Jantung
Budaya Sekolah
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 20 April 2015
“In toxic schools, the elements of culture reinforce negativity.
Values and beliefs are negative. The cultural network works in opposition to
anything positive. Rituals and traditions are phony, joyless, or
counterproductive“ (Deal and Peterson, 1999, p. 119).
KUTIPAN tersebut ingin
menggambarkan betapa berbahasanya budaya sekolah yang buruk dan negatif.
Sebagai lawan dari budaya sekolah yang sehat dan positif, budaya sekolah yang
negatif secara perlahan, tetapi pasti akan membuat semua bangunan struktur
mental komunitas sekolah akan hancur, karena di dalamnya terjadi banyak
kebohongan dan kepura-puraan. Adakah sekolah jenis ini di dalam sistem
pendidikan kita?
Dalam banyak kesempatan, ketika
melakukan interaksi dengan para guru dan kepala sekolah, baik dalam pelatihan
maupun pendampingan program pengembangan kapasitas guru dan kepala sekolah,
saya sering sekali mendapat pertanyaan tentang bagaimana cara dan memulai
sebuah budaya sekolah yang efektif dan efisien. Meskipun banyak sekolah
mengaku memiliki bu daya sekolah yang baik, ketika saya lacak melalui
rancangan anggaran belanja sekolah (RAPBS), tidak sedikit di antara kepala sekolah
dan guru yang mengakui betapa buruknya budaya sekolah mereka. Mengapa RAPBS?
Dalam banyak literatur tentang
manajemen sekolah efektif, memang tak banyak dibahas tentang sisi buruk
bagaimana sekolah merancang dan menggunakan anggaran belanja sekolah secara
sehat dan bertanggung jawab. Kebanyakan yang dibahas dalam buku-buku
manajemen sekolah efektif ialah karakter dan gaya kepemimpinan kepala sekolah
atau school leadership. Meskipun
diakui, bahwa kepemimpinan kepala sekolah sangat memengaruhi bagaimana sebuah
sekolah akan dikelola serta budaya sekolah akan diterapkan, tetapi karakter
kepemimpinan hanya menyumbang 30% dari total kesuksesan sebuah
sekolah.Selebihnya ialah persoalan manajerial, sistem, dan aturan tata kelola
sekolah, termasuk di antaranya ialah bagaimana sekolah membelanjakan anggaran
belanjanya secara transparan dan akurat.
Untuk melihat sebuah sekolah
memiliki semangat dan budaya sekolah yang sehat, lihatlah bagaimana cara
kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan stakeholders lainnya membuat
perencanaan keuangan sekolah. Jika RAPBS dirancang dan digunakan sesuai
dengan kesepakatan dan sistem yang transparan dan akuntabel, dapat dipastikan
sekolah tersebut memiliki budaya sekolah yang sehat dan positif. Namun
sebaliknya, ketika keuangan sekolah dirancang dan digunakan hanya segelintir
orang, seperti kepala sekolah dan bendahara sekolah, tanpa ada keterlibatan
pihak lain, dapat dipastikan sekolah tersebut memiliki budaya sekolah yang
buruk dan negatif.
Ratusan ribu sekolah di
Indonesia, menurut hemat saya, memiliki budaya sekolah yang buruk dan
negatif, karena tata kelola keuangan sekolah yang berasal dari dana BOS, DAU,
dan DAK tidak dibuat berdasarkan kebutuhan proses belajar mengajar. Banyak
uang BOS yang dikelola secara tidak transparan alias penuh kecurangan, karena
baik kepala sekolah maupun dinas pendidikan secara menyengaja membiarkan
praktik tak sehat pengelolaan dana BOS itu terus berlangsung dari hari ke
hari. Di tingkat sekolah dasar misalnya, pembelian buku dan LKS menjadi ajang
yang kasatmata penuh dengan budaya koruptif. Belum lagi, dana-dana program
pengembangan kapasitas guru yang dikelola seadanya, tanpa ada rujukan yang
jelas.
Perlu skema
Kebiasaan inilah yang mela
hirkan racun atau toxic yang tiada henti dalam budaya sekolah kita, tanpa ada
keinginan sedikit pun dari Kemendikbud mengubah pola penyaluran dana BOS
melalui pendekatan yang berbeda, misalnya dengan menggunakan basis jumlah
sekolah sebagai unit analisisnya. Dana BOS disalurkan dengan asumsi kepala
siswa, yakni jumlah siswa pun sampai sekarang sangat mudah dimanipulatif. Jika
kita ingin mengubah mentalitas para kepala sekolah dan guru serta aparat
dinas pendidikan menjadi lebih baik, tak ada cara lain kecuali membuat skema
penyaluran dana operasional sekolah melalui pendekatan berbasis kebutuhan
sekolah yang dirancang dengan orientasi proses belajar mengajar yang
menyenangkan.
Terrence E Deal dan Kent D
Peterson dalam Shaping School Culture:
Pitfalls, Paradoxes, and Promises (2009) mengingatkan kita akan bahaya
budaya sekolah yang bu ruk dan pasti akan meracuni semua yang ada di
dalamnya. Bukan hanya siswa yang paling akan menjadi korban, melainkan juga
para guru, staf administrasi sekolah, serta orangtua. Kesadaran untuk
mengubah budaya sekolah sesungguhnya sangat sederhana, yaitu dimulai dengan
keterbukaan dalam merancang RAPBS secara bersama dan berorientasi pada
program peningkatan kapasitas guru yang memicu kreativitas mereka dalam
menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.
Meskipun budaya sekolah bisa
jadi merupakan persoalan subjektif, tetapi perlu diberikan bingkai yang
relevan dengan tuntutan proses belajar mengajar saat ini, karena budaya
sekolah ialah satu elemen sekolah yang teramat penting dan nyata, meskipun
sangat sulit untuk mendefinisikannya. Pemahaman terhadap budaya sekolah
merupakan salah satu faktor penting dalam struktur reformasi dan kebijakan
pendidikan di mana pun. Karena apa pun jenis perubahan yang diinginkan dalam
suatu sistem pendidikan, pasti akan mengalami resistensi.
Karena itu, perlu
dilakukan pendefinisian yang bijak tentang budaya sekolah serta sejauh mana
para pengambil kebijakan dan pelaksana sekolah memahami makna budaya sekolah
dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Salah satu ciri sekolah yang
memiliki budaya sekolah yang sehat, dapat dilihat dari bagaimana sekolah
mengembangkan budaya sekolah dalam praktik merancang anggaran belanja sekolah
serta praktik keseharian interaksi guru dan siswa dalam proses belajar
mengajar. Keduanya memberi arti banyak dalam menentukan perspektif dan ragam
tindakan pengajaran, yakni guru dalam konteks budaya, dapat mempengaruhi
setiap aspek dari proses belajar mengajar (Peterson, 1998). Karena itu, penting untuk dirumuskan kembali
mekanisme sekolah dalam merancang, merencanakan, dan melaksanakan APBS sesuai
dengan prinsip-prinsip keterbukaan, transparan, dan akuntabel. Jika tidak,
efek budaya sekolah terhadap keseluruhan performansi guru dan siswa, serta
implikasinya terhadap kebijakan bidang pendidikan dalam konteks budaya sekolah,
pasti akan terus terpuruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar