Selasa, 07 April 2015

Tentang Pendidikan Hukum Kita

Tentang Pendidikan Hukum Kita

Ratno Lukito  ;  Guru Besar Perbandingan Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 06 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

PENDIDIKAN hukum haruslah menjadi bagian tak terpisah kan dari proses mendidik suatu bangsa. Bangsa yang maju ditandai dengan sistem pendidikan hukum yang kuat dan efektif. Sebaliknya, bangsa yang lemah direeksikan dengan penampilan lembaga pendidikan hukum yang tidak mampu mencapai tujuan utama dari pendidikan itu sendiri. Para lulusannya tidak menguasai aspek-aspek hukum, baik aspek pembentukannya (law-making), perkembangan maupun implementasi, dan relasinya dengan kehidupan nyata masyarakat.

Di situlah mengapa sejak dekade 1950-an, sejalan dengan meledaknya jumlah peserta didik di fakultas-fakultas hukum, para teorisi hukum dunia semakin menekankan pentingnya proses pendidikan itu sebagai sarana untuk mewujudkan ahli hukum yang mampu mendorong pada pencapaian masyarakat yang modern, yakni nilai-nilai tamadun, seperti keadilan, kebebasan, kesejajaran, dan persaudaraan dalam ikatan bangsa yang demokratis dapat terbumikan. Pendidikan hukum bukan hanya mencetak para ahli hukum yang well-versed dalam praktik hukum (lawyering) ataupun sains hukum, melainkan juga mampu menumbuhkan kesadaran mereka sebagai learned professional yang bertanggung jawab terhadap kemajuan masyarakat dan bangsanya.

Fakultas hukum karenanya bukanlah institusi pendidikan yang hanya bertujuan mencetak lulusan yang pandai mengumpulkan tumpukan materi dan kemewahan duniawi akibat penekanannya yang berlebihan pada aspek kepiawaian individual seorang lawyer. Fakultas hukum haruslah menjadi lembaga pendidikan yang mampu melahirkan para ahli hukum sebagai insan kamil yang sadar akan posisi sentralnya sebagai pencipta sistem nilai dalam masyarakat.

Pendidikan hukum kita

Pendidikan hukum di Indonesia sejatinya seusia negarabangsa ini sendiri. Bahkan, secara historis, proses pendidikan hukum di negeri ini sudah dimulai sejak beberapa dekade sebelum aras kemerdekaan itu mewujud dalam sanu bari bangsa. Penjajah Belandalah yang telah mentradisikan pendidikan hukum modern itu ketika 28 Oktober 1924 mendirikan Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Rechtshoogeschool te Batavia).

Meski tidak sepenuhnya berhasil, lembaga ini mampu menjadi awal penting untuk menyiapkan tradisi pendidikan hukum yang diperlukan dalam membangun sistem masyarakat modern. Sayangnya, pentradisian hukum itu dikhianati oleh attitude penjajah sendiri yang mempertahankan pendekatan rasial dalam membangun pranata sosial. Prinsip-prinsip persamaan dan keadilan untuk semua tidaklah mungkin diterapkan dalam masyarakat yang dikelompokkan secara primordialisme. Dalam banyak hal, penjajah sepertinya hanya sempat memberikan pengajaran hukum yang berpusat pada keahlian praksis dan belum menyentuh ranah sains hukum yang mampu berinteraksi dengan kehidupan sosial.

Bangsa kita berhasil mewarisi kultur positivisme ala sistem civil law yang dibawa oleh penjajahan Belanda itu, tetapi kita sepertinya tidak mampu melanjutkan pembangunan tradisi hukum modern itu sesuai kebutuhan budaya bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kultur hukum kita belum berkembang dengan sehat. 

Walhasil, ranah substansi dan struktur hukum yang dibangun tidak mampu merespons nilai-nilai kemodernan yang berkembang cepat. Kita selalu saja terseok dengan persoalan hak asasi manusia, proses penciptaan pranata sosial hukum, maupun lembaga-lembaga hukum kita masih kering dari nilai-nilai integritas hukum.`Hukum bak pisau, tajam ke bawah tumpul ke atas' pun masih menjadi adagium sosial akar rumput. Itu semua terjadi dalam di tengah berjamurnya fakultas hukum yang tumbuh dengan pesat di tengah padang kerontang ketidakpastian arah pembangunan budaya hukum bangsa ini.

Ketika persoalan putusan praperadilan hakim Sarpin Rizaldi meledak di tengah kegalauan arah penyelesaian kasus penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, para pengkaji hukum kita justru limbung, terpasung oleh pro dan kontra penafsiran Pasal 77 dan 95 KUHAP. 

Menariknya, banyak dari para ahli hukum acara pidana kita yang `diam-diam' justru merasa diuntungkan dengan kontroversi hakim Sarpin ini. Tarik tambang persoalan penafsiran hakim terhadap makna literal suatu pasal undang-undang menjadi episentrum perdebatan itu. Ini malahan positif, lantaran orang menjadi sadar bahwa cakupan objek praperadilan itu belum sepenuhnya jelas batasannya.

Anehnya, tak satu pun dari para pengkaji itu yang mampu melepaskan diri dari jebakan positivisme hukum. Kedua kelompok yang berseberangan sama-sama memusatkan argumen persimpangannya pada substansi pasal-pasal KUHAP itu saja. Tidak menengok pada ranah yang lebih mendalam: apa objektif mendasar dari legislasi pasal praperadilan itu, misalnya, atau dengan kata lain, apa legal reasoning dari praperadilan itu sejatinya, sehingga batasan-batasannya pun mungkin diperlukan agar tujuan makro dari hukum untuk mencapai keadilan tidak terabaikan.

Itu sekadar contoh, betapa para pengkaji hukum kita belum mampu membebaskan dirinya dari jeratan hitam positivisme hukum. Sistem civil law kita pun sepertinya justru mendorong scholarship hukum kita untuk mengagungkan positivisme itu. Lagi-lagi, hal ini tergambar secara buatan dalam kurikulum fakultas hukum kita, yakni 90% silabus kajian hukum itu masih didominasi oleh pendekatan positivisme.

Secara halus, positivisme mengarahkan kita untuk berpikir secara bipolar. Hitam dan putih dalam garis normativitas suatu pasal (baca William P LaPiana, Logic and Experience, 1994: 138-147). Ketika fakultas-fakultas hukum kita mengajarkan norma hukum itu secara positis ansich, maka tentunya lembaga itu sekadar menjadi pencipta robot-robot hukum yang hanya mengenal dua nilai, yakni nol dan satu.

Di sinilah kunci kegagalan proses pendidikan hukum itu. Pendidikan yang hanya menghasilkan kepandaian matematis, tak mampu berkembang menjadi pusat penciptaan nilai-nilai hukum yang sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat modern. Pun, hukum tercerabut dari akarnya, terbuang jauh dari kehidupan sosial karena digembok dalam kotak hampa udara.

Sudah selayaknya hukum diletakkan kembali pada tempat yang semestinya, yaitu dalam konteksnya sebagai alat penciptaan nilai-nilai dan perilaku kebaikan dalam masyarakat. Itu tentunya hanya bisa dilakukan jika fakultas hukum kita merevitalisasi makna pendidikan hukum tersebut secara benar dan komprehensif, tidak sekadar ajang keterampilan logika positivis semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar