Involusi
Gelar Kesarjanaan
Saifur Rohman ; Pengajar Program Doktor di Universitas
Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 27 Mei 2015
Selasa (19/5) pekan
lalu pemerintah mengumumkan ada 18 perguruan tinggi yang telah menerbitkan
ijazah palsu. Perguruan tinggi tersebut berada di Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, dan Kupang.
Kategori palsu,
menurut pemerintah, adalah ijazah yang diterbitkan perguruan tinggi tanpa
menjalani proses pembelajaran yang dipersyaratkan oleh perundang-undangan.
Setelah menyetorkan dana dengan nominal tertentu, perkuliahan hanya dilakukan
satu sampai dua tahun untuk memperoleh ijazah sarjana.
Jika itu gambaran
puncak gunung es, bagaimana dengan perguruan tinggi di daerah-daerah
lain? Sudah berapa banyak ijazah palsu
yang beredar di masyarakat? Apa dampak pemanfaatan ijazah palsu dalam
penyelenggaraan pembangunan?
Perubahan tanpa perbaikan
Sudah menjadi rahasia
umum, di tengah-tengah masyarakat, banyak beredar ijazah palsu dalam berbagai
jenis. Pertama, ada ijazah palsu tanpa universitas. Ijazah ini diperoleh
setelah membayar uang dan membuat makalah semampunya. Tidak usah kaget jika
ada orang kaya memiliki gelar doktor, doktor honoris causa, atau bahkan
profesor.
Kedua, ijazah yang
benar-benar palsu. Ijazah ini jelas memalsukan stempel, logo, berikut tanda
tangan pejabat dalam sebuah lembaran kertas yang dicetak mirip asli. Ijazah
ini tidak ubahnya uang palsu.
Ketiga, ijazah aspal
atau asli tetapi palsu. Ijazah aspal adalah ijazah asli yang diterbitkan oleh
perguruan tinggi terakreditasi, tetapi proses pembelajaran mengalami
"penyingkatan-penyingkatan" sehingga dianggap sudah memenuhi
standar proses pembelajaran.
Dalam praktik
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, pelbagai perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah sebetulnya jatuh pada involusi. Involusi merupakan
perubahan dalam tatanan sosial, tetapi tidak membawa pada perbaikan. Involusi
adalah perumitan tanpa kualitas. Involusi sama dengan menyelesaikan masalah
dengan masalah baru.
Relevansinya, hadirnya
naskah perundang-undangan adalah bagian program rekayasa pendidikan tinggi
yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan mutakhir, tetapi
ternyata menambah beban pendidikan. Jika diperinci, selama 15 tahun terakhir
ada lebih dari 30 naskah perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan
di Indonesia, dan 15 di antaranya adalah perundang-undangan yang khusus
mengangkat pendidikan tinggi. Selama itu pula, kualitas pendidikan tinggi
bukan mengalami peningkatan.
Sebagai ilustrasi,
perguruan tinggi yang menerbitkan ijazah mestilah berlindung di bawah payung
PP No 4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan
Perguruan Tinggi. Hal itu meliputi rencana perguruan tinggi, ketersediaan,
dan mekanisme pelaksanaan. Dalam pelaksanaannya, para pengelola menerapkan
secara ketat PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Ketika terjadi
pemalsuan ijazah, pemerintah mempermasalahkan standar proses. Jika dilihat
secara umum, standar proses meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan
pengawasan proses pembelajaran. Dalam perencanaan dikenal dengan istilah
satuan acara perkuliahan. Kurikulum di setiap pendidikan tinggi disesuaikan
dengan visi satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Hasil dari
standar proses itu dapat diukur melalui PP No 8/2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia. Isinya tentang standar hasil pendidikan pada
setiap pembelajaran. Contoh, jika seorang lulus sarjana, ia harus mampu
memecahkan masalah dan merancang pemecahan sesuai dengan bidang ilmunya.
Demikian pula jika seseorang master mampu memecahkan masalah dan menghasilkan
perencanaan melalui berbagai perspektif. Seorang doktor mesti mampu
menghasilkan sesuatu yang baru bagi kemanusiaan.
Perbedaan kinerja
Faktanya, semua
mekanisme perundang-undangan itu tidak berarti banyak. Sebab, di sisi lain,
tidak ada perbedaan signifikan antara pemegang ijazah asli dan palsu.
Mekanisme perundang-undangan tidak berhasil membuktikan betapa ijazah itu
akan membawa konsekuensi terhadap kinerja individu. Pada praktiknya, kinerja
seorang pegawai tetaplah tidak ditentukan oleh ijazah, tetapi pada kualitas
kinerja. Ijazah hanyalah formalitas yang berarti secara administratif, tetapi
tidak secara produktif.
Tidak aneh jika tindak
kejahatan intelektual semakin marak. Adanya kasus plagiasi karya tulis yang
melibatkan para guru besar dan doktor, karya ilmiah pesanan, pembajakan,
dosen sebagai pelaku tindak pidana korupsi, hingga kasus-kasus kejahatan
intelektual lainnya telah cukup sebagai bukti tentang masalah-masalah yang
semakin membelit perguruan tinggi kita.
Ini semua salah
pemerintah. Pertama, pemerintah terlalu menekankan pada predikat dari
perguruan tinggi. Hal itu dibuktikan dengan surat izin bagi setiap perguruan
tinggi melalui akreditasi. Di perguruan tinggi mana pun di Indonesia, para
dosen akan dipusingkan dengan borang akreditasi yang sesungguhnya tidak
banyak berguna. Pengisian formulir yang disediakan oleh Badan Akreditasi
Nasional membawa masalah terhadap banyak hal, mulai dari ujian ketelitian
dosen yang didudukkan sebagai tenaga administrasi, pengada-adaan fasilitas,
media pembelajaran, hingga menulis kegiatan-kegiatan ilmiah yang tidak pernah
ada.
Kedua, penilaian
pegawai didasarkan pada gelar. Dalam berbagai instansi pemerintah, kenaikan
kinerja dinilai berdasarkan ijazah yang diperoleh. Sebagai ilustrasi, seorang
pegawai negeri sipil lulusan SMA yang sudah lebih dari 20 tahun bekerja
tiba-tiba diharuskan memiliki ijazah sarjana hanya karena tuntutan
standardisasi. Padahal, untuk belajar lagi, seorang tersebut haruslah
memiliki kesiapan kognitif, perilaku, dan emosional.
Ketiga, dalam
perspektif proses pendidikan, lahirnya perundang-undangan itu tidak membawa
dampak terhadap perbaikan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Peraturan
tentang pendidikan tinggi akhirnya jatuh pada beban. Pengubahan dalam proses
pembelajaran yang didasarkan pada perkembangan teknologi, misalnya, tidak
selalu membawa pada perbaikan kualitas pembelajaran. Bukti, pembelajaran
melalui jaringan (e-learning) hanya menjadi isu-isu pembelajaran tanpa
praktik yang memadai.
Keempat, tidak ada
mekanisme hukum yang efektif untuk tindak kejahatan di bidang pendidikan.
Karena itu, tidaklah aneh jika temuan pelbagai tindak kejahatan itu tidak
akan memperoleh tindak lanjut dari aparat penegak hukum, apalagi sampai pada
tingkat tuntutan dan vonis di pengadilan. Diakui atau tidak, selama ini sulit
menemukan seorang yang dipidana karena menyandang gelar palsu.
Tidak sulit menyatakan
bahwa fenomena gelar palsu bagi pemerintah sama saja menepuk air di dulang,
tepercik muka sendiri. Ketika peningkatan kinerja tidak lagi diukur oleh
gelar kesarjanaan, pada saat yang sama diperoleh kenyataan bahwa
penyelenggaraan pendidikan tinggi mengalami involusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar