Dakwah Sambil Lalu
Bayu Putra ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 06 April 2015
''DUNIA dakwah di
Indonesia saat ini terlalu liberal.'' Itulah
komentar Guru Besar Ulumul Quran (Ilmu Alquran) Universitas Muhammadiyah
Jogjakarta Prof Yunahar Ilyas dalam menanggapi maraknya paham radikal Islam
yang masuk ke Indonesia. Pandangan tersebut tidak berlaku untuk satu kelompok
tertentu, melainkan seluruh umat Islam di Indonesia.
Jika dicermati, yang dimaksud liberal oleh Prof Yunahar bukan
isi dakwahnya (what), melainkan para juru dakwahnya (who), cara berdakwahnya
(how), lokasi dan waktu dakwah (where, when), serta mengapa dakwah liberal
itu bisa terjadi (why).
Prof Yunahar membandingkan juru dakwah dengan guru TK. Untuk
bisa mendidik anak-anak di TK, seseorang harus punya kualifikasi guru TK.
Sebaliknya seorang juru dakwah tidak memerlukan persyaratan khusus. Dalam
praktiknya saat ini, siapa pun muslim bisa menjadi juru dakwah, dengan dasar
hadis riwayat Bukhari. ''Sampaikanlah dariku (Rasulullah) walau hanya satu
ayat.''
Sejatinya, hadis tersebut menggaungkan kewajiban berdakwah.
Hukumnya adalah fardu kifayah (wajib bagi sebagian orang). Mengapa fardu
kifayah, karena begitu pentingnya urusan dakwah sehingga tidak bisa dilakukan
oleh sembarang orang.
Banyak umat muslim di Indonesia yang lupa bahwa berdakwah itu
sama saja dengan menyampaikan berita. Kalau yang disampaikan hanya sepotong,
yang menerima bisa bingung, tidak mengerti, atau bahkan, yang lebih parah,
tersesat.
Sebagai contoh, seseorang menyampaikan ke tetangganya bahwa dia
melihat peristiwa kecelakaan mobil dengan motor. Apabila hanya itu
informasinya, si tetangga pasti akan kebingungan. Itulah yang disebut sebagai
berita sambil lalu. Sekadar melihat atau tahu kecelakaan, kemudian pergi
untuk menyampaikan.
Begitu pula halnya dengan dakwah. Apabila sang pendakwah hanya
menyampaikan satu ayat tanpa menyertakan penjelasan lebih lanjut dan lengkap,
tidak ada bedanya dengan orang yang menyampaikan info kecelakaan tadi. Itulah
dakwah sambil lalu. Membaca satu ayat atau terjemahan ayat, atau hadis, lalu
disampaikan begitu saja. Semua orang bisa melakukannya. Itulah yang dimaksud
Prof Yunahar sebagai dakwah yang liberal. Siapa saja bisa berdakwah, tidak
peduli yang disampaikan utuh atau berlubang.
Karena itu, kritik dari Prof Yunahar, saya kira, cukup
beralasan. Tidak sedikit orang yang sebenarnya kurang memahami secara utuh
apa yang disampaikan, namun nekat berdakwah. Kalau ditanya lebih jauh,
jawabannya, ''Ya pokoknya begitu,'' atau, ''Saya hanya tahu sebatas itu,''
dan jawaban sejenis. Dakwah pun jadi percuma. Niat awalnya menyampaikan
kebenaran, yang terjadi malah kebingungan.
Parahnya, kondisi itu dibiarkan terus-menerus tanpa ada upaya
mengatasi problem yang ada. Kondisi tersebut dimanfaatkan kelompok-kelompok
pendakwah liberal yang menyampaikan ajaran Islam sambil lalu. Contoh nyata
adalah organisasi ISIS yang akhirnya bisa masuk ke Indonesia.
Isi dakwahnya dominan tentang perang, kebencian, dan membasmi
orang-orang yang tidak sepaham. Cara berdakwahnya pun dengan kebohongan,
bujuk rayu, bahkan paksaan disertai ancaman. Para pendakwahnya mungkin
mengerti keseluruhan isi Alquran dan hadis, namun yang disampaikan hanya
sebagian kecil yang sesuai dengan keinginan dan misi mereka.
Umat Islam yang awam tidak punya kesempatan memahami lebih jauh
karena belajar kepada orang yang tidak seharusnya mengajar. Ketika mencoba
menanyakan apa yang diajarkan, mereka mendapat jawaban yang nyinyir, bahkan
dinyatakan sesat karena dianggap mendebat ayat-ayat Tuhan.
Di sinilah pemerintah harus punya peran. Urusan dakwah yang
menyangkut hajat hidup umat Islam di Indonesia harus benar-benar diatur
secara tegas. Indonesia cukup beruntung meski banyak paham yang berkembang
tidak sampai menimbulkan perpecahan. Organisasi-organisasi Islam bisa hidup
berdampingan dengan mazhab masing-masing yang berbeda.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia,
harus punya andil membina umat Islam Indonesia yang beragam. Salah satu di
antaranya, membuat standar dakwah di setiap organisasi Islam. Kualifikasi
juru dakwah di NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, dan yang lain harus jelas.
Dengan demikian, akan tampak pula siapa yang berhak dan wajib berdakwah
sesuai dengan mazhab yang dianut masing-masing organisasi.
Seperti guru, apabila ingin mengajar di TK, ada kualifikasinya.
Untuk mengajar siswa SD, SMP, dan SMA, ada persyaratannya. Tidak mungkin
kualifikasi guru SD boleh mengajar siswa SMA, apalagi yang tidak punya
kualifikasi sama sekali. Begitu pula, dakwah. Dakwah Islam harus berkualitas,
dimulai dari pengaturan juru dakwah. Apabila itu dilakukan, niscaya
organisasi seperti ISIS akan kesulitan masuk ke alam pikiran umat Islam di
Indonesia.
Itu juga menjadi dorongan bagi umat Islam sendiri untuk lebih
banyak belajar. Jangan cepat puas hanya karena tahu satu ayat. Serap
informasi dari ayat itu secara utuh, baru disampaikan. Ulama-ulama zaman
dahulu pun sangat berhati-hati dalam berdakwah. Meski paham betul ilmunya,
ketika ditanya suatu perkara, dia menjawab, ''Saya diskusikan sejenak dengan
ulama B,'' karena khawatir menyesatkan.
Jangan lagi ada umat yang hanya tahu sedikit lalu menyampaikan
dakwah secara sembrono kepada keluarga atau kawannya. Kita sudah melihat
banyak dampak buruk berita yang dibuat sambil lalu. Jangan sampai dakwah
sambil lalu membuat umat kebingungan dan tersesat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar