Senin, 06 April 2015

Menemukan Makna Hidup dalam Musibah

Menemukan Makna Hidup dalam Musibah

Agustine Dwiputri  ;  Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 05 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Melalui bencana ataupun kesulitan hidup, manusia justru dapat menunjukkan ketangguhan sebagai individu. Pengalaman pahit yang memberi makna pada kehidupan hampir selalu menjadi dasar untuk membentuk misi yang ingin dilakukan seseorang. Apa saja yang memberi makna bagi kebanyakan orang?

Menurut sebuah penelitian (Grotberg, 1999), ada tujuh hal (sesuai dengan urutan kepentingan) yang memberikan makna bagi kebanyakan orang, yaitu pekerjaan, cinta dan pernikahan, kelahiran anak-anak, cita-cita yang mandiri (seperti masuk dinas militer, bepergian ke luar negeri, pencapaian pribadi), peristiwa-peristiwa tragis (kematian, penyakit, dan kecelakaan), perpisahan atau perceraian (karena hal ini sering berkaitan dengan pencarian hubungan baru atau upaya rekonsiliasi), serta pembelian barang-barang yang besar (seperti rumah atau mobil).

Kita sering merasa bahwa kita tengah diuji atau dihukum oleh peristiwa yang dramatis atau traumatis yang terjadi dalam hidup. Kondisi ini sering tidak memiliki arti secara langsung, misalnya tempat bekerja kita bangkrut, orang yang kita cintai mendadak meninggal, perkawinan hancur, penyakit parah muncul secara tiba-tiba, atau terjadi kecelakaan yang membuat kita harus berada di kursi roda. Namun, biasanya akan timbul berbagai pertanyaan, seperti Mengapa hal ini terjadi? Dan bila terjadi, mengapa dengan cara seperti ini? Melalui pertanyaan-pertanyaan semacam ini, suatu makna dapat mulai muncul, dan kemudian mungkin ada tujuan baru untuk hidup kita, muncul sesuatu yang disebut sebagai misi.

Contoh pengalaman nyata

1. Seorang pria pernah mengalami peristiwa yang menimbulkan shock, putri tunggalnya yang berumur 3 tahun meninggal karena salah obat. Rasa marah dan sedih tidak begitu saja dapat diatasinya. Sampai pada suatu ketika, ia diberi tahu tetangganya bahwa ada bayi yang dibuang begitu saja. Rasa ibanya timbul dan kemudian bersama istrinya, ia merawat bayi tersebut dengan kasih sayang.

Dalam kehidupan selanjutnya, ia terus dihadapkan pada informasi dan fakta tentang banyaknya bayi yang ditelantarkan orangtuanya. Dalam kemarahannya terhadap orangtua yang telah tega membuang anak kandungnya sendiri, ia terus jatuh hati untuk mengambil dan merawat para bayi tersebut sampai ia mendirikan pesantren khusus untuk membesarkan, mendidik, dan menyekolahkan mereka.

Menanggapi pandangan lingkungan yang memintanya untuk waspada mengangkat anak yang tak jelas asal-usulnya, ia mengatakan bahwa tak ada yang namanya anak haram. Kalaupun ada, adalah perilaku orangtua bayi tersebut yang haram. Sampai sekarang sudah lebih dari 20 bayi yang dibesarkannya di pesantren, beberapa bahkan sudah mandiri dan berkeluarga. Ia merasakan adanya kepuasan dalam hidupnya dan bersyukur bahwa semua anak asuhnya itu berkembang menjadi anak yang berperilaku baik, tidak menimbulkan masalah baginya.

Di dalam bukunya, Tapping Your Inner Strength, Edith H Grotberg, PhD memberikan beberapa kasus lain.

2. Seorang pria ingin bunuh diri karena punggungnya patah dalam kecelakaan ketika bermain bola dan ternyata olahraga telah memberi makna bagi hidupnya. Dia tenggelam ke dalam keputusasaan. Ketika tak bisa menoleransi penderitaan lagi, ia merasakan tarikan yang kuat untuk bertahan hidup. Dia menyebutnya sebagai suatu ”visi putih”. Dia memutuskan akan hidup. Dia berkata kepada dirinya sendiri, ”Saya seorang pria yang sosial. Saya suka berbicara dengan orang. Saya akan menjadi pembawa acara di radio.” Dia kemudian melakukannya. Misinya adalah mengirimkan harapan dan menghibur siapa saja yang membutuhkannya. Melalui tragedi ia mengalami transformasi ke arah resiliensi (ketangguhan).

3. Di suatu acara talk show televisi, dua perempuan melaporkan pengalaman mereka dengan kanker dan bagaimana mereka menghadapinya. Keduanya menderita kanker parah. Perempuan yang pertama awalnya menyangkal bahwa ia mengalami sesuatu yang fatal. Sampai akhirnya ia mau mengakui bahwa ia perlu diobati dan bersedia melakukan segala sesuatu sesuai dengan perintah medis. Namun, ia memperhatikan bahwa obat yang dikonsumsi membuat kulitnya tampak berwarna abu-abu kusam dan dia tidak ingin seperti itu.

Dia selalu bangga dengan kulitnya dahulu dan ingin kembali seperti semula. Kemudian, dia menemukan beberapa tanaman di halaman rumahnya. Ia lakukan uji coba untuk pemulihan kulitnya dan akhirnya berhasil membuat warna kulitnya berona merah muda kembali. Dia gembira dengan kemenangannya ini dan berpikir bahwa banyak perempuan lain mengalami masalah yang sama dengan kulit mereka. Maka, bisnis baru dimulai dan kini pemasaran produknya meluas ke seluruh negeri dan membuat banyak wanita sependeritaan merasa lebih baik. Dia senang dengan misinya. Dia tak hanya menemukan makna dengan penampilan dirinya sendiri, tetapi dapat pula membantu orang lain dengan cara yang empatik dan altruistik.

4. Perempuan kedua mengalami jenis kanker yang langka dan dokter tidak dapat mendiagnosis dirinya secara tepat. Dia pergi ke beberapa dokter lain tanpa diagnosis yang jelas dan akhirnya mereka menyerah. Hal yang kemudian dilakukan perempuan tersebut adalah pergi ke perpustakaan dan mulai melakukan penelitian literatur yang intensif dan serius mengenai gejala berbagai jenis kanker.

Kemudian, dia kembali ke salah satu dokter untuk menyampaikan semua informasi yang didapatnya dan yang perlu dilakukan. Untungnya, dokter mendengarkan dan kondisi kesehatannya berada di bawah kendali. Misinya adalah membuat sebuah situs web direktori informasi tentang berbagai jenis kanker, termasuk informasi tentang para dokter terbaik di negeri ini, pengobatan terbaik, dan bacaan terbaik.

Jadi, setiap individu memiliki cara berbeda untuk mendapatkan misinya. Ada yang terjebak dalam fase penyangkalan sampai bisa mengelola perasaan dan kemudian bertindak. Ada yang mengalami masa berduka dahulu, tetapi ada pula yang sejak awal perhatiannya langsung terfokus pada pemecahan masalah, dengan kadar perasaan yang minimal. Beberapa cerita di atas menunjukkan pribadi yang tak terkalahkan. Mereka belajar dari penderitaan, menemukan makna hidup dan mentransformasikan ke dalam suatu misi yang menunjukkan adanya ketangguhan.

Selamat berefleksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar