Pendidikan dan Rasa Keadilan
Ahmad Baedowi
; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 April 2015
MARI kita tengok secara jernih,
apa komentar para hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang terlibat dalam
urusan hukum ketika suatu perkara telah diselesaikan di persidangan? Semuanya
selalu berdalih, semua proses hukum telah berjalan dengan benar dan mewakili
rasa keadilan pihak-pihak yang terlibat.Namun, mari kita uji ingatan tentang
betapa pedihnya Nenek Minah di Purwokerto yang dituntut pengadilan karena
mencuri tiga buah kakao milik suatu perkebunan di 2009.Pada 2011, seorang
siswa SMK yang mencuri sandal jepit dua orang polisi, dituntut 5 tahun
penjara.
Yang masih hangat ialah
peristiwa Nenek Asyani yang terancam hukuman 5 tahun karena memindahkan
beberapa kayu jati milik Perhutani, sementara ada aparat bernama Labora
Sitorus yang juga ahli dalam memindahkan kayu dari hutan ke tengah kota,
hingga memiliki rekening triliunan malah memperoleh surat pembebasan
sementara. Betapa lucunya hukum di negeri ini. Rasa keadilan yang selalu
digem bar-gemborkan para penegak hukum, justru mati rasa ketika berhadapan
dengan ketidakberdayaan korban. Karena itu, pertanyaan lanjutannya ialah
apakah benar para penegak hukum mempelajari betul arti dan makna `rasa
keadilan' ketika di bangku kuliah? Apakah ada mata kuliah `rasa keadilan'
dalam kurikulum pendidikan hukum kita?
Rasanya sulit untuk menemukan
fakta bahwa para penegak hukum benar-benar telah mempelajari `rasa keadilan'
ketika mereka kuliah. Dalam struktur bangunan pendidikan hukum di Indonesia,
tak ada mata kuliah yang berkaitan dengan `rasa keadilan' di exercise secara kontekstual dalam
perkuliahan mereka. Ini berarti diperlukan review kurikulum hukum di perguruan tinggi secara mendasar,
termasuk menyusun silabus yang terintegrasi dengan sekolah tingkat menengah
dan atas. Saya kira tak ada cara lain untuk mengajarkan sensitivitas anak
agar di masa tuanya memiliki `rasa keadilan' ialah dengan memberikan mereka
pengajaran yang berorientasi kepada lingkungan sekitar mereka yang penuh
ketidakadilan.
Mengajarkan rasa keadilan
Rasa keadilan tak muncul dari
langit dengan tiba-tiba. Perlu proses panjang bagi seseorang untuk mencerna
dan mempelajarinya. Jika kita menengok sejarah Nabi Muhammad SAW yang sering
disebut sebagai nabi yang adil, mungkin tak banyak diceritakan dalam buku
sejarah agama Islam tentang kegemaran Nabi mengunjungi Pasar Al-uqas sebagai
tonggak dasar Nabi mempelajari keadilan dam kejujuran. Di dalam pasar, si
kecil Muhammad sering melihat praktik-praktik ketidakadilan dan
ketidakjujuran para pedagang yang mengorbankan kepercayaan orang lain.Patut
diduga mengapa ketika dewasa, Muhammad dijuluki sebagai al-amin atau orang
yang dapat dipercaya. Itu karena Nabi Muhammad SAW ditempa dengan
kegemarannya mengobservasi pasar sebagai tempat untuk melihat ragam manusia
berinteraksi.
Karena itu, jika kita ingin
mengajarkan rasa keadilan yang erat dengan kejujuran, tak usah ragu untuk
menjadikan pasar sebagai laboratorium sosial bagi sekolah dan perguruan
tinggi, karena di dalamnya banyak sekali terjadi peristiwa sosial, ekonomi,
budaya, agama, hingga budaya yang tak ada dalam buku-buku teks sekolah dan
perguruan tinggi. Sudah terbukti dalam sejarah, bahwa akibat kegemarannya
mengobservasi pasar, Nabi Muhammad SAW tak pernah ragu untuk menunjukkan
sikap tegas dan kejujurannya terhadap keadilan.
Keteladanan Nabi dalam
menunjukkan rasa keadilan terekam secara jelas. Keadilannya dalam memimpin
telah dicatat sebagai untaian butiran mutiara sejarah. Nabi Muhammad SAW
tidak pandang bulu dalam menerapkan hukum dan menegakkan keadilan. Ketika
seorang wanita kaya dan keturunan bangsawan mencuri dengan tegas diputuskan,
wanita itu dihukum potong tangan.Bahkan, ketika famili kerabat wanita itu meminta
tolong kepada Usamah bin Zaid, seorang di antara sahabat yang paling dicintai
Rasulullah SAW untuk mohon keringanan hukuman, beliau pun marah.
Dari peristiwa tersebut,
kemudian Nabi berpidato, “Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya tidak lain yang membinasakan orang-orang
terdahulu sebelum kalian adalah jika ada orang terpandang di antara mereka
mencuri mereka membiarkannya, dan jika orang yang lemah di antara mereka
mencuri mereka menetapkan hukuman atasnya.Demi zat yang Muhammad berada di
tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong
tangannya.“
Keadilan Nabi Muhammad SAW juga
disertai sikap belas kasihan pada satu kondisi dan menerapkan ketegasan di
waktu lain. Dalam Perang Badar, Rasulullah SAW pernah mengampuni seorang
kafir Quraisy bernama Abu Azza Jamahi yang tertawan dan berjanji tidak akan
bergabung kembali dengan pasukan kaum musyrikin menentang Islam. Namun, dalam
Perang Uhud, ia ikut barisan kaum musyrikin dan kembali tertawan. Akhirnya,
beliau pun menjatuhkan hukuman mati untuk Jamahi.
Rasulullah SAW sangat
berhati-hati dan memperhatikan kaumnya dalam memimpin. Ketika meluruskan
barisan menghadapi peperangan, seorang sahabat bernama Sawad bin Ghaziyah
tertonjok perutnya oleh tongkat Nabi. Sawad pun meminta `keadilan' Rasulullah
SAW. “Wahai Rasulullah, engkau telah
menyakitiku dengan tongkatmu. Aku minta pembalasan dari engkau.“ Nabi
Muhammad SAW pun tak segan-segan membuka jubahnya dan menyuruh Sawad membalas
memukulnya. Namun, apa yang terjadi? Sawad memeluk dan mencium pundak
Rasulullah sambil menangis tersedu-sedu.
Contoh dan keteladan seperti
ini penting untuk diingatkan kembali kepada para penegak hukum kita agar
kembali meneladani Nabi Muhammad SAW, karena hidup tak melulu berurusan
dengan aspek materi dan duniawi. Akan ada pertanggung jawaban hakiki yang
akan dimintakan Tuhan terhadap kita semua, yaitu agar kita mampu berbuat dan
kebaikan secara bersamaan. Innallaha
ya'murukum bil `adl wal ihsan, seperti kerap kita dengar dari para khatib
ketika mengakhiri khotbah Jumat. Semoga para penegak hukum kita dapat
mendengar kembali suara hati mereka secara jernih dan jujur, agar rasa
keadilan selalu menjadi bagian paling besar dari para penegak hukum kita
dalam mengambil dan memutuskan sebuah perkara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar