Senin, 06 April 2015

Buruk Rupa

Buruk Rupa

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 05 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Pada suatu hari saya masuk ke sebuah chat room. Saya bolos ke kantor karena hari itu rasa malas dan bosan menyerang dengan gencar. Hari masih sekitar pukul sembilan pagi. Beberapa menit berada di ruang untuk bertemu sejuta umat itu, saya tertarik dan kemudian tersinggung membaca status seseorang. Begini bunyinya. "Yang jelek enggak usah coba-coba chat. Ke laut aja."

Saya menyesal masuk ke ruang mengobrol itu. Tersinggung pada pagi hari itu seharusnya tak sepantasnya terjadi. Sakitnya tu di sini. Di hati dan ubun-ubun, maksudnya. Baru saja saya mau meninggalkan chat room itu tak sengaja saya membaca satu status lagi. "Mencari yang ganteng, yang lain ke laut aja."

Saya sampai merasa bahwa kedua status yang menyinggung perasaan itu sebagai upah dari membolos. Tetapi, toh itu tetap tak menggoyahkan hati untuk berpikir membatalkan acara membolos.

Kemudian saya teringat dengan beberapa teman yang memiliki kelompok yang terdiri dari pria-pria tampan dan perempuan cantik. Beberapa orang mengatakan kepada saya, kelompok itu sombongnya setengah mati. Saya mengenal beberapa dari mereka. Mereka tidak sombong dalam percakapan, tetapi bahasa tubuh mereka berbicara dengan sendirinya tanpa mulut mereka harus bersuara. "You can not seat with me."

Setelah tersinggung beberapa saat karena saya sangat menyadari keadaan saya ini sangat bisa dimasukkan ke dalam kategori buruk rupa, saya mulai berpikir. Begini. Pertama, kalau seseorang tak mau bertemu atau berkenalan dengan yang jelek, artinya ia tak mau bertemu alias menolak seorang makhluk ciptaan Tuhan.

Artinya, mereka tak sedang menghina saya, tetapi sedang menghina Yang Mahakuasa. Karena, saya ini percaya manusia yang berada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan, apa pun bentuknya. Tetapi, pengelompokan manusia itu dibuat oleh manusia sendiri. Kaya, miskin, buruk rupa, cantik jelita, tampan memesona. Pandai, bodoh, dan seterusnya.

Saya sendiri juga tidak tahu apakah pengelompokan yang dibuat tersebut juga salah satu bentuk penghinaan terhadap Sang Pencipta. Saya malah berpikir setelah melihat status dua manusia di ruang mengobrol itu, bagaimana manusia bisa begitu beraninya menghina Yang Mahakuasa memilah-milah dengan siapa ia mau bergaul, dan dengan siapa ia mau diasosiasikan hanya berdasarkan fisik semata.

Sementara Yang Mahakuasa itu malah bertujuan agar manusia mengasihi sesama manusia, apa pun keadaan mereka. Saya merasa, orang yang memiliki status semacam itu memosisikan dirinya di atas Sang Pencipta.

Lapang dada

Kedua, apakah jelek itu? Apa kategorinya seseorang dapat dianggap buruk rupa? Apakah jelek itu kerempeng? Tidak berotot? Tidak bahenol? Tidak seksi? Apakah jelek itu bukan putih? Bukan berambut panjang nan hitam berikal? Apakah jelek itu tidak tinggi? Tidak semampai?

Di beberapa perusahaan yang bergerak di dalam riset kehidupan sosial, ada batasan yang disebut kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Mereka memiliki angka tertentu yang mampu mengelompokkan kelas sosial tersebut.

Di sekolah ada predikat juara. Juara satu dan juara lima puluh. Juara satu dianggap pandai, juara lima puluh dianggap ya gitu deh. Tetapi, bagaimana kriteria dan nilai yang disebut cantik dan buruk rupa itu?

Seperti saya katakan di atas, saya ini sama sekali jauh dari kategori tampan. Sampai pada suatu hari saya ingin sekali melakukan operasi plastik. Saya bahkan sudah mendatangi sebuah seminar dan melihat bagaimana prosedurnya dan seberapa banyak dana yang harus saya sediakan.

Ide saya untuk melakukan operasi plastik ini dasarnya ada dua. Pertama, saya ingin dikelompokkan tampan supaya lebih cepat laku. Karena, saya tersakiti bertahun lamanya karena ketidaktampanan itu. Kedua, saya ini merasa hidung saya terlalu besar, alis mata saya tidak tumbuh dengan posisi yang benar, kulit saya seperti jalan rusak yang berlubang, saya kurang tinggi.

Tetapi, seorang teman yang tampangnya gitu deh membuat saya mengurungkan niat saya itu. "Jadi, elo tu nggak suka sama apa yang dikasih Tuhan? Elo merasa bahwa Tuhan salah merancang fisik elo? Elo gak puas? Emang setelah operasi dan katakan elo jadi tampan, emang elo bakal dikejer-kejer orang?"

Saya terdiam tak bisa berkata apa-apa, dan sampai tulisan ini dibuat saya masih dengan kondisi yang sama. Saya tak bisa menghindari adanya pengelompokan, saya tak bisa tersinggung karena ada orang yang hanya mau bergaul dengan yang tampan.

Sekarang ini yang jadi pekerjaan rumah adalah menerima keadaan saya. Suka atau tidak suka. Semoga suatu hari dengan mampu menerima, saya jadi lapang dada. Kalau saya lapang dada, saya berharap itu akan melapangkan jalan saya untuk mendapatkan seseorang yang bisa melihat kondisi fisik saya, sebagai sebuah hal yang memesona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar