Makna
Pengakuan Vatikan atas Palestina
Tom Saptaatmaja ; Alumnus St. Vincent de Paul
|
KORAN TEMPO, 27 Mei 2015
Vatikan secara resmi
mengakui negara Palestina dalam perjanjian baru pada Rabu, 13 Mei 2015. Perjanjian itu merupakan dokumen hukum
pertama antara Takhta Suci dan negara Palestina, serta merupakan pengakuan
diplomatik resmi bahwa negara Palestina memang ada (Tempo.co,13/5).
Dengan pengakuan
tersebut, Vatikan ikut bergabung dengan 135 negara lainnya yang juga telah
mengakui negara Palestina. Meski membuat berang Israel, bukan berarti Vatikan
mencampakkan negara itu.
Pengakuan Vatikan
mengacu pada solusi yang ditawarkan PBB untuk mengakhiri konflik
Israel-Palestina. Seperti diketahui, pada 29 November 1947, PBB menerapkan
resolusi 181 (II), atau yang dikenal dengan nama Partition Resolution.
Resolusi ini mengatur pembagian Palestina menjadi dua negara, yakni negara Israel dan Palestina,
dengan Yerusalem sebagai "corpus separatum" kedua wilayah.
Mempertimbangkan Israel sudah menjadi negara yang diakui oleh Vatikan pada
1983, sedangkan Palestina belum merdeka, Vatikan tergerak untuk memberikan
pengakuan.
Apalagi,
Vatikan-Palestina sebenarnya sudah lama menjalin relasi dan komunikasi. Ketika masih bernama
"Palestine Liberation Organization"
atau PLO, yang dicap sebagai
organisasi teror oleh Israel dan Barat, Vatikan berani mengakui PLO pada 1984. Pemimpin PLO, Yasir
Arafat, dengan penasihat pribadinya,
pastor Ibrahim Iyad, biasa bertemu dengan
paus, dari Paus Yohannes Paulus II hingga Paus Benediktus XVI. Kini,
Paus Fransiskus juga kerap bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas,
yang menjadi penggganti Arafat.
Itu makna di level
politik. Pada level agama, Takhta Suci, sebagai pusat bagi 1,2 milyar umat
katolik di seluruh dunia, juga sadar akan pentingnya Palestina. Sebab, Yesus
lahir di Betlehem 2.000 tahun silam. Saksi pertama kelahiran itu termasuk
orang-orang Palestina. Umat kristiani Palestina, yang tinggal ratusan ribu
orang karena jutaan lainnya terusir dari tanah leluhurnya, punya arti
signifikan bagi Vatikan. Di Palestina
juga ada gereja kelahiran Yesus (Nativity),
yang sudah diakui UNESCO sebagai warisan dunia.
Seiring dengan
pengakuan atas negara Palestina, Paus Fransiskus juga mengkanonisasi dua
orang Palestina menjadi orang suci (santa), yakni Suster Mariam Bawardy
(1846-1878) dan Suster Marie Alphonsine Danil Ghattas (1843-1927), pendiri
Kongregasi Suster-suster Rosario Mahakudus. Keduanya mengarah ke Palestina
(Arab).
Di atas semua itu,
Vatikan juga jelas amat berkepentingan dengan Yerusalem (Al-Quds dalam bahasa
Arab atau Yerushalayim dalam bahasa Ibrani) agar menjadi kota terbuka,
khususnya bagi umat Kristen dan Islam. Sebab, Yerusalem adalah kota suci bagi
umat Islam karena ada Dome of the Rock
dan Masjid Al-Aqsa. Di kota
berpenduduk 724 ribu jiwa dengan luas 123 kilometer persegi itu, juga ada
kompleks Makam Kudus yang disucikan umat Kristen.
Kita tahu bahwa
pemerintah Israel amat ngotot menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota resminya.
Sikap ngotot ini bisa saja kelak
menutup akses ke Yerusalem bagi umat Kristiani atau Islam. Padahal,
PBB sudah menyatakan Yerusalem sebagai kota internasional. Kita berharap saja
pengakuan Vatikan kian mempercepat
kemerdekaan penuh bagi Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar