BBM
dan Visi Pemerintah
Arifin SJ ; Managing Director Centrum Advisory Group
|
REPUBLIKA, 19 Mei 2015
Peluncuran produk baru
Pertamina, BBM Pertalite, akhirnya ditunda. Padahal, sebelumnya produk itu
direncanakan mulai beredar Mei ini. Penundaan ini disebabkan belum keluarnya
izin dari pemerintah dan DPR.
Setidaknya, ada dua
kekhawatiran yang dimunculkan terkait keberadaan Pertalite. Pertama dan
utama, Pertalite dicurigai akan menggantikan Premium. Kedua, belum siapnya
infrastruktur untuk penerapan produk baru ini.
Masalah yang lebih
utama adalah persoalan harga Pertalite yang dipatok Rp 8.000 - Rp 8.300 per
liter. Harga ini lebih mahal Rp 900 dibandingkan harga Premium. Bahkan,
harganya cenderung mendekati Pertamax, Rp 8.600 per liter. Sejumlah pihak
khawatir—lebih tepatnya mencurigai—bahwa Pertalite hanya akal-akalan
Pertamina untuk menghilangkan Premium dari pasaran.
Meskipun sebenarnya,
Pertamina dan pemerintah sudah berkali-kali menjamin Premium tetap akan ada
di pasaran dan Pertalite bukanlah pengganti Premium, melainkan diversifikasi
produk yang memberikan lebih banyak tawaran kepada konsumen.
Harga BBM adalah
persoalan yang sensitif karena memiliki multiplier effect yang langsung dapat
memengaruhi daya beli masyarakat. Kenaikan BBM selalu menjadi isu tidak
populer yang memojokkan pemerintah. Apalagi setelah pencabutan subsidi
Premium Januari lalu, pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan alibi
penghematan devisa untuk setiap isu kenaikan harga bensin.
Pertalite yang
beberapa minggu ini menjadi kontroversi adalah bensin dengan RON (kadar
oktan) 90. Jenis ini merupakan pencampuran antara nafta yang memiliki RON 70
dengan High Octane Mogas Component (HOMC) yang memiliki RON 92 plus zat
aditif EcoSAVE. Sederhananya, Pertalite adalah blending nafta dan Pertamax.
Dilihat dari kualitas, Pertalite adalah produk yang berada di antara Premium
dan Pertamax. Sementara, Premium hanya memiliki RON 88, pengaruh Pertalite
tentu lebih baik terhadap kinerja mesin di mana pembakaran dapat terjadi lebih
sempurna sehingga mengurangi gas buangan yang mencemari udara.
Premium sesungguhnya
nyaris tidak lagi beredar di negara manapun karena dianggap produk yang
kotor. Mobil-mobil keluaran baru menghendaki bensin dengan RON lebih tinggi.
Apalagi, Indonesia sendiri sejak 2007 telah menerapkan standar Euro 2 yang
menghendaki bensin lebih bersih. Satu-satunya alasan Premium tetap menjadi
andalan di Indonesia karena harganya yang murah.
Secara objektif,
Indonesia tidak mungkin dapat bertahan lebih lama menggunakan Premium. Hal
ini jelas akan bertentangan dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor.
Selain itu, semakin kencangnya isu lingkungan menyebabkan dunia mencari
alternatif bahan bakar selain Premium. Oleh karena itu, jika masalah harga
yang dipersoalkan, terlebih dulu harus ditilik masalah ekonomi yang lebih
mendasar, apakah produksi BBM kita selama ini telah efisien? Faktanya, BBM
murah ini ternyata tidak seluruhnya diproduksi sendiri oleh Indonesia.
Sosialisasi Pertalite
oleh Pertamina memberi isyarat bahwa jenis BBM ini akan diproduksi di
Indonesia dengan memanfaatkan stok nafta yang berlimpah dan praktis tidak
memiliki harga. Namun, pertanyaan mendasarnya, jika diproduksi sendiri dengan
memanfaatkan nafta yang murah, mengapa harga Pertalite bisa lebih mahal dari
Premium yang harus diimpor? Pertamina wajib menjelaskan hal ini secara
transparan. Jika harga Pertalite sama atau sedikit di atas harga Premium,
semua kontroversi ini dipastikan segera akan lenyap ditelan udara.
Sejatinya, persoalan
harga Premium, Pertalite, maupun Pertamax tidak akan menjadi masalah jika
Indonesia memiliki kilang minyak yang cukup. Pemerintah sendiri agaknya
semakin menyadari pentingnya pembangunan kilang baru di dalam negeri.
Terbukti pada 18 April 2015 lalu, salah satu butir kesepakatan Oil and Gas
Leaders Meeting adalah pemerintah bersepakat untuk menugaskan Pertamina dalam
rencana pembangunan empat kilang minyak di masa depan. Sayangnya, hingga kini
payung hukum untuk penugasan tersebut belum kunjung terealisasi.
Dengan jumlah kilang
yang memadai, seluruh produksi BBM dapat dilakukan di dalam negeri. Melalui
pengawasan dan efisiensi yang tinggi, seluruh persoalan harga akan menemukan
solusinya sendiri. Pemerintah wajib memperhatikan persoalan ini mengingat BBM
merupakan isu yang sangat sensitif dan kebijakan ketahanan energi akan tetap
menjadi hal yang strategis sampai kapan pun. Pemerintah, dalam konteks ini,
tidak boleh sekadar melempar tanggung jawab yang menyusahkan Pertamina.
Saat ini, kebutuhan
BBM nasional mencapai 1,5 juta-1,6 juta barel per hari, sementara kilang kita
hanya sanggup memproduksi paling besar 1,2 juta barel per hari. Sisanya, 300
ribu-400 ribu barel minyak per hari masih harus diimpor. Terdapat kebutuhan
nyata untuk menambah jumlah kilang. Namun sayangnya, sejak 1995 pemerintah
tidak pernah lagi membangun kilang baru (setelah Balongan).
Terdapat banyak
keluhan bahwa investasi kilang kurang menarik karena marginnya kecil. Namun,
dengan mempertimbangkan strategisnya persoalan ini, pemerintah seharusnya
melihat masalah ini dalam kerangka dan benefit jangka panjang. Bukan hanya
konteks untung-rugi jangka pendek.
Pada 2009, pemerintah
telah melansir kebijakan untuk membangun kilang di Banten dan Tuban, Jawa
Timur. Hingga saat ini, praktis tidak ada kemajuan berarti. Rata-rata
masalahnya karena pemerintah tidak dapat mengakomodasi keinginan investor
yang menghendaki tax holiday lebih dari 15 tahun. Sementara, PP No 62 Tahun
2008 menggariskan insentif fiskal tidak boleh lebih dari 10 tahun.
Terhadap persoalan
ini, pemerintah seharusnya berani mengambil risiko dengan mempertimbangkan
kepentingan nasional yang sifatnya jangka panjang. Mungkin saja sebuah
kebijakan dinilai tidak populer dalam waktu 5-10 tahun ke depan, tapi justru
akan dipuji sebagai hal yang sangat positif 20 tahun mendatang. Kebijakan
visioner pemerintah dalam kerangka ketahanan energi nasional lebih dibutuhkan
dibandingkan sekadar kontroversi Pertalite. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar