Melawan
Suap Politik dalam Pilkada
Abhan Misbah ; Ketua
Bawaslu Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA MERDEKA, 25 Mei 2015
TAHUN
2015 merupakan tahap pertama pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara serentak. Dikatakan tahap pertama karena ada tahap-tahap berikutnya
sampai dengan diadakannya pilkada serentak secara nasional tahun 2027. Namun
ada satu hal yang menjadi kekhawatiran beberapa pihak, termasuk pengawas
pemilihan, yaitu ketiadaan sanksi hukum bagi praktik suap politik, yang
populer disebut politik uang atau money
politics, dalam UU Pilkada.
Memang
terdapat larangan bagi partai politik menerima imbalan pada proses pencalonan,
yang sering disebut “mahar”. Sebaliknya, tiap orang juga dilarang memberi
ìmaharî kepada partai politik. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 47 UU
Nomor 1 Tahun 2015. Selain itu Pasal 73 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015
menyebutkan ”calon dan/atau tim
kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya
untuk memengaruhi pemilih”. Yang jadi persoalan adalah ketiadaan sanksi
pidana atas pelanggaran Pasal 47 dan Pasal 73 Ayat (1) tersebut. Secara
sepintas bisa disimpulkan tidak ada hukuman bagi mereka yang melakukan suap
politik pada pilkada nanti.
Berkaca
pada pengalaman-pengalaman pilkada lalu atau pemilu, tidak satu pun yang
bebas dari praktik suap politik. Ini bisa kita mencermati dari sengketa
pilkada yang diputuskan Mahkamah Konstitusi, setidak-tidaknya dari beberapa
sengketa pilkada di wilayah Jawa Tengah tahun 2010-2012. Dari sejumlah sengketa
tersebut, salah satu alasan yang digunakan tiap pemohon adalah praktik suap
politik atau politik uang. Terkait dengan kekosongan aturan sanksi bagi
praktik politik uang, sebenarnya terdapat asas dalam ilmu hukum lex specialis derogate legi generalis,
yaitu hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Bila hukum yang khusus tidak mengatur maka berlakulah hukum yang lebih umum
tersebut. Dalam konteks ini, saya menilai UU Pilkada merupakan ketentuan
khusus dari KUHP mengingat UU Pilkada di dalamnya juga mengatur tentang
ketentuan pidana. Ketika UU Pilkada tidak mengatur tentang sanksi suap
politik maka sesuai dengan penerapan asas tersebut, kita bisa merujuk KUHP.
Pasal
149 Ayat (1) KUHP menyebutkan, ”barang
siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak
pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu
lima ratus rupiah.” Adapun Pasal 149 ayat (2) KUHP menyebutkan, ìpidana
yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau
janji, mau disuap.î Jika Pasal 149 Ayat (1) menjerat pemberi maka ketentuan
Pasal 149 Ayat (2) menjerat penerima.
Padahal
ketentuan yang menjerat penerima itu justru tidak pernah ada dalam
perundang-undangan pemilu. Jadi meskipun dalam UU Pilkada tidak diatur
tentang praktik politik uang, ketentuan dalam KUHP sebenarnya dapat digunakan
untuk menjerat siapa saja yang melakukan dalam pilkada saat ini. Dengan
demikian masih ada upaya bagi kita untuk menyelamatkan pilkada dari praktik
suap politik. Meskipun sejatinya untuk larangan memberi atau menerima ìmaharî
tetap terdapat kekosongan sanksi pidana.
Kekosongan Sanksi
Namun
konsekuensi dari penggunaan KUHP adalah tiap laporan/temuan terkait dengan
praktik suap politik mesti dilaporkan langsung ke polisi dan penanganannya
berpedoman pada KUHAP.
Hal ini
berbeda dari ketentuan pidana praktik suap politik yang diatur dalam UU
Pilkada, yang penanganannya dilakukan terlebih dulu oleh pengawas pemilihan.
Permasalahannya, apakah aparat kepolisian mengetahui perihal kekosongan
sanksi pidana bagi praktik suap politik dalam UU Pilkada? Jika telah
mengetahui, apakah mau menerima dan menerapkan asas lex specialis derogate legi generalis dan menindak pelaku suap
politik? Berkait persoalan itu, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan
pengawas pemilihan. Pertama; menjelaskan kepada masyarakat perihal kekosongan
sanksi pidana bagi praktik suap politik dalam UU Pilkada.
Ini
perlu dilakukan agar masyarakat tidak menyalahkan pengawas pemilu ketika
tidak bisa menindaklanjuti laporan. Kedua; berkoordinasi dengan polisi sedini
mungkin dan secara intensif mendorong penggunaan KUHP untuk enindak praktik
suap politik dalam pilkada. Ketiga; mengarahkan pelapor dugaan praktik suap
politik untuk melapor ke polisi dan membantu polisi untuk menindaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar