Interupsi Politik Batu Akik
Asep Salahudin ;
Dekan
Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti di
Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS,
06 April 2015
Sudah lebih dari dua bulan masyarakat kita terkena tenung batu
akik. Tampaknya fenomena seperti ini belum hendak berakhir kalau tidak boleh
dikatakan kian menjadi-jadi.
Batu akik digali, dibelah, dihaluskan, digosok, diwatangan, dan
pada akhirnya disematkan di jari. Bukan hanya jari manis, kalau perlu
kelingking, telunjuk, dan jempol sekaligus.
Bukan hanya batu akiknya yang menarik, justru percakapan
tentangnya yang nyaris mengokupasi akal sehat. Tidak ada sebuah pertemuan,
bahkan ketika hendak bersembahyang menuju rumah Tuhan sekalipun kecuali sang
akik terlebih dahulu didiskusikan di "ruang publik" dengan semangat
dan penuh minat.
Bersyukurlah rezim Jokowi. Masyarakat negeri kepulauan ini sudah
tak menghiraukan lagi kenaikan harga bahan bakar minyak, beras yang mencekik,
rupiah yang melemah, imaji pemberantasan korupsi yang kian menyusut. Warga
bangsa lebih tertarik memburu dan membeli batu akik dengan cara musyawarah
mufakat.
Atau sebaliknya, kalau penguasa masih memiliki keajekan nalar,
seharusnya mereka tersinggung sebab rakyatnya ternyata merasa lebih penting
memperhatikan batu akik ketimbang menyimak bualan pemimpinnya. Rakyat merasa
lebih memercayai batu akik ketimbang menyambut positif eksekusi Undang-Undang
Desa yang hendak menebarkan uang miliaran rupiah dan atau apalagi memberikan
sambutan sorak sorai usulan tak alang kepalang Menteri Dalam Negeri untuk menggelontorkan
APBN bagi pembiayaan partai sampai angka menyentuh triliunan rupiah. Juga
merasa tidak penting sama sekali memperhatikan partai yang terkeping akibat
para pengurusnya yang tidak pernah henti bersengketa.
"Counter
culture"
Bagi saya, batu akik pada titik tertentu hadir sebagai counter
culture khalayak atas segenap janji penguasa yang tidak memiliki paralelisme
dengan entitas tindakan politik hariannya. Nawacita kian lamat terdengar
seiring revolusi mental yang kehilangan gema. Program utama memberikan kepastian hukum juga malah menampakkan
gejala kontraproduktif dengan mencuatnya kriminalisasi pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan usulan pemberian remisi kepada koruptor. Atau
gambaran mencolok seorang nenek Asyani yang "mencuri" barang tak
berharga, ia rela menyembah sang hakim yang dengan "tegas" hendak
menegakkan keadilan seperti fotonya yang terpampang di halaman muka harian
Kompas.
Massa dengan kesenangan barunya itu seperti sedang mengolok-olok
kaum penguasa: bahwa ini hari telah kembali ke zaman batu, 7.000 tahun
sebelum Masehi. Orde paleolitikum (mungkin juga mesolitikum, neolitikum, dan
megalitikum) dengan keriuhan logika yang dikedepankan kerumunan manusia
semacam Pithecanthropus erectus, Homo
wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo soloensis.
Semacam "menhir"
(sebuah monumen yang terbuat dari batu) yang menunjukkan alamat
tentang zaman ketika intelektualisme dihinakan, moralitas mengalami defisit,
darurat akhlak terjadi di mana-mana, dan kebencian atas nama agama dirayakan
dengan gempita.
Setiap orde punya bahasa parodinya sendiri dalam
"menertawakan" kekuasaan. Mulai dari bahasa pohon yang dibonsai,
ikan louhan, kembang gelombang cinta, yang kesemuanya nyaris harganya tidak
masuk akal. Masyarakat kita sudah terbiasa membungkus alam pikirannya dalam
balutan ungkapan metaforis, dalam bahasa yang banyak meminjam diksi seputar
flora dan fauna, memilih "komunikasi tinggi" ketimbang
"komunikasi rendah".
Artinya, batu akik pada titik tertentu memiliki interaksi
simbolik dengan kepercayaan yang bersifat perennial-universal tentang
kedatangan Ratu Adil, tetapi dengan memori kolektif yang terbalik. Kira-kira
narasi verbalistiknya adalah "Ketimbang terus menunggu kedatangan Ratu
Adil, mari kita sambut bersama-sama kedatangan sang messianistik batu akik!
Toh, Ratu Adil mempunyai banyak kesamaan dengan karakteristik batu
akik".
Serupa Ratu Adil
Seperti sang Ratu Adil, tidak sedikit masyarakat yang melekatkan
daya mistikal pada batu akik. Bukan saja nama dan usul-usul geografisnya yang
sangat beragam, melainkan juga fungsi dan khasiat yang tersimpan di dalamnya.
Bahkan, hikayat batu akik sejatinya jauh lebih tua daripada usia Republik
Indonesia dan Sumpah Pemuda, lebih berumur ketimbang Serikat Dagang Islam,
Budi Utomo, apalagi perhimpunan ormas berhaluan keras, dan lebih
"berpengalaman" dibandingkan dengan sengkarut kelompok agamawan
memperebutkan bendera Tuhan.
Persis yang dibilang sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Ratu Adil (1984) bahwa Ratu Adil atau Juru
Selamat (mesianisme), Kenabian (prophetisme), penghidupan kembali
(revitalisme) atau menghidupkan kembali (revivalisme) muncul ketika kondisi
masyarakat "mengalami diskriminasi dan penindasan sosial ekonomi yang
tak terkira, saat khalayak tidak mendapatkan jaminan hari depannya".
Seperti juga ditengarai Ir Soekarno dalam sebuah pleidoinya yang disampaikan pada sebuah persidangan
Pengadilan Negeri Bandung tahun 1930:
"Haraplah pikirkan tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat
senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya 'Ratu Adil', apakah sebabnya
sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat.
Apakah sebabnya sering kali kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu
telah muncul seorang 'Imam Mahdi' atau 'Heru Cakra' atau turunan seorang Wali
Sanga. Tak lain tak bukanlah oleh karena hati rakyat yang menangis itu, tak
berhenti-hentinya, tak habis-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan
datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak
henti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu dan
mengharap-harapkan: kapan, kapankah matahari terbit."
Cerita batu akik juga terselip pada riwayat Ratu Adil dalam
ramalan pujangga Jayabaya pada abad XI, ramalan Sabdo Palon masa akhir
Kerajaan Majapahit dan pujangga Ronggowarsito atau juga mungkin dalam Kitab Musarar (kidung karya seorang pujangga
Surakarta yang disusun tahun 1675 Saka atau tahun 1749 Masehi), dan
dalam Kitab Jangka Ratu, sebuah kidung
gubahan seorang panembahan di Madura dengan nama yang tidak terlacak.
Literasi Arab lebih banyak lagi mengupas ihwal batu akik: mulai dari penjelasan
yang bersifat sosiologis, teologis, sampai eskatologis.
Spirit manusia pergerakan
Entahlah! Mungkin inilah yang diperlukan bangsa kita hari ini:
membuat "dolmen", semacam batu besar yang terletak di bawah menhir
untuk menghidangkan sesajen yang dipersembahkan bagi arwah leluhur. Kita perlu
merawat dan menghidupkan lagi spirit manusia pergerakan tentang visi
republikanisme-kebangsaan yang hari ini semakin menjauh dari cita-cita yang
telah ditancapkan mereka.
Batu akik yang sekarang digandrungi massa semestinya dibaca
sebagai sebuah interupsi ideologis-politis tentang pentingnya melakukan
perjanjian kembali dengan manusia pergerakan agar kita tidak terpelanting ke
zaman batu.
Kita perlu menyuntikkan kembali khitah bernegara dengan cara
berbait lagi kepada Bung Karno, seperti ditulis Charil Anwar dalam sebuah
sajaknya: "Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/Aku sudah
cukup lama dengan bicaramu/dipanggang diatas apimu, digarami lautmu/Dari
mulai tgl. 17 Agustus 1945/Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/Aku
sekarang api aku sekarang laut/Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/Di
zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar/Di uratmu di uratku kapal-kapal kita
bertolak & berlabuh." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar