Menilai
Kejujuran
Doni Koesoema A ; Pemerhati
Pendidikan
|
KOMPAS, 22 April 2015
Menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan
tantangan utama pendidikan. Inflasi nilai, mencontek selama ujian nasional
(UN), bocornya soal plus jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain,
menjadi tanda kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai
kejujuran. Indeks integritas sekolah (IIS) bisa menjadi solusi? Jawabannya
adalah tidak! Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memperkenalkan
istilah baru kepada publik terkait kebijakan UN, yaitu IIS. Indeks ini
menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah memiliki tingkat kejujuran dalam
melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa menjadi pertimbangan bagi
perguruan tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa baru.
Di kalangan para ahli psikometrik, konsep indeks integritas ini
bukanlah hal baru. Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks
integritas ini, mulai dari teori klasik yang diawali Bird (1927, 1929),
Crawford (1930), Dickenson (1945), dan Anikeef (1954). Teori tentang indeks
integritas kemudian dikembangkan banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn,
(1961), Angoff (1974), Holland (1996), Wollack (1997, 2006), dan Sotaridona
dan Meijer (2002, 2003).
Teori tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan.
Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung
indeks dan variabel yang diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird
(1930), misalnya, kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya
mendasarkan diri pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta
yang mencontek (copier) dan yang
dicontek (source) untuk menentukan
indeks integritas.
Teori yang dikembangan Crawford, Dickenson, dan Anikeef masih
berada di jalur yang sama, yaitu menggunakan variabel jawaban salah. Teori
ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan variabel lain, seperti distribusi
jawaban benar, baik melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah
secara secara berurutan (string) (Hanson et al dan Angoff, 1974) dan
acak (random).
Integritas tes
Berbagai macam teori indeks integritas, terutama yang klasik,
tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di Indonesia, karena UN di Indonesia
bukan hanya ada satu varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori
sumber-pelaku sudah lama ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan
memprediksi tingkat kejujuran.
Indeks integritas yang menggunakan multivariabel sering diacu
untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary dan Tideman, 1997). Angoff (1974), misalnya,
menggunakan indeks multivariabel untuk menentukan level integritas. Namun,
penggunaan multivariabel ini pun masih banyak diperdebatkan para ahli
psikometrik terkait sisi praktikalitas dan efektivitasnya. Bagi publik, terutama
kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud
untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling
tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan menilai
apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat
dipertanggungjawabkan.
Indeks integritas tes (IIT) kiranya lebih tepat dipakai
sebagai ungkapan ketimbang IIS, karena seluruh diskursus tentang teori indeks
integritas hanya mengukur indeks kejujuran sebuah tes (UN) dan tidak dapat
dipakai untuk menyimpulkan perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi
indeks integritas selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisasi hasil indeks integritas tes
untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah.
Rahasia?
Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai
IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat, tetapi hanya menjadi informasi
yang diberikan pada sekolah dan perguruan tinggi. Pembatasan pemberian
informasi publik ini membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia
negara, seperti soal UN yang bukan konsumsi publik? IIS dipakai untuk memberi
tahu sekolah tentang skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi
diri dalam menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga
dibutuhkan orangtua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.
Bila secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas
kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya
menilai sejauh mana dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek
melalui perbandingan data statistik jawaban benar dan salah dengan
menggunakan kerangka teori tertentu, di mana kerangka teori ini pun masih
diperdebatkan di kalangan para ahli psikometrik, kiranya terlalu berlebihan
menganggap hasil evaluasi IIS sebagai rahasia negara.
Publik memiliki hak memperoleh informasi tentang kerangka
teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang
diadakan oleh negara yang memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan,
terutama orangtua.
Menilai kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis
statistik jawaban benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori
yang menjadi landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli
psikometrik sendiri. Kejujuran merupakan sikap hidup yangperlu dilatih dan
dibiasakan, didukung dengan lingkungan budaya, struktur, dan peraturan yang
mendukung bertumbuhnya nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak
dapat dinilai melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.
Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana
anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak
mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh,
teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh
aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya
dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku
mencontek, menghapuskan peraturan tentang kriteria ketuntasan minimal yang
sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, transparansi,
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.
Hal-hal ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan
dalam lembaga pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka
teorinya masih diperdebatkan; tujuan, konsep dan metodenya dipertanyakan; dan
sistem pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik. IIS bukan hal
fundamental yang dibutuhkan bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar