Kado
Hari Otonomi
Djohermansyah Djohan ; Direktur
Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri
(2010-2014); Guru Besar IPDN
|
KOMPAS, 25 April 2015
Tanggal
25 April 2015, Hari Otonomi Daerah kembali dirayakan. Hari Otonomi Daerah
ditetapkan oleh Presiden Soeharto dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
1996. Walaupun pemerintahan era Orde Baru sangat sentralistis, otonomi daerah
(otda) dihargai dengan memberi hari jadi. Uniknya, Kementerian Dalam Negeri
yang membina otda tidak punya hari lahir.
Pada
peringatan Hari Otonomi Daerah 25 April 2014 di Istana Negara untuk pertama
kali pada era Reformasi diserahkan penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha.
Presiden SBY yang menyerahkan prestigious award berbasis penilaian
komprehensif kinerja pemda itu kepada tiga daerah provinsi berprestasi sangat
tinggi selama tiga tahun berturut-turut, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Selatan.
Dengan
bangga dan wajah semringah Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Wakil Gubernur Jawa
Tengah Heru Sudjatmoko, dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo
menerima trofi sebagai imbalan dari pemerintah pusat atas jerih payah mereka
menjalankan otonomi.
Gubernur
Syahrul sempat berbisik kepada saya, "Pak Dirjen, saya akan arak trofi
ini keliling kota dan kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan." Rasa
bangganya ingin dibagi kepada masyarakat Sulawesi Selatan dan tentu tidak
berlebihan karena Sulawesi Selatan adalah satu-satunya provinsi di luar Jawa
yang mampu bersaing dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tahun
ini Parasamya Purnakarya Nugraha diharapkan akan diserahkan Presiden Joko
Widodo kepada daerah otonom berprestasi sangat tinggi, baik tingkat provinsi,
kabupaten, maupun kota. Sebaiknya, daerah-daerah yang berkinerja buruk
diumumkan pula kepada publik, sebagai bagian dari punishment. Seyogianya
daerah-daerah yang berprestasi sangat tinggi tidak hanya diberi trofi, tetapi
juga insentif dana yang bisa dipakai kepala daerah dalam membangun daerahnya.
Kado
Hari Otonomi Daerah tahun 2015 ini terbilang besar karena regulasi UU Nomor
32 tahun 2004 yang mengatur pemda sekaligus pilkada selama satu dasawarsa
terakhir berhasil diperbarui. Sebelum itu, UU Pemda Nomor 22 Tahun 1999
sebagai UU Otonomi Daerah pertama pada era Reformasi diganti dengan UU Nomor
32 Tahun 2004.
Berarti,
secara bertahap dalam kurun waktu 15 tahun, Indonesia telah dua kali
mengonsolidasikan kebijakan desentralisasi. Di ASEAN boleh dibilang kita
adalah negara terdepan yang sukses secara gradual menata kebijakan
desentralisasinya.
Perbaikan desentralisasi
Tanggal
2 Oktober lalu telah diterbitkan UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014 yang
memperbaiki dengan serius berbagai kelemahan dan kekurangan kebijakan
desentralisasi kita. Beberapa isu krusial dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama,
pemekaran daerah yang "kebablasan", seperti dalam tempo 10 tahun
(1999-2009) lahir 205 daerah otonom baru (DOB), tidak diberi tempat lagi.
Pemekaran tidak diharamkan, tetapi diatur dengan ketat. Pembentukannya hanya
melalui "pintu" pemerintah dan cukup dengan peraturan pemerintah.
Daerah tidak langsung berstatus otonom, tetapi lebih dahulu menjadi daerah
persiapan selama tiga tahun. Jika evaluasinya bagus, barulah pemerintah
mengajukan RUU kepada DPR untuk menetapkannya menjadi DOB. Sebaliknya, jika
evaluasinya buruk, daerah itu dikembalikan ke daerah induk.
Kedua,
dalam hal kewenangan, tumpang tindih dan ketidakjelasan, termasuk
ketidakseimbangan beban urusan antara provinsi dan kabupaten/kota ditata
ulang. Misalnya urusan pendidikan menengah yang semula dipegang kabupaten/kota
dialihkan ke tangan provinsi. Kabupaten/kota sekarang hanya mengelola urusan
pendidikan dasar, sementara pemerintah pusat menangani urusan pendidikan
tinggi. Urusan yang mempunyai dampak ekologis (kehutanan, kelautan, dan
pertambangan) ditarik dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi sehingga lebih
mudah dikendalikan.
Ketiga,
jalinan hierarki pusat dan daerah yang selama ini putus di tingkat
kabupaten/kota-sehingga menimbulkan ketidakpatuhan bupati/wali kota kepada
gubernur-disambung kembali. Kabupaten/kota sebagaimana provinsi selain
berstatus sebagai daerah otonom juga ditetapkan menjadi wilayah administratif
yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan umum. Kecamatan
direstorasi, dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kembali menjadi
pemerintahan wilayah, sehingga tersambung hubungan gubernur-bupati/wali
kota-camat.
Keempat,
kontrol pemerintah pusat yang sangat lemah terhadap kepala daerah diperkuat
dengan sanksi-sanksi. Kepala daerah yang melanggar larangan dan tidak
melaksanakan kewajiban, seperti melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa
izin atau meninggalkan daerahnya tujuh hari dalam satu bulan tanpa izin,
tidak melaksanakan program strategis nasional dan tidak menyebarluaskan
perda, dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis hingga
pemberhentian tetap. Bahkan, kepala daerah yang tidak memberi layanan
perizinan dikenai sanksi pidana.
Selain
UU Pemda di atas, pilkada dijadikan UU sendiri. Walau sempat heboh ditetapkan
pilkada lewat DPRD sesuai UU Nomor 22 Tahun 2014, dengan Perppu Nomor 1 Tahun
2015 yang dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 juncto UU Nomor 8 Tahun
2015, pilkada tetap dilakukan secara langsung.
Beberapa
perbaikan dalam pilkada langsung dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pola
pelaksanaan pilkada secara serentak sehingga biaya demokrasi lokal kita bisa
lebih murah. Pilkada serentak nasional akan digelar tahun 2027.
Untuk
sampai ke sana dilakukan pilkada serentak tahap I sebanyak 269 daerah
(Desember 2015), tahap II sebanyak 101 daerah (Februari 2017), dan tahap III
sebanyak 171 daerah (Juni 2018). Setiap grup kemudian melaksanakan pilkada
setiap lima tahun.
Kepala
daerah yang habis masa jabatannya tahun 2025 diangkat penjabat KDH sampai
dengan tahun 2017. Untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir
tahun 2023, masa jabatannya hanya empat tahun.
Kedua,
penetapan calon terpilih tidak lagi dengan metode 30 persen suara sah, tetapi
dengan cara simple majority atau suara terbanyak. Tidak ada putaran kedua
sehingga menekan biaya, kejenuhan pemilih, dan rendahnya voter turn-out.
Sanksi terima "mahar"
Ketiga,
untuk menghukum parpol yang menerima imbalan dalam proses pencalonan KDH yang
lazim disebut "uang mahar" atau "sewa perahu" dicantumkan
sanksi bahwa parpol yang melakukan dilarang mengajukan calon pada periode
berikutnya di daerah itu.
Keempat,
untuk membatasi politik dinasti, calon tidak boleh memiliki hubungan darah,
ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke
bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi,
kakak, adik, ipar, anak, dan menantu; kecuali telah lewat jeda satu kali masa
jabatan.
Kelima,
sengketa hasil pilkada sementara waktu tetap ditangani MK sampai terbentuknya
Badan Peradilan Khusus. Yang menarik, gugatan hanya bisa diajukan penggugat
jika selisih kekalahan tipis (close to call) 0,5 persen sampai dengan 2
persen dari jumlah penduduk, tidak seperti sekarang selisih suara puluhan
persen pun tetap menggugat.
Tentu
perubahan kebijakan otda masih menyisakan keberatan dan ketidakpuasan.
Maklum, pembuatannya sangat kental dengan kepentingan politik. Prioritas
sekarang adalah bagaimana melaksanakannya dengan baik, utamanya menyukseskan
pilkada serentak Desember 2015 dan menyelesaikan 28 peraturan pemerintah
tindak lanjut UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014.
Kado
besar ini bisa tidak bermakna apabila pelaksana kebijakan otonomi daerah
tidak benar-benar menjalankannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar