasi di kawasan Afrika. Bukalah sejumlah KBRI atau KJRI di negara yang sudah semakin berkembang seperti Angola atau Ghana atau malahan Republik Seychelles. Dan tingkatkan status KBRI di negara strategis seperti Afrika Selatan serta Nigeria.

Cukuplah kekalahan Dr Marie Pangestu dalam persaingan Dirjen WTO dan kekalahan telak Dr Indroyono Soesilo dalam perebutan Dirjen FAO dua tahun lalu jadi pelajaran. Tidak adanya dukungan kuat dari Afrika mengakibatkan seringnya RI mengalami kekalahan dalam kompetisi memperebutkan posisi bergengsi di organisasi internasional. Karena mengabaikan kegiatan diplomasi di Afrika, RI tidak mampu tampil dengan gagah di dunia internasional seperti 60 tahun lalu, saat KAA dilaksanakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar