Poros
Maritim di Era Perubahan Iklim
Alan F Koropitan ; Lektor
Kepala Bidang Oseanografi, IPB;
Reader on Maritime Issues pada Thamrin School of
Climate Change and Sustainability
|
KOMPAS, 25 April 2015
Memasuki
2015, konsentrasi CO2 di atmosfer telah stabil mencapai 400 ppm sesuai dengan
pengamatan di Mauna Loa. Banyak ahli mengibaratkannya dengan alarm pagi hari.
Mengapa alarm 400 ppm tahun ini krusial? Penjelasan sederhana adalah jika
sampai melewati 450 ppm, untuk mempertahankan suhu di bawah 2 derajat celsius
menjadi sulit. Padahal, keputusan perjanjian iklim yang baru (setelah
berakhirnya Protokol Kyoto) nanti terjadi akhir tahun ini di Paris
(Konferensi Para Pihak/COP Ke-21).
Pengalaman
Protokol Kyoto, negosiasinya dimulai akhir 1997 dengan ratifikasi memakan
waktu tujuh tahun. Alhasil, besar peluangnya (saat ratifikasi kesepakatan
baru COP Ke-21) konsentrasi sudah melebihi 450 ppm. Ini pun jika COP Ke-21
berhasil; jika tidak, maka kita sudah harus bersiap untuk skenario yang lebih
buruk.
Peran
laut sering dibahas dalam berbagai komunitas akademisi dan praktisi di
Indonesia. Ada kesan harapan yang tinggi terhadap peran laut dalam siklus
karbon sehingga bisa masuk dalam skema perdagangan karbon. Apa fakta sains
peran laut ini?
Pada
era sebelum revolusi industri, laut global berfungsi sebagai pelepas karbon
ke atmosfer. Ini disebut dengan siklus alami. Memasuki era revolusi industri,
dengan adanya emisi CO2 besar-besaran dari penggunaan bahan bakar fosil, maka
laut berubah fungsi dari pelepas menjadi penyerap karbon.
Ini
disebut siklus antropogenik. Global Carbon Project (2014) melaporkan bahwa
rata-rata 2004-2013 dari total emisi karbon antropogenik ke atmosfer (sekitar
9,7 PgC/tahun, 1 PgC= 1 miliar ton C), maka 44 persen tertinggal di atmosfer,
29 persen diserap oleh hutan, dan 26 persen diserap laut global.
Peran
laut yang berubah fungsi ini terkadang menimbulkan diskusi dan perdebatan
panjang dalam beberapa forum di Indonesia karena pemahaman istilah yang
sering dicampurbaurkan, apalagi ada satu istilah terkait hasil observasi saat
ini, ketika para ahli menyebutnya dengan siklus kontemporer. Intinya, siklus
kontemporer adalah penjumlahan antara siklus alami dan antropogenik.
Pengertian laut global meliputi semua perairan laut samudra, regional maupun
teluk dan pesisir. Pada siklus alami dan kontemporer, ada laut yang berfungsi
sebagai penyerap dan ada sebagai pelepas. Untuk wilayah tropis umumnya ia
berfungsi sebagai pelepas, sedangkan untuk kawasan subtropis dan lintang
tinggi, ia berfungsi sebagai penyerap.
Bak minuman bersoda
Proses
ini dikontrol pompa daya larut gas laut. Ilustrasinya adalah bila minuman
bersoda yang disimpan dalam lemari pendingin (laut subtropis dan lintang
tinggi) dan diletakkan di udara terbuka yang panas (laut tropis), maka
minuman yang cenderung hilang sodanya adalah yang di udara terbuka (karena
daya larut gasnya rendah). Demikian sebaliknya. Karena itu, upaya membawa isu
perdagangan karbon laut menjadi kompleks karena faktanya semua laut menyerap
karbon antropogenik, walaupun secara alami dan kontemporer ada yang melepas
atau menyerap.
Ada juga peran fitoplankton dalam
fotosintesis, namun perlu dipertimbangkan satu siklus hidupnya (pemangsaan
dan kematian). Hasilnya adalah produksi partikel organik yang tenggelam,
ketika yang berhasil mencapai dasar perairan dan tersimpan dalam waktu lama
disebut pompa biologis karbon. Ini hanya berlaku di laut dalam.
Fakta
sains lainnya adalah pada periode 15.000 sampai 10.000 tahun silam (dikenal
sebagai era Younger Dryas), sirkulasi (termohalin) laut mengalami perlambatan
akibat adanya pencairan es di Samudra Arktik karena pemanasan global.
Akibatnya, suplai energi panas ke utara Samudra Atlantik berkurang dan musim
dingin menjadi ekstrem. Pada titik tertentu terjadi perubahan iklim mendadak
yang kenaikan suhu yang drastis.
Saat
ini indikasi berulangnya Younger Dryas semakin kuat, ketika musim dingin di
belahan bumi utara semakin ekstrem tahun demi tahun dan cakupan es di Arktik
berkurang drastis. Dampak terhadap siklus karbon antropogenik adalah semakin
berkurangnya kapasitas laut dalam menyerap. Ini akibat dari perlambatan
sirkulasi termohalin yang menyebabkan berkurangnya penenggelaman massa air
yang membawa kandungan karbon antropogenik di utara Atlantik. Ini dikenal
dengan pompa fisis karbon.
Selain
itu, perubahan iklim telah memicu peningkatan kecepatan angin di Antartika
sehingga memicu kenaikan massa air ke permukaan yang lebih besar. Hasilnya,
kandungan karbon dari lapisan dalam akan naik ke permukaan dan pelepasan
karbon menjadi lebih besar. Jika ini terus terjadi, dapat membawa bumi pada
kondisi iklim yang berbahaya karena laut akan berubah fungsi lagi dari
penyerap menjadi jenuh (tidak menyerap lagi) sehingga peluang CO2 tertinggal
di atmosfer semakin besar.
Terkait
visi poros maritim, Indonesia memiliki peluang menetralisasi karbon
antropogenik melalui peran bakau-bakauan (mangrove) dan lamun yang mampu
menyerap dan menyimpannya dalam sedimen. Ini disebut blue carbon. Sebagai
negara dengan luas bakau-bakauan terbesar di dunia (FAO, 2007), maka
Indonesia dapat mengusulkan mekanisme perdagangan karbon yang adil (dalam
skema blue carbon) dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat pesisir dan
nelayan tradisional.
Sayangnya,
kita masih memiliki persoalan dengan data luas dan sebaran bakau-bakauan dan
lamun, selain deforestasi bakau-bakauan, kerusakan lamun akibat sedimentasi
dan berbagai persoalan di pesisir akibat tumpang tindihnya pemanfaatan
sektoral. Untuk itu, salah satu upaya menuju poros maritim adalah restorasi
pesisir dan laut.
Restorasi
tidaklah sekadar menanam bakau-bakauan, tetapi juga mengembalikan ke fungsi
semula (fungsi regulator iklim, fungsi ekosistem/ perikanan laut, serta
perlindungan pantai). Restorasi ini juga merupakan upaya memperkecil
kerentanan iklim dan strategi alami dalam beradaptasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar