Tentang Pendidikan Hukum Kita
Ratno Lukito
; Guru Besar
Perbandingan Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 April 2015
PENDIDIKAN hukum haruslah
menjadi bagian tak terpisah kan dari proses mendidik suatu bangsa. Bangsa
yang maju ditandai dengan sistem pendidikan hukum yang kuat dan efektif.
Sebaliknya, bangsa yang lemah direeksikan dengan penampilan lembaga
pendidikan hukum yang tidak mampu mencapai tujuan utama dari pendidikan itu
sendiri. Para lulusannya tidak menguasai aspek-aspek hukum, baik aspek
pembentukannya (law-making),
perkembangan maupun implementasi, dan relasinya dengan kehidupan nyata
masyarakat.
Di situlah mengapa sejak dekade
1950-an, sejalan dengan meledaknya jumlah peserta didik di fakultas-fakultas
hukum, para teorisi hukum dunia semakin menekankan pentingnya proses
pendidikan itu sebagai sarana untuk mewujudkan ahli hukum yang mampu
mendorong pada pencapaian masyarakat yang modern, yakni nilai-nilai tamadun,
seperti keadilan, kebebasan, kesejajaran, dan persaudaraan dalam ikatan
bangsa yang demokratis dapat terbumikan. Pendidikan hukum bukan hanya
mencetak para ahli hukum yang well-versed
dalam praktik hukum (lawyering)
ataupun sains hukum, melainkan juga mampu menumbuhkan kesadaran mereka
sebagai learned professional yang bertanggung jawab terhadap kemajuan
masyarakat dan bangsanya.
Fakultas hukum karenanya
bukanlah institusi pendidikan yang hanya bertujuan mencetak lulusan yang
pandai mengumpulkan tumpukan materi dan kemewahan duniawi akibat penekanannya
yang berlebihan pada aspek kepiawaian individual seorang lawyer. Fakultas
hukum haruslah menjadi lembaga pendidikan yang mampu melahirkan para ahli
hukum sebagai insan kamil yang sadar akan posisi sentralnya sebagai pencipta
sistem nilai dalam masyarakat.
Pendidikan hukum kita
Pendidikan hukum di Indonesia
sejatinya seusia negarabangsa ini sendiri. Bahkan, secara historis, proses
pendidikan hukum di negeri ini sudah dimulai sejak beberapa dekade sebelum
aras kemerdekaan itu mewujud dalam sanu bari bangsa. Penjajah Belandalah yang
telah mentradisikan pendidikan hukum modern itu ketika 28 Oktober 1924
mendirikan Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Rechtshoogeschool te Batavia).
Meski tidak sepenuhnya
berhasil, lembaga ini mampu menjadi awal penting untuk menyiapkan tradisi
pendidikan hukum yang diperlukan dalam membangun sistem masyarakat modern.
Sayangnya, pentradisian hukum itu dikhianati oleh attitude penjajah sendiri yang mempertahankan pendekatan rasial
dalam membangun pranata sosial. Prinsip-prinsip persamaan dan keadilan untuk
semua tidaklah mungkin diterapkan dalam masyarakat yang dikelompokkan secara
primordialisme. Dalam banyak hal, penjajah sepertinya hanya sempat memberikan
pengajaran hukum yang berpusat pada keahlian praksis dan belum menyentuh
ranah sains hukum yang mampu berinteraksi dengan kehidupan sosial.
Bangsa kita berhasil mewarisi
kultur positivisme ala sistem civil law
yang dibawa oleh penjajahan Belanda itu, tetapi kita sepertinya tidak mampu
melanjutkan pembangunan tradisi hukum modern itu sesuai kebutuhan budaya
bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kultur hukum kita belum berkembang dengan
sehat.
Walhasil, ranah substansi dan struktur hukum yang dibangun tidak mampu
merespons nilai-nilai kemodernan yang berkembang cepat. Kita selalu saja
terseok dengan persoalan hak asasi manusia, proses penciptaan pranata sosial
hukum, maupun lembaga-lembaga hukum kita masih kering dari nilai-nilai
integritas hukum.`Hukum bak pisau, tajam ke bawah tumpul ke atas' pun masih menjadi
adagium sosial akar rumput. Itu semua terjadi dalam di tengah berjamurnya
fakultas hukum yang tumbuh dengan pesat di tengah padang kerontang
ketidakpastian arah pembangunan budaya hukum bangsa ini.
Ketika persoalan putusan
praperadilan hakim Sarpin Rizaldi meledak di tengah kegalauan arah penyelesaian
kasus penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, para pengkaji hukum kita justru limbung, terpasung oleh pro dan
kontra penafsiran Pasal 77 dan 95 KUHAP.
Menariknya, banyak dari para ahli
hukum acara pidana kita yang `diam-diam' justru merasa diuntungkan dengan
kontroversi hakim Sarpin ini. Tarik tambang persoalan penafsiran hakim
terhadap makna literal suatu pasal undang-undang menjadi episentrum
perdebatan itu. Ini malahan positif, lantaran orang menjadi sadar bahwa
cakupan objek praperadilan itu belum sepenuhnya jelas batasannya.
Anehnya, tak satu pun dari para
pengkaji itu yang mampu melepaskan diri dari jebakan positivisme hukum. Kedua
kelompok yang berseberangan sama-sama memusatkan argumen persimpangannya pada
substansi pasal-pasal KUHAP itu saja. Tidak menengok pada ranah yang lebih
mendalam: apa objektif mendasar dari legislasi pasal praperadilan itu,
misalnya, atau dengan kata lain, apa legal
reasoning dari praperadilan itu sejatinya, sehingga batasan-batasannya
pun mungkin diperlukan agar tujuan makro dari hukum untuk mencapai keadilan
tidak terabaikan.
Itu sekadar contoh, betapa para
pengkaji hukum kita belum mampu membebaskan dirinya dari jeratan hitam positivisme
hukum. Sistem civil law kita pun
sepertinya justru mendorong scholarship
hukum kita untuk mengagungkan positivisme itu. Lagi-lagi, hal ini tergambar
secara buatan dalam kurikulum fakultas hukum kita, yakni 90% silabus kajian
hukum itu masih didominasi oleh pendekatan positivisme.
Secara halus, positivisme
mengarahkan kita untuk berpikir secara bipolar. Hitam dan putih dalam garis
normativitas suatu pasal (baca William
P LaPiana, Logic and Experience, 1994: 138-147). Ketika fakultas-fakultas
hukum kita mengajarkan norma hukum itu secara positis ansich, maka tentunya lembaga itu sekadar menjadi pencipta
robot-robot hukum yang hanya mengenal dua nilai, yakni nol dan satu.
Di sinilah kunci kegagalan
proses pendidikan hukum itu. Pendidikan yang hanya menghasilkan kepandaian
matematis, tak mampu berkembang menjadi pusat penciptaan nilai-nilai hukum
yang sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat modern. Pun, hukum
tercerabut dari akarnya, terbuang jauh dari kehidupan sosial karena digembok
dalam kotak hampa udara.
Sudah selayaknya hukum
diletakkan kembali pada tempat yang semestinya, yaitu dalam konteksnya
sebagai alat penciptaan nilai-nilai dan perilaku kebaikan dalam masyarakat.
Itu tentunya hanya bisa dilakukan jika fakultas hukum kita merevitalisasi
makna pendidikan hukum tersebut secara benar dan komprehensif, tidak sekadar
ajang keterampilan logika positivis semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar