Bisnis
Esek-Esek Itu Bernama Prostitusi
Faisal Ismail ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 22 April 2015
”Nerakaku bukan urusanmu.
Apalagi surga belum tentu menjadi tempatmu.” Demikian pernyataan keras-tegas dan straight forward seorang prostitute
(pelacur atau pekerja seks komersial/PSK) dalam HPnya yang disiarkan di
berbagai televisi di Jakarta baru-baru ini.
Sang prostitute itu
dibunuh oleh laki-laki pelanggannya karena si pelanggan, sebagaimana dilansir
di media massa, mengaku sangat tersinggung dengan sikapnya. Dalam waktu yang
tidak lama, si pembunuh ditangkap polisi dan kini sedang menjalani proses
hukum. Tulisan ini lebih banyak mencermati pernyataan tegas prostitute yang dikutip di atas.
Jika diungkap dengan kalimat lain, pernyataan prostitute tadi kira-kira berbunyi
begini: ”Aku masuk neraka bukan urusan
lu. Lu belum tentu juga masuk surga.” Pernyataan ini dapat dimaknai
sebagai cetusan moral ”semau gue” dan sebagai bentuk protes, cibiran, atau
reaksi keras terhadap kaum moralis dan agamawan yang selalu mengingatkan dan
memperingatkan bahwa pelacuran adalah perbuatan tabu, terlarang, dan dosa
besar.
Prostitute tadi (dan para PSK lain yang mempunyai prinsip yang sama dengan
dia) bereaksi keras dan melakukan ”pembangkangan” terhadap kaum moralis dan
agamawan yang selalu memperingatkan mereka bahwa pelacuran adalah termasuk
perbuatan dosa besar. Para prostitute
tadi bahkan melakukan pembangkangan dan pelanggaran terhadap moral agama yang
diajarkan dalam kitab suci.
Tantangan kompleksitas modernitas di kota-kota, terutama di
kota-kota besar, semakin rumit dan menyorongkan lilitan problema hidup dalam
masyarakat dan umat beragama. Dalam kehidupan masyarakat di kota-kota besar,
terjadi intensitas perjumpaan dan pergumulan nilai-nilai keagamaan dengan
nilai-nilai sekuler yang datang dari luar.
Bagi kalangan yang imannya tidak tahan banting, terjadi
pengeroposan nilai-nilai keagamaan dan nilainilai moral. Fenomena ini pernah
dicermati Harvey Cook dalam bukunya, The
Secular City. Di kota yang telah menjadi sekuler atau semisekuler, agama
tersisihkan dan bagi sebagian orang, ukuran baik-buruk menjadi relatif dan
batas-batas patokan moral menjadi nisbi.
Pertimbangan praktis-hedonistik dan gaya hidup sekularistik yang
berorientasi pada kesenangan materi duniawi pun menjadi pilihan. Dari
pandangan hidup seperti inilah, barangkali, muncul moral permisif dan moral
semua gue. Moral permisif dan moral semau
gue ini pulalah yang mendasari pertimbangan perempuan menjadi pelacur
atau PSK seraya berucap mantap:
”Nerakaku bukan urusanmu.
Apalagi surga belum tentu menjadi tempatmu.” Di sini hukum ekonomi berlaku: ada demand, ada supply.
Laki-laki iseng, suka jajan, hidung belang, dan tidak setia kepada istri
menjadi pelanggan sang pelacur dengan membayar bayaran yang disepakati
bersama.
Teknologi dan prostitusi adalah dua hal yang berdiri sendiri dan
tidak ada kaitannya satu sama lain. Yang pertama adalah hasil olah pikir dan
produk ilmu pengetahuan yang modern canggih, sedangkan yang satunya adalah
hubungan seks di luar nikah, perbuatan asusila, perbuatan mesum, dan
perselingkuhan haram.
Walau begitu, teknologi yang modern dan canggih dapat digunakan
oleh para PSK untuk bertransaksi seks dengan para pelanggannya. Pelacur dapat
menjajakan dagangan cintanya atau menawarkan bisnis seksnya kepada para
pelanggan melalui jejaring sosial, termasuk melalui handphone. Dengan
menggunakan jejaring sosial, praktik esek-esek ini semakin sulit dideteksi
dan diawasi.
Seandainya Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby (yang tinggal di
rumah kos di Tebet, Jakarta) itu tidak mati terbunuh di kamarnya, dapat
dipastikan bahwa praktik prostitusinya tidak akan segera terungkap. Karena
dia tewas (dibunuh oleh pelanggannya), kasus dan praktik pelacurannya
terungkap dan menjadi berita luas di media massa.
Menyusul terungkapnya kasus Deudeuh, para petugas Satpol PP
merazia rumah-rumah kos (kontrakan) di kawasan Tebet dan berhasil menangkap
sejumlah pasangan yang berbuat mesum. Praktik prostitusi tidak selalu
disebabkan oleh himpitan dan lilitan masalah ekonomi.
Banyak prostitute (apalagi yang dikenal sebagai pelacur kelas
menengah dan pelacur kelas atas yang disuplai ke hotel-hotel berbintang) yang
”berprofesi” sebagai PSK karena dimotivasi oleh gebyar gaya hidup dan ingin
memperoleh pendapatan atau imbalan besar dengan cara yang mudah, gampang, dan
tidak perlu bekerja keras memeras keringat.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa salah satu penyebab
merebaknya prostitusi di negeri ini adalah faktor kemiskinan. Pendapat ini
kalau diuji sahih dengan melihat negara kaya dan makmur seperti Kanada
misalnya adalah tidak tepat. Di Kanada yang dikenal sebagai negara kaya,
makmur, dan sejahtera, praktik-praktik prostitusi (plus pornografi dan
aborsi) tetap saja menjamur.
Bisnis esek-esek yang menggiurkan ini lebih disebabkan oleh
menjamurnya permissiveness
(keserbabolehan; Arab: abahah) yang
menyebabkan menjamurnya moral permisif dalam masyarakat. Majalah Plain Truth
yang terbit di Amerika Serikat dalam sebuah edisinya pada 1980-an menyebut
permissiveness sebagai ” curse of western society ” (laknat terhadap
masyarakat Barat).
Laknat dan kutukan ini sekarang tidak hanya terjadi pada
masyarakat Barat, tetapi terjadi juga pada hampir semua masyarakat di dunia,
termasuk di Indonesia. Terdapat lebih dari 100 tempat prostitusi yang
dilegalisasi di seluruh Indonesia. Ironis! Justru ini terjadi di sebuah
negara yang dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Kaum agamawan dan moralis tentu menyampaikan salut kepada
Sutiyoso (saat itu sebagai gubernur DKI) dan Tri Rismaharini (wali Kota
Surabaya sekarang) yang menggunakan akal sehat menghapus pelacuran di
wilayahnya masing- masing. Sutiyoso menyulap pusat pelacuran Kramat Tunggak
menjadi Islamic Center.
Tri Rismaharini melikuidasi pusat pelacuran Gang Dolly menjadi
kawasan nyaman dan terhormat. Saya tidak sependapat dengan kalangan yang
mengatakan, pelacuran harus dilokalisasi agar tidak menyebar ke mana-mana.
Jika logika tolol ini diikuti, korupsi juga harus dilokalisasi agar tidak
menyebar kemana-mana. Pelacuran dan korupsi itu sama saja, sama-sama haram.
Tidak perlu dilokalisasi. Dosanya ditanggung sendiri oleh
pelakunya sebagai dosa individual. Yang penting, pendidikan agama diperkuat
agar orang merasa malu untuk melacur seraya dilakukan pengawasan dan pencegahan
terhadap bisnis esek-esek ini. Kaum beriman, agamawan, dan moralis
berpendapat bahwa pelacuran adalah perbuatan tercela, terlarang, haram, dan
dosa besar.
Jika pelacuran dilokalisasi, dosa besar akibat pelacuran itu
telah dilembagakan dan telah diinstitusionalisasikan secara turuntemurun
sehingga menjadi dosa massal, menjadi dosa struktural, dan menjadi dosa
institusional. Orang-orang yang paling bertanggung jawab terhadap Tuhan dalam
hal ini adalah para pejabat yang mengambil keputusan dan kebijakan yang
membiarkan dan melokalisasi pelacuran itu.
Sesuai agama dan Pancasila, bukankah kita bangsa yang bertuhan?
Setiap perbuatan, tindakan, dan kebijakan, termasuk membiarkan dan
melokalisasi pelacuran, harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar