Kamis, 23 April 2015

Gagalnya Filsafat Pertama Pendidikan

Gagalnya Filsafat Pertama Pendidikan

Saifur Rohman  ;   Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan
di Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS, 23 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang anggota DPR memukul anggota Dewan lain hingga babak belur, Kamis (9/4/2015). Pelaku melancarkan tinju ketika bertemu korban di ruang toilet.
Akibat pukulan itu, wajah korban lebam dan kacamatanya pecah. Ditengarai pelaku merasa tersinggung karena korban dinilai tidak menghormati hak bicaranya. Ketika dikonfirmasi, Ketua DPR menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi secara tidak sengaja.

Kejadian lain yang juga tidak lama berselang adalah Hasrul Azwar dari Partai Persatuan Pembangunan yang memorakporandakan meja rapat dalam ruang sidang paripurna DPR, Selasa (28/10/2014). Meja dan segala barang di atasnya bergelimpangan di depan pimpinan Dewan. Pelaku merasa tidak dihargai karena pendapatnya tidak ditanggapi pimpinan sidang.

Peristiwa itu menunjukkan bahwa sudah pernah, sedang, dan kemungkinan serupa akan terjadi di kantor para wakil rakyat. Sebagai individu yang berada dalam institusi penting dalam pembangunan negara, apa dampaknya terhadap kebijakan? Lebih dari pelanggaran etik, apa pelanggaran terbesar mereka? Bagaimana pendidikan yang pantas bagi politikus kalap?

Keharusan vs kenyataan

Secara hakiki, politikus adalah individu yang mengemban tugas untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sebab, politik adalah cara bagaimana membangun negara untuk mencapai cita-cita warganya. Tugas politikus bisa dilakukan ketika masyarakat telah memberikan hak-haknya agar para politikus mengatur sebaik-baiknya segala sumber daya yang dimiliki negara. Karena itu, di tangan politikuslah terdapat kekuasaan atas kekayaan bangsa yang bisa dimanfaatkan untuk aneka kepentingan.

Idealnya, perilaku politikus adalah bentuk permodelan dari praktik pendidikan politik kepada warga bangsa.Faktanya, politikus mengidap penyakit sadisme. Implikasinya jelas, kewenangan, peraturan, hingga bentuk-bentuk penguasaan sumber daya akan jatuh pada bentuk-bentuk kekerasan fisik dan non-fisik.

Apabila kekerasan fisik sering terlihat dalam tindak tanduk para wakil rakyat dalam ruang rapat, kekerasan psikis pun dapat dibuktikan dalam komunikasi verbal yang bermaksud untuk merendahkan, mengancam, memfitnah, hingga pernyataan-pernyataan lain yang tidak relevan dengan argumentasi.

Bagian kenikmatan

Kita baru tahu dari Donatien Alphonse Francois Marquis de Sade (1740-1714) yang menunjukkan bahwa rasa sakit fisik merupakan bagian dari kenikmatan. Pelaku sadisme akan merasa senang bisa melihat kekerasan di depan matanya. Sebaliknya, korban sadisme akan merasa puas apabila telah tersakiti.

Dalam ilmu psikologi, pasangan sadisme disebut dengan sado-masokhis. Dalam bidang lain, istilah berani ambil risiko itu berbeda dengan keberanian menyakiti atau disakiti. Manajemen risiko berupaya meminimalisasi kejadian yang menyakitkan pada masa depan sebagai bagian dari strategi berbisnis agar keuntungan semakin besar. Sementara perilaku sadis berusaha memperbesar rasa sakit pihak lain.

Jika direfleksikan terhadap kejadian di Senayan, para politikus cenderung mempraktikkan sado-masokhis terhadap lingkungan sekeliling. Pelaku akan merusak, memukul, dan memorak-porandakan benda-benda di sekitarnya serta memotong pembicaraan ketika perasaannya terganggu. Perasaannya akan kembali nyaman jika sudah melihat lingkungan sekitar berantakan.

Empat pelanggaran

Karena itu, sekurang-kurangnya ada empat pelanggaran yang dilakukan para pelaku kekerasan di Senayan. Pertama, pelanggaran nilai-nilai utama bangsa, yakni toleransi dalam keberagaman. Pelaku sadisme menunjukkan sikap egois. Mereka mengutamakan kepuasan perasaannya dengan cara menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Politikus perlu menjiwai bukan sekadar ideologi kebangsaan, melainkan sebuah semangat kebersamaan.

Kedua, pelanggaran norma sosial tradisi, yakni sopan santun. Jika mereka tidak memiliki adab kesopanan dalam interaksi antar-individu di lingkungan yang setara, jelas hal itu akan berdampak dalam interaksi sosial di lingkungan yang tidak setara.

Ketiga, pelanggaran kode etik para anggota Dewan. Aturan tertulis sebetulnya penegas dari semua aturan yang tidak tertulis, bahkan aturan itu ada sebelum mereka masuk ke gedung wakil rakyat. Sebagai aturan tertulis, kode etik memang menerakan sanksi. Akan tetapi, sanksi-sanksi itu cukuplah dianggap sedikit gangguan sehingga masuk dalam wilayah ”bukan masalah besar”.

Keempat, ada pelanggaran serius yang tidak pernah disadari. Pelanggaran terbesar dari semua pelanggaran sebelumnya adalah hilangnya keteladanan wakil rakyat. Sebab, kepentingan politikus adalah kepentingan rakyat sehingga segenap pikiran, niat, dan tindakan mestilah bermuara pada hajat hidup orang banyak. Dalam sejarah pembangunan kebangsaan kita, keteladanan merupakan permasalahan serius yang tidak diperhatikan.

Dalam filsafat pendidikan pertama bagi bangsa Indonesia, kita memperoleh penjelasan dari Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) yang menerapkan keteladanan (tuladha), kesamaan tekad (karsa), dan dukungan (andayani) bagi pembangunan bangsa.Sebelum kelahiran perundang-undangan tentang pendidikan, Dewantara telah memilihkan pendidikan yang sesuai dalam sistem sosial yang berlaku sepanjang praktik kehidupan bernegara.

Gagal paham

Apa boleh buat, ternyata mereka gagal paham. Pernyataan ”tidak sengaja” dari Ketua DPR pada Jumat (10/4/2015) sebagai bentuk perlindungan terhadap perilaku sadis itu justru menunjukkan jelasnya kegagalan secara umum. Sebab, istilah tidak sengaja itu sinonim dengan tidak sadar atau lupa.

Jika dicari dalam kamus, pernyataan itu sama dengan lupa diri atau dapat diganti dengan istilah lain yang lebih tepat, yakni kalap. Kasus demi kasus orang kalap yang terus terjadi menunjukkan kekurangmampuan menerapkan filsafat pertama dari praktik pendidikan politik di republik ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar