Senin, 06 April 2015

Diobok-obok

Diobok-obok

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO.ID, 06 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Kedatangan saya ke rumah Romo Imam untuk membujuk beliau agar mau tampil dalam talkshow di televisi. Saya terus meyakinkan, tapi selalu ditolak. "Saya tak mau omongan saya diarahkan presenter. Saya tak mau mendukung sesuatu kalau bertentangan dengan pendapat saya," alasan Romo.

"Apakah Romo melihat stasiun televisi itu berpihak pada kelompok tertentu?" tanya saya. Romo langsung terbahak, "Jangan kura-kura di dalam perahu. Anak bocah pun tahu televisi ini milik partai ini, televisi itu milik partai itu, televisi lainnya milik partai yang baru digadang-gadang. Televisi sudah diobok-obok untuk kepentingan kelompok. Pemirsa tak mendapatkan kabar yang netral. 

Pakar-pakar pun terbelah, ada yang jadi langganan di sana, ada yang jadi langganan di sini. Pemerintah diam, mungkin karena salah satu partai itu memang pendukung pemerintah. Ini dosa besar."

Saya memotong, "Apa dosa itu?" Romo menjelaskan, "Televisi dan radio memakai frekuensi yang keberadaannya terbatas, belum lagi dipakai instansi di luar penyiaran. Karena itu, dalam Undang-Undang Penyiaran ditetapkan televisi tak boleh dimiliki oleh kelompok tertentu untuk kepentingan kelompoknya. Harus netral. Ini diawasi oleh Komisi Penyiaran. Kalau ada penyimpangan, komisi ini melapor ke pemerintah dan menteri yang ditugaskan melakukan tindakan. Konon komisi sudah pernah melaporkan hal itu saat pemilu yang lalu, tapi pemerintah cuek saja. Sekarang mungkin malas melaporkan lagi, seolah-olah semuanya wajar. Jangan-jangan penonton pun melihat hal ini sebagai kewajaran. Malah yang diobok-obok situs online yang disebut radikal tanpa ada kriteria apa yang dimaksudkan dengan radikal. Padahal situs online ini tak terbatas karena tak menggunakan frekuensi, sama seperti media cetak. Punya uang, punya tenaga, bikin usaha berbadan hukum, selesai urusan."

Saya tak lagi membujuk karena Romo amat serius. "Ya, sudahlah. Saya menawari Romo tampil di televisi kan pesanan dari teman yang bekerja di sana. Siapa tahu Romo mau berkomentar tentang kemelut Partai Golkar."

"Kisruh Golkar? Ealah, partai itu kan diobok-obok dari dalam," Romo tampak kaget. "Sudahlah, saya makin tak mau dibujuk ber-talkshow. Golkar sendiri pecah di dalam dan kini makin ruwet karena provokasi para pengamat, pakar hukum, termasuk kepentingan pengacara. Akhirnya menteri yang disalahkan."

Romo mengambil minuman dan tampaknya mau bicara lagi. "Pada munas Golkar di Bali dengan bantuan lembaga pengamanan adat, orang yang berseberangan dengan Ical dilarang masuk. Lalu muncul munas Ancol, mulai ada dua kelompok. Sesuai undang-undang harus diselesaikan Mahkamah Partai. Sudah tahu seorang hakim mahkamah berhalangan, sidang tetap diteruskan oleh empat hakim, mana ada pengadil itu berjumlah genap. Lalu sudah nyata pula dua hakim memberi keputusan dan dua hakim tak memberi keputusan, tetap saja putusan dibacakan sebagai amar. Muncul dua tafsir, ini keputusan mahkamah atau pendapat para hakim mahkamah? Menteri melihatnya sebagai keputusan, maka diterbitkan pengesahan dengan catatan harus ada konsolidasi di dalam dan kepengurusan versi Ancol pun sementara sambil menunggu munas tahun depan. Kalau para kader tak berebut jabatan, mestinya ini menyelesaikan masalah. Tapi karena mereka menyediakan diri diobok-obok, persoalan pun berlarut-larut."

"Wah, Romo memihak kelompok Ancol," saya memotong. Romo tersinggung, "Ya, sudah sampai di sini saja, silakan kalau mau diobok-obok." Saya minta maaf. Memang sulit mengomentari orang berkelahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar