Keraton
(Belum) Hamil Tua
Anas Urbaningrum ; Pengamat Politik
|
KORAN SINDO, 28 Mei 2015
Salah satu isu pokok
penyebab perselisihan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah
dinobatkannya GKR Pembayun sebagai putri mahkota bergelar GKR Mangkubumi
Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama Mangkubumi adalah nama
Sultan Hamengku Buwono X sebelum diwisuda sebagai putra mahkota dan identik
dengan nama pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Keseriusan Hamengku
Buwono X menyiapkan putrinya disimbolkan dengan duduknya GKR Mangkubumi di
Watu Gilang, bekas singgasana pendiri Mataram Panembahan Senopati. Meskipun
Sultan tidak menyebut secara eksplisit dan GKR Mangkubumi menyatakan ”ojo
nggege mongso” (jangan mendahului sesuatu sebelum waktunya), persiapan
suksesi sudah terlihat nyata.
Soalnya, sejarah
Kesultanan Yogyakarta adalah sejarah kekuasaan laki-laki. Belum pernah ada
Raja Mataram perempuan, sejak didirikan oleh Panembahan Senopati di Kotagede
hingga sekarang. Seluruh rangkaian sejarah Mataram adalah tentang kekuasaan
raja, bukan ratu. KGPH Yudhaningrat, salah satu adik Hamengku Buwono X, menyatakan,
”Memaksakan GKR Mangkubumi menjadi putri mahkota akan menghilangkan dinasti
Hamengku Buwono yang selama ini memimpin Keraton Yogyakarta. Pasalnya,
Keraton Yogyakarta melanjutkan khalifah Mataram yang berdasar pada nasab
patriarki.” Bahkan Sultan yang lain, KGPH Hadiwinoto, berani menyatakan bahwa
Sabda Raja dan Dawuh Raja batal demi hukum.
Ratu dalam Sejarah
Sejarah mencatat Ratu
Shima memerintah Kerajaan Kalingga di sekitar Jepara, Jawa Tengah, pada abad
ke-7. Ratu Shima dikenal tegas dan adil dalam menegakkan hukum dan
menjalankan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya Kalingga mengalami
kemajuan dan kemakmuran.
Dalam sejarah
Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, tersebutlah nama Ratu
Tribhuwana Tunggadewi. Menyusul kematian Raja Jaya negara yang tidak
mempunyai keturunan, tahta diserahkan kepada istriRaden Wijaya, Gayatri.
Tetapi, karena Gayatri sudah menjadi biksuni, tahta kemudian diserahkan
kepada putrinya, Dyah Gitarja, yang setelah naik tahta bergelar Tribhuwana
Wijayatunggadewi pada 1329.
Meski selama
kekuasaannya ada beberapa pemberontakan, Tribhuwana dibantu Patih Gadjah
Mada–berhasil memajukan dan bahkan memperluas wilayah kekuasaan Majapahit.
Setelah Tribhuwana lengser (1351), anaknya, Hayam Wuruk, melanjutkan kekuasaan
dan sukses mencapai zaman keemasan. Hayam Wuruk wafat pada 1389, tongkat
kekuasaan diberikan kepada putrinya, Kusumawardhani, meskipun pemerintahan
dijalankan oleh suaminya, (”Bapak Negara”) Wikramawardhana. Jadi,
pemerintahan Kerajaan Majapahit pada abad ke- 14 sudah mengenal kepemimpinan
perempuan, sekitar tujuh abad setelah Ratu Shima berkuasa di Kerajaan
Kalingga.
Dalam kebudayaan
berbeda, sejarah ratu dapat ditemukan di Aceh pada abad ke-17. Pascakematian
Sultan Iskandar Tsani terjadilah perdebatan tentang siapa penggantinya.
Secara adat dan agama, ada tantangan berat terhadap kehadiran pemimpin
perempuan, tetapi atas pengaruh ulama besar Syiah Kuala diangkatlah
Safiatuddin (istri Iskandar Tsani) sebagai sultanah. Syiah Kuala berperan
sebagai penasihat kerajaan, Kadi Malikul Adil. Setelah Safiatuddin, adatiga
perempuan menjadi sultanah yakniNaqiatuddin, Zakiatuddin, dan Kamalat Syah.
Sejarah empat sultanah ini terjadi pada periode 1641-1699. Ini sejarah
terobosan kepemimpinan perempuan di tengah dominasi tradisi laki-laki yang
kuat secara budaya dan agama.
Pemerintahan ratu juga
ditemukan di Kesultanan Bima. Pengganti Sultan Abdul Qadim Ma Waa Taho yang
memerintah 1742-1773 adalah Sultanah Kumalasyah (Kumala Bumi Partiga) yang
memegang tahta pada 1773-1795. Ratu Bima ini akhirnya dibuang oleh Inggris ke
Sri Lanka hingga mangkat.
Di Kerajaan Bone
jumlah ratu lebih banyak lagi. Beberapa nama ratu yang bisa disebut adalah We
Banri Gau Arung Majang, We Tenri Pattuppu, We Batari Toja Daeng Talaga, We
Tenri Waru Pancai Tana, We Fatimah Banrigau, Sultanah Salima Rajiatuddin, dan
Sultanah Zainab Zakiatuddin. Nama-nama ratu tersebut memerintah di Bone, di
antara raja dan sultan, pada abad ke-15 sampai abad ke-19.
Di Kesultanan
Yogyakarta Kerajaan Mataram Islam yang bersistem patriarki sudah pernah ada
preseden perempuan sebagai wali Sultan. Ketika Hamengku Buwono V naik tahta
dalam usia balita, ada empat orang wali Sultan yang ditunjuk yakni Ratu Ageng
(nenek Sultan), Ratu Kencono (ibu Sultan), Mangkubumi, dan Diponegoro. Ratu
Ageng dan Ratu Kencono bertugas mendidik dan membesarkan Sultan hingga
dewasa, sedangkan Mangkubumi dan Diponegoro menjalankan pemerintahan. Namun,
tugas manajemen pemerintahan sering diintervensi Patih Danurejo IV atas
sokongan Ratu Kencono. Inilah yang menjadi salah satu pemicu perlawanan Diponegoro.
Lahirkah Ratu Baru?
Jika tidak ada
halangan, putri mahkota sekarang adalah raja–tepatnya ratu–berikutnya.
Praktis satu kaki Pembayun sudah bergerak menuju tahta Keraton Yogyakarta.
Meski demikian, kaki satu lagi masih ”terikat” sejumlah tantangan.
Tantangan pertama dari
internal Keraton sendiri. Apakah para adik Sultan Hamengku Buwono X akan
berhasil dirangkul untuk menerima Dawuh Raja? Jika persuasi Sultan sukses,
jelas ini akan melempangkan jalan bagi lahirnya Ratu Mataram. Jika tidak
berhasil, implikasi politik dari reaksi dan penolakan keluarga bisa menjadi
masalah yang tidak sepele.
Atas nama
mempertahankan tradisi, preseden suksesi masa silam bisa diangkat kembali
oleh para adik laki-laki Hameng Kubuwono X. Dalam sejarah Keraton pernah
terjadi suksesi dari Hamengku Buwono V kepada adiknya, GRM Mustojo, untuk
diangkat menjadi Hamengku Buwono VI. Sementara di Kasunanan Surakarta juga
pernah terjadi suksesi dari Pakubuwono VI kepada pamannya sebagai Pakubuwono
VII dan kemudian dari Pakubuwono VII kepada kakaknya untuk bertahta sebagai
Pakubuwono VIII. Jauh sebelumnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadi raja
setelah menggantikan adiknya, Adipati Martapura.
Tantangan kedua datang
dari UU Keistimewaan Yogyakarta. Diatur secara jelas di dalam Pasal 18 ayat
1, UU No 13 Tahun 2012 bahwa gubernur dan wakil gubernur yang diamanahkan
kepada Hamengku Buwono dan Paku Alam adalah laki-laki. UU tidak memberi ruang
opsi perempuan. Perda yang disahkan DPRD DIY akhir Maret juga menegaskan
perintah UU. Kompleksitas politik akan lahir jika Keraton Yogyakarta dipimpin
perempuan ketika dihadapkan dengan aturan di dalam UU tersebut. Masalah ini
hanya akan bisa diselesaikan jika UU Keistimewaan Yogyakarta direvisi. Apakah
revisi akan mendapatkan dukungan keluarga Keraton, publik, dan DPR?
Tantangan ketiga
berasal dari publik. Pemimpin Keraton juga pemimpin bagi masyarakat
Yogyakarta modern dan majemuk. Meskipun secara tradisi-kultural tidak mudah
rakyat Yogyakarta menerima kehadiran seorang ratu, tetapi zaman sudah bergerak
dan membawa banyak perubahan pengertian. Tafsir budaya Jawa tentang perempuan
sebagai ”konco wingking” (teman di belakang–rumah) tidak lagi ketat dan
keras. GKR Mangkubumi juga diuntungkan
oleh perkembangan konstruksi teologis Islam tentang kepemimpinan yang makin
cair dari bias gender. Penolakan terhadap pemimpin perempuan tidak akan
menjadi arus utama. Dalam konteks perubahan konstruksi berpikir Islam-Jawa
itu, dikotomi antara kehadiran raja atau ratu cenderung tidak lagi menonjol.
Yang lebih dianggap penting adalah apakah pemimpin itu diterima oleh publik
dan cakap bekerja.
Tentu saja
kompleksitas adat, tradisi, politik, dan bahkan mitos akan tetap menyertai
proses suksesi di Keraton Yogyakarta. Apakah akan lahir Ratu baru dan
bagaimana proses kelahirannya, jelas akan menjadi perhatian publik. Yang
jelas Keraton Yogyakarta memang sedang ”hamil”. Apakah tanda-tanda ini akan
mengonfirmasi garis tangan GKR Mangkubumi? Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar