Minggu, 26 April 2015

Spirit KAA untuk Paradigma Baru Papua

Spirit KAA untuk Paradigma Baru Papua

Freddy Numberi  ;   Tokoh Masyarakat Papua
MEDIA INDONESIA, 23 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

INDONESIA tengah melangsungkan perhelatan internasional yang sangat penting dan strategis, yakni Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, di Bandung. Salah satu spirit penting dari peringatan itu ialah penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan dan martabat bangsa-bangsa di dunia, khususnya di Asia dan Afrika. Spirit yang digaungkan melalui Dasasila Bandung itu tentu bukan lahir dari ruang kosong. Ia dirumuskan dari pengalaman sejarah ketertindasan bangsa-bangsa Asia dan Afrika oleh kolonialisme dan imperialisme. Maka, bagi negara pengusung spirit itu, urusan kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia sejatinya merupakan ruh yang terus melatari perjalanan kehidupan bangsabangsa Asia-Afrika, termasuk Indonesia.

Dalam konteks itulah, pemerintah Indonesia mesti lebih dahulu memelopori implementasi spirit gerakan Asia-Afrika, dengan membereskan pekerjaan rumah yang masih muncul terkait dengan masalah-masalah kemanusiaan dan HAM. Persoalan Papua, misalnya, hingga saat ini belum sepenuhnya bisa dikatakan telah selesai.

Bagi warga Papua dan pemerintah Indonesia, 1 Mei, tentu masih diingat sebagai hari utuhnya Indonesia sebagai NKRI. Namun, Papua dalam perjalanan waktu selama 52 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2015) selalu didera kekerasan. Jalan pintas kekerasan menghadapi rakyat Papua akhirnya hilang di tengah hutan belukar impunitas. Walaupun telah dibungkam dan dihilang kan, naluri untuk membela kebenaran terus menyala oleh penerusnya. Setelah reformasi pun kita masih jauh dari arah dan cita–cita konstitusi sejak awal Indonesia merdeka.

Pada awal reformasi, Indonesia menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus belajar dari pengalaman masa lalu agar cara–cara kekerasan masa lalu tidak diulangi pada era reformasi ini ke depan. Hal itu demi membangun Indonesia baru yang adil, bermartabat, demokratis, dan menghormati HAM.

Relasi pusat dan daerah merupakan isu politik yang rawan dalam sejarah politik Indonesia. Kerapkali menimbulkan ketegangan. Itu terlihat pada hubungan tarik-menarik antara kutub pro dan kontra. Dinamika yang memperlihatkan sikap daerah yang menentang pusat dalam politik Indonesia sudah berlangsung sejak awal Indonesia merdeka.

‘Nasionalisme’ Papua mulai tumbuh dan mendapat wadahnya di tahun 1960-an ketika Belanda menjanjikan negara sendiri bagi Papua selepas proses dekolonisasi. Untuk itu bendera, lagu, dan lambang negara di persiapkan. Di samping itu, proses integrasi, yakni rakyat Papua tidak diajak bicara, pada 1 Mei 1963, antara Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat melalui PBB juga memiliki dampak tersendiri bagi masyarakat Papua. Dari proses inilah benih ‘nasionalisme’ Papua itu tersemai lebih banyak dan menjangkau seluruh Wilayah Tanah Papua (WTP).

Masih segar dalam ingatan kita bahwa perasaan senasib dan sependeritaan yang sama, juga Indonesia alami selama penjajahan Belanda, yakni banyak rakyat kita disiksa dan dibunuh selama ± 350 tahun, sejak pertama kali Laksamana Cornelis de Houtman tiba di Teluk Banten pada 1596 dan telah beratus kali Belanda melakukan kekerasan militer terhadap bangsa Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa hasil Pepera 1969 sebagai pelaksanaan dari Perjanjian New York 1962 telah diakui keabsahannya melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969. Bagi Indonesia, hasil Pepera sebagai wujud pelaksanaan act of self-determination sudah dianggap final.

Bagi masyarakat Papua yang banyak menderita sejak proses awal integrasi (penyatuan kembali) dengan Indonesia, selalu bertanya: Pertama, kenapa Pepera tidak dilaksanakan in accordance with international practice (one man-one vote). Kedua, kenapa Pepera prosesnya hanya melalui 1.025 orang Dewan Musyawarah Papua (DMP) yang dipilih dan ditentukan oleh pihak Indonesia. Ketiga, kenapa Pepera dalam implementasinya tidak ada kebebasan, malahan di bawah tekanan senjata militer.

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia agar kelanjutan proses nation building ataupun state building dalam era reformasi sejak 1998 dapat terjawab secara tuntas. Ruang-ruang demokratis yang terbuka memungkinkan berlangsungnya dialog nasional bagi penyelesaian masalah Papua secara damai, adil, demokratis, dan permanen. Intinya ialah bukan hanya menjadikan Papua bagian dari Indonesia, melainkan bagaimana menjadikan Indonesia bagian utuh dari Papua tanpa ada kekerasan, intimidasi, stigmatisasi, dan lain-lain.

Berbagai policy yang dilakukan pemerintah untuk Papua memiliki cacat permanen. Pada level negara, hal ini dapat kita lihat pada pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang tidak konsisten oleh rezim pemerintah yang terus berganti. Harapan masyarakat Papua sebagai warga negara Indonesia yang terhormat adalah sebuah: national wisdom policy tanpa ada kekerasan atas sesama anak Bangsa Indonesia, khususnya rakyat Papua.

Soekarno, salah satu founding fathers Indonesia, pernah menggugat masalah penindasan manusia atas manusia (de l’ hommepar l’ homme) ini. Sayangnya, hal ini justru terjadi dewasa ini di Nusantara tercinta oleh pemerintah melalui institusi-institusi yang ada. Contoh, perihal ekspresi budaya Papua (bendera, lagu, dan lambang daerah) sesuai UU Otonomi Khusus tentang Provinsi Papua No 21/2001, pasal 2, yang sampai saat ini belum terealisasi.

Presiden dalam beberapa kali kunjungan ke Papua menekankan agar konflik yang ada harus dihentikan, dan rakyat Papua perlu didengarkan suaranya. Rakyat Papua mengharapkan Presiden Joko Widodo dapat mencanangkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Integrasi Nasional. Pencanangan ini, kalau bisa di Jayapura, karena momentum tersebut sekaligus sebagai hari Rekonsiliasi dan Pertobatan Nasional, dalam memperkuat restorasi kebangsaan Indonesia. Melalui spirit Asia Afrika, saatnya kita tinggikan martabat kehidupan anak bangsa Indonesia, termasuk Papua. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar