Sabtu, 25 April 2015

Poros Maritim di Era Perubahan Iklim

Poros Maritim di Era Perubahan Iklim

Alan F Koropitan  ;   Lektor Kepala Bidang Oseanografi, IPB;
Reader on Maritime Issues pada Thamrin School of Climate Change and Sustainability
KOMPAS, 25 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memasuki 2015, konsentrasi CO2 di atmosfer telah stabil mencapai 400 ppm sesuai dengan pengamatan di Mauna Loa. Banyak ahli mengibaratkannya dengan alarm pagi hari. Mengapa alarm 400 ppm tahun ini krusial? Penjelasan sederhana adalah jika sampai melewati 450 ppm, untuk mempertahankan suhu di bawah 2 derajat celsius menjadi sulit. Padahal, keputusan perjanjian iklim yang baru (setelah berakhirnya Protokol Kyoto) nanti terjadi akhir tahun ini di Paris (Konferensi Para Pihak/COP Ke-21).

Pengalaman Protokol Kyoto, negosiasinya dimulai akhir 1997 dengan ratifikasi memakan waktu tujuh tahun. Alhasil, besar peluangnya (saat ratifikasi kesepakatan baru COP Ke-21) konsentrasi sudah melebihi 450 ppm. Ini pun jika COP Ke-21 berhasil; jika tidak, maka kita sudah harus bersiap untuk skenario yang lebih buruk.

Peran laut sering dibahas dalam berbagai komunitas akademisi dan praktisi di Indonesia. Ada kesan harapan yang tinggi terhadap peran laut dalam siklus karbon sehingga bisa masuk dalam skema perdagangan karbon. Apa fakta sains peran laut ini?

Pada era sebelum revolusi industri, laut global berfungsi sebagai pelepas karbon ke atmosfer. Ini disebut dengan siklus alami. Memasuki era revolusi industri, dengan adanya emisi CO2 besar-besaran dari penggunaan bahan bakar fosil, maka laut berubah fungsi dari pelepas menjadi penyerap karbon.

Ini disebut siklus antropogenik. Global Carbon Project (2014) melaporkan bahwa rata-rata 2004-2013 dari total emisi karbon antropogenik ke atmosfer (sekitar 9,7 PgC/tahun, 1 PgC= 1 miliar ton C), maka 44 persen tertinggal di atmosfer, 29 persen diserap oleh hutan, dan 26 persen diserap laut global.

Peran laut yang berubah fungsi ini terkadang menimbulkan diskusi dan perdebatan panjang dalam beberapa forum di Indonesia karena pemahaman istilah yang sering dicampurbaurkan, apalagi ada satu istilah terkait hasil observasi saat ini, ketika para ahli menyebutnya dengan siklus kontemporer. Intinya, siklus kontemporer adalah penjumlahan antara siklus alami dan antropogenik. Pengertian laut global meliputi semua perairan laut samudra, regional maupun teluk dan pesisir. Pada siklus alami dan kontemporer, ada laut yang berfungsi sebagai penyerap dan ada sebagai pelepas. Untuk wilayah tropis umumnya ia berfungsi sebagai pelepas, sedangkan untuk kawasan subtropis dan lintang tinggi, ia berfungsi sebagai penyerap.

Bak minuman bersoda

Proses ini dikontrol pompa daya larut gas laut. Ilustrasinya adalah bila minuman bersoda yang disimpan dalam lemari pendingin (laut subtropis dan lintang tinggi) dan diletakkan di udara terbuka yang panas (laut tropis), maka minuman yang cenderung hilang sodanya adalah yang di udara terbuka (karena daya larut gasnya rendah). Demikian sebaliknya. Karena itu, upaya membawa isu perdagangan karbon laut menjadi kompleks karena faktanya semua laut menyerap karbon antropogenik, walaupun secara alami dan kontemporer ada yang melepas atau menyerap.

 Ada juga peran fitoplankton dalam fotosintesis, namun perlu dipertimbangkan satu siklus hidupnya (pemangsaan dan kematian). Hasilnya adalah produksi partikel organik yang tenggelam, ketika yang berhasil mencapai dasar perairan dan tersimpan dalam waktu lama disebut pompa biologis karbon. Ini hanya berlaku di laut dalam.

Fakta sains lainnya adalah pada periode 15.000 sampai 10.000 tahun silam (dikenal sebagai era Younger Dryas), sirkulasi (termohalin) laut mengalami perlambatan akibat adanya pencairan es di Samudra Arktik karena pemanasan global. Akibatnya, suplai energi panas ke utara Samudra Atlantik berkurang dan musim dingin menjadi ekstrem. Pada titik tertentu terjadi perubahan iklim mendadak yang kenaikan suhu yang drastis.

Saat ini indikasi berulangnya Younger Dryas semakin kuat, ketika musim dingin di belahan bumi utara semakin ekstrem tahun demi tahun dan cakupan es di Arktik berkurang drastis. Dampak terhadap siklus karbon antropogenik adalah semakin berkurangnya kapasitas laut dalam menyerap. Ini akibat dari perlambatan sirkulasi termohalin yang menyebabkan berkurangnya penenggelaman massa air yang membawa kandungan karbon antropogenik di utara Atlantik. Ini dikenal dengan pompa fisis karbon.

Selain itu, perubahan iklim telah memicu peningkatan kecepatan angin di Antartika sehingga memicu kenaikan massa air ke permukaan yang lebih besar. Hasilnya, kandungan karbon dari lapisan dalam akan naik ke permukaan dan pelepasan karbon menjadi lebih besar. Jika ini terus terjadi, dapat membawa bumi pada kondisi iklim yang berbahaya karena laut akan berubah fungsi lagi dari penyerap menjadi jenuh (tidak menyerap lagi) sehingga peluang CO2 tertinggal di atmosfer semakin besar.

Terkait visi poros maritim, Indonesia memiliki peluang menetralisasi karbon antropogenik melalui peran bakau-bakauan (mangrove) dan lamun yang mampu menyerap dan menyimpannya dalam sedimen. Ini disebut blue carbon. Sebagai negara dengan luas bakau-bakauan terbesar di dunia (FAO, 2007), maka Indonesia dapat mengusulkan mekanisme perdagangan karbon yang adil (dalam skema blue carbon) dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.

Sayangnya, kita masih memiliki persoalan dengan data luas dan sebaran bakau-bakauan dan lamun, selain deforestasi bakau-bakauan, kerusakan lamun akibat sedimentasi dan berbagai persoalan di pesisir akibat tumpang tindihnya pemanfaatan sektoral. Untuk itu, salah satu upaya menuju poros maritim adalah restorasi pesisir dan laut.

Restorasi tidaklah sekadar menanam bakau-bakauan, tetapi juga mengembalikan ke fungsi semula (fungsi regulator iklim, fungsi ekosistem/ perikanan laut, serta perlindungan pantai). Restorasi ini juga merupakan upaya memperkecil kerentanan iklim dan strategi alami dalam beradaptasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar