Memperkukuh
Pilar Keamanan Pangan
Posman Sibuea ; Guru Besar Ilmu Pangan
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo
Thomas SU Medan
|
MEDIA INDONESIA, 26 Mei 2015
BEBERAPA hari belakangan ini, media massa
gencar memberitakan penemuan beras bodong (palsu) yang tidak layak konsumsi.
Beras asal Tiongkok itu–dipastikan mengandung polivinil klorida–awalnya di
temukan di daerah Bekasi, kemudi an kini diduga mulai menyebar ke sejumlah
wilayah di Tanah Air. Meski penjelasan tentang seluk-beluk pembuatannya sudah
banyak diberitahukan di media massa, isunya tetap meninggalkan pertanyaan,
apa tujuan di balik pembuatan beras jadi-jadian ini?
Motif ekonomi untuk mencari keuntungan diduga
melatarbelakanginya, mengingat masyarakat Indonesia termasuk salah satu
pengonsumsi beras tertinggi di dunia. Untuk memasok kebutuhan yang tinggi
ini, sejumlah importir ilegal kerap mempermainkan harga beras guna meraup
untung besar. Beberapa waktu lalu ditemukan beras medium asal Vietnam di
sejumlah pasar lokal meski saat itu pemerintah tidak membuka pintu impor
beras medium (Media Indonesia, 23/5). Walaupun awalnya bermotif ekonomi,
pemalsuan beras dengan menambah bahan yang tidak sesuai standar keamanan
pangan (non-food grade), salah
satunya plastik, berdampak buruk terhadap kesehatan, yakni dapat menyebabkan
sakit perut dan efek jangka panjangnya menimbulkan kanker.
Bentuk kejahatan
Seandainya kita lebih
rajin mengelilingi sejumlah pasar tradisional niscaya tidak sulit menemukan
makanan selain beras yang menggunakan pengawet formalin, boraks, dan bahan
pewarna tekstil. Makanan beracun acap menyerbu kehidupan kita. Ini ialah
bentuk kejahatan di balik bisnis makanan yang semakin kerap muncul ke
permukaan.
Penggunaan bahan berbahaya ke dalam makanan
sebenarnya sudah muncul sejak 1980-an. Ironisnya belum ada tindakan tegas
yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kejahatan itu, mungkin karena
konsumen tidak tampak berteriak kesakitan dan langsung tewas seperti korban
serpihan bom teroris, sehingga pemerintah membiarkan anak bangsa ini tetap
mengonsumsi makanan beracun untuk kemudian mati secara perlahan.
Foodborne disease-istilah yang
digunakan untuk menjelaskan penyakit yang timbul akibat makanan
terkontaminasi-penyebab utamanya ialah mikroba patogen, jumlahnya sekitar
80-90%. Kemudian, disusul bahan kimia dari pestisida atau bahan beracun yang
secara alami ada dalam makanan. Bila dikelompokkan berdasarkan sumber bahan
makanan, ternyata industri jasa boga (katering dan restoran) menempati
peringkat atas sebagai sumber foodborne
disease, yakni 77%. Kemudian, disusul makanan yang dimasak di rumah
sebesar 20%, dan sisanya 3% disebabkan makanan yang diproduksi industri
pangan.
Meskipun kontribusi industri pangan relatif
rendah, itu tak bisa di anggap enteng, sebab jangkauan konsumennya lebih
luas. Apabila produknya menimbulkan keracunan, jumlah penderita per kasus
akan lebih besar, seperti halnya kasus biskuit beracun pada 1989.
Tragedi keracunan di balik bisnis ‘kejahatan’
makanan menjadi potret buram keamanan pangan. Bentuknya dapat terjadi mulai
dari hulu (on farm) hingga di hilir
industri pangan (Sibuea, 2015). Penggunaan pestisida berlebihan dan
penggunaan pengawet berlebihan menjadi contoh yang kerap berulang. Korban
yang timbul bercorak massal dan meminta korban nyawa manusia. Kenyataan itu
makin memprihatinkan ketika peristiwa ini kerap terjadi karena kelalaian
manusia yang kurang memedulikan keselamatan konsumen. Pembohongan publik
dapat dengan mu dah dilakukan.
Bahkan, dengan alasan memperbaiki atau
meningkatkan sifat fungsional produk, pemakaian bahan tambahan makanan (BTM)
semakin tak terkendali. Pemberian BTM berbahaya, seperti formalin, pewarna
rhodamin B, kuning metanil, dan pemanis buatan siklamat atau sakarin ialah
contoh yang hingga kini acap dipakai untuk makanan. Padahal dapat menyebabkan
kanker.
Sementara itu, penanganan under processing seperti proses pemanasan yang kurang, khususnya
pada produk makanan kaleng berasam rendah dapat terjadi, karena kurangnya
pemahaman teknologi pangan yang dikembangkan Dr Stumbo, ilmuwan di bidang
termobakteriologi terkemuka di dunia. Hal ini dapat menstimulasi terbentuknya
toksin botulin dari bakteri Clostridium botulinum yang amat berbahaya.
Sebaliknya, proses pemanasan dengan minyak goreng pada suhu tinggi dan
berulang-ulang menghasilkan hidroperoksida, aldehid, dan keton berlebihan
yang menjadi prekursor senyawa karsinogenik pemicu kanker.
Membangun kejujuran
Apa seharusnya yang bisa dilakukan untuk
memperkukuh pilar keamanan pangan? Konsistensi pengawasan yang jujur harus
tecermin dari berbagai upaya yang dilakukan di setiap mata rantai yang diduga
bisa menimbulkan masalah keamanan pangan. Membangun kejujuran dimulai sejak
produksi, pengolahan, distribusi, hingga saat penyajian untuk konsumsi.
Pemerintah selama ini abai tentang satu hal. UU yang baru tentang pangan
sudah dibuat, regulasi tata niaga bahan tambahan makanan diperketat dan
sertifikasi mutu produk diharuskan.
Namun, semuanya bisa diterabas pelaku
ekonomi demi keuntungan sebesar-besarnya.Perdagangan beras palsu dan makanan
berformalin yang tetap eksis ialah bukti nyata kegagalan dalam menjalankan
fungsi pengawasan.
Kejahatan di balik bisnis makanan yang kerap
berulang ini jika hendak digali secara lebih kontemplatif, persoalannya
menyangkut moralitas anak bangsa. Misalnya, perdagangan dan impor ilegal
beras palsu dan penambahan pupuk urea pada pembuatan nata de coco ialah serpihan representasi dari bangsa yang
mengalami degradasi moral. Negeri yang warganya santun karena taat beragama,
kini mulai kurang beradab dan tak peduli keselamatan orang lain, karena
melakukan pembunuhan secara perlahan-lahan lewat teror formalin.
Ketika persoalan kejahatan di balik bisnis
makanan merebak menjadi tragedi kemanusiaan yang menelan korban jiwa,
pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan kerap mereduksi persoalan
dengan berda lih bahwa penyebabnya ialah keracunan makanan yang dipicu cara
memasak yang tidak benar.
Hal yang sama datang dari para ahli di
perguruan tinggi yang memiliki kompetensi ilmiah. Mereka dengan mudah
merumuskan bahwa penyebab keracunan ialah mikroba patogen atau bahan kimia
berbahaya sambil menyebut berbagai istilah latin dan bahasa asing yang sulit
dipahami masyarakat awam.
Guna memutus mata rantai kejahatan di balik
bisnis makanan, sebagai umat beragama yang religius semestinya para pedagang
dan korporasi lebih mempertimbangkan aspek moralitas ketimbang nilai
keuntungan yang diperoleh.
Atas dasar inilah, para pemuka agama punya tugas
baru untuk berperan memperbaiki moral bangsa. Mereka hadir bukan sekadar
mengusung ceramah agama, melainkan juga memberi teladan moralitas tentang
perilaku manusia.
Menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan
adanya dimensi etis dalam bisnis pangan tidak berhenti sebatas khotbah, tapi
ia harus memasuki ruang praktik kehidupan, sehingga dapat dialami dan
dirasakan setiap orang. Seperti teladan yang diwariskan bapak pendiri bangsa,
Soekarno dan Mohammad Hatta, kita diajak saling mengasihi sebagai sesama anak
bangsa dan terus mengasah hati nurani untuk berperilaku jujur di tengah hidup
bermasyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar