Kartini
dan Pembaratan
Heri Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM
|
KORAN TEMPO, 21 April 2015
Laiknya pusaka keris yang dijamasi setiap Bulan Sura, setiap 21
April, ingatan tentang Raden Ajeng Kartini kembali dibasuh. Masyarakat Indonesia
menyegarkan percikan pemikiran elok Kartini ratusan tahun lalu agar tak
usang. Dalam penjara budaya, putri Bupati Jepara ini mengkritik paham
feodalisme dan kolonialisme yang menjadi racun mematikan bagi warga yang
ingin maju. Dengan sebilah pena, ia memperkarakan poligami, belenggu budaya
Jawa, dan hak pendidikan bangsa pribumi yang tak terpenuhi.
Satu hal penting yang acap luput kita bincangkan ialah proses
westernisasi yang "menimpa" Kartini. Sekuat apa pun budaya Jawa
melingkari tubuh Kartini, tetap saja tak kuasa membendung laju pembaratan
yang diam-diam merembes lewat interaksi budaya. Sejak kelopak mata Kartini
belum terbuka menatap terangnya dunia, pelabuhan Jepara sudah ramai
disinggahi kapal-kapal asing, terutama dari Barat, Timur Tengah, India, dan
Cina. Maklum bila terjadi kontak budaya dengan para pendatang dari
mancanegara tanpa harus baku hantam.
Kemudian, gaya hidup toewan
kulit putih yang bercokol di tanah koloni ditiru oleh bangsawan Jawa agar
tampil modern dan makin bermartabat secara budaya. Tak terkecuali keluarga
Bupati Sosroningrat, ayahanda Kartini. Mereka rutin menggelar acara minum teh
pada sore hari atawa thee uurtje.
Kegiatan yang berjalan dari pukul 16.00 hingga 17.00 ini dimaksudkan untuk
bersantai sembari menyaksikan sisa-sisa sore yang indah dan hampir rubuh
dicaplok petang. Abdi dalem kabupaten menghidangkan secangkir susu dan
segelas teh di atas meja beserta camilan berupa kue Belanda, serabi gandum,
dan kolak pisang.
Acara minum teh ini menjadi sinau etika Barat. Sebagai contoh,
bangsawan Jawa bakal menghardik atau menatap tak suka jikalau mendapati
putra-putrinya menyesap secangkir teh panas sampai menimbulkan suara
"sruput-sruput". Begitu pula sewaktu menggelar acara makan bareng.
Menikmati hidangan kudu memakai peranti sendok-garpu dan beralaskan piring
agar dipandang lebih beradab. Kalau dilambari daun jati atau daun pisang,
segera dituding ndeso dan kuno. Panorama tersebut mudah kita pergoki dalam
foto hitam putih keluarga elite Jawa yang menjalin relasi sosial dengan
komunitas Eropa di Hindia-Belanda.
Gejala pembaratan makin sulit disangkal manakala Kartini bersama
saudara perempuannya berpeluh memasak kuliner Eropa. Misalnya, perkedel, sup,
salad, puding, dan roti. Puluhan jenis makanan Eropa tersebut bisa kita
tengok dalam buku Suryantini N. Ganie (2005) yang mendokumentasikan kisah dan
kumpulan resep ketiga perempuan ayu asal Jepara, yaitu Kartini, Kardinah, dan
Roekmini.
Pembaratan yang terjadi pada Kartini tak sepenuhnya buruk.
Justru masakan Barat yang digarap di dapur Kabupaten Jepara itu pada masa
silam sukses memperkaya sajian di meja makan Nusantara. Tanpa westernisasi,
tak mungkin kita sekarang bisa mendengar sup kental atau sup bening seperti groente soep (sup sayuran) atau bruine bonen soep (sup kacang merah).
Maka, selain membaca dan menganalisis surat-surat rintihan Kartini, dalam
memperingati tanggal lahirnya, sebaiknya kita mempraktekkan resep kuliner
peninggalan Kartini dan saudaranya itu. Ya, Kartini mengajak kita
berkuliner-ria, tidak melulu dandan berkebaya dan bersanggul. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar