Pendidikan
Islam Nusantara
A Helmy Faishal Zaini ; Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU
(LPPNU); Anggota Komisi X DPR
|
REPUBLIKA, 22 Mei 2015
Berbicara seluk-beluk
dunia pendidikan di Indonesia tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari
pembicaraan mengenai pesantren. Pesantren merupakan basis historis serta akar
filosofis pendidikan di Indonesia itu sendiri.
Bahkan, meminjam
analisis Manfred Ziemek (1984) dalam opusnya, "Pesantren dan Perubahan
Sosial", ia menegaskan bahwa pesantren adalah embrio utama serta tonggak
berdirinya sejarah pendidikan di Indonesia sampai dewasa ini. Apa yang
diungkapkan oleh Ziemek, menurut hemat saya, tidaklah terlampau berlebihan.
Di samping perannya dalam mengawal harmonisasi duniawi dan ukhrawi kehidupan
masyarakat, pesantren secara historis didirikan sesungguhnya terutama dalam
rangka proses belajar mengajar.
Dalam konteks
penyelenggaraan pendidikan, pesantren, meminjam pisau anlisisnya Ivan Illich
(1971) tentang desschooling society, sejatinya merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan yang ada di Indonesia. Hanya pesantrenlah yang sampai saat ini dan
mungkin sampai ke depan nanti tetap berpegang teguh dan sangat memahami makna
pendidkan secara etiko-filosofis.
Kesimpulan ini
merupakan hal lumrah yang bagi siapa pun pengamat dunia pendidikan pasti akan
menyimpulkan hanya pesantrenlah yang benar-benar mendidik anak didik dalam
arti sesungguhnya. Sementara, jika kita bandingkan dengan lembaga
"semi" pendidikan-pengajaran, seperti perguruan tinggi, di situ
kita akan segera dapat menarik kesimpulan bahwasanya hanya pesantrenlah yang
memenuhi kriteria change of behavior-nya pemikir pendidikan berkebangsaan
Brasil Paolo Freire.
Jika kita tarik lebih
jauh ke dalam terminologi pesantren, konsep ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib
semuanya terintegasi dalam pesantren. Bahkan, Naguib Al-Attas (2010) secara
retoris mengatakan, titik kulminasi pendidikan adalah keberhasilan seorang
pendidik dalam mengubah perangai anak didiknya. Maka, ia pun menyimpulkan, ta’dib (pengadaban) adalah puncak
segala kegiatan pendidikan. Asumsi itu bukan tanpa alasan yang ahistoris
karena Nabi Muhammad SAW pun sesungguhnya diutus turun ke muka bumi dengan
misi utama untuk menyempurnakan akhlak umatnya.
Maka sekali lagi,
kesimpulan tentang pesantren sebagai satu-satunya lembaga pendidikan di
Indonesia tidaklah berlebihan dan sangat masuk akal. Karena, hanya
pesantrenlah yang mengintegrasikan tigal hal sekaligus dalam kehidupan
santri-santrinya, yakni ta’lim (pengajaran), tarbiyah (pendidikan), ta’dib
(pengadaban). Dan, ketiga hal itu sampai saat ini sulit untuk kita temukan
satu paket secara komprehensif dalam sebuah lembaga pendidikan.
Sebagai lembaga yang
nyaris dikatakan purba dalam konstelasi pendidikan di Indonesia, pesantren
telah terbukti tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang, bahkan bersaing
dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Penting untuk dikemukakan pula
bahwa pesantren juga mengilhami banyak lembaga pendidikan, terutama terkait
sistem pemondokan.
Sistem pemondokan yang
merupakan ciri utama pesantren menjadi sangat marak diadopsi oleh
lembaga-lembaga pendidikan lain, baik dalam maupun luar negeri.
Sekolah-sekolah berlomba menawarkan sistem full day school, sekolah
terintegrasi dengan asrama. Tak terhitung pula jumlah perguruan tinggi yang
juga telah menerapkan sistem wajib asrama untuk penguatan pelajaran keagamaan
sebagaimana di perguruan tinggi Islam yang dikelola pemerintah maupun swasta.
Penting untuk dicatat
pula, sebagaimana dikemukakan oleh Nazaruddin Umar (2012) terkait sistem
pemondokan ini, banyak lembaga pendidikan di tingkat dasar sampai tingkat
tinggi di Australia mengadopsi serta meniru apa yang telah dilakukan oleh
pesantren-pesantren di Indonesia sejak sekian ratus tahun lalu lamanya.
Di pihak lain, keunikan
serta keunggulan pesantren tidak hanya berhenti pada sebatas sistem
pemondokan, tetapi pada tataran metode pembelajaran apa yang telah dilakukan
dan ditradisikan pesantren selama ini nyatanya jauh lebih maju dibandingkan
konsep pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial Belanda waktu itu.
Pesantren telah lebih
dahulu mengenal budaya syawir atau musyawarah. Tradisi syawir atau musyawarah
adalah tradisi diskusi mendalam mengenai topik pembahasan sebuah mata ajaran.
Diskusi ini bersifat sangat dinamis dan tidak jarang di sana terdapat
dialektika ilmiah serta perdebatan akademik antarpeserta musyawarah.
Kegiatan musyawarah
tersebut nyatanya sampai saat ini, diakui atau tidak, telah diadopsi menjadi
sistem pembelajaran dalam perkuliahan. Apa pun jenjangnya, mulai dari sarjana
sampai tingkat doktoral, metode utama yang diandalkan dalam perkuliahan
adalah metode diskusi.
Penting untuk diingat,
melalui pesantrenlah paham serta ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin, yang
meletakkan ajarannya dalam bingkai yang akomodatif dengan kultur serta budaya
lokal, disemaikan kepada santri, bahkan sejak dini. Maka, tidak mengherankan
jika ada yang menyimpulkan pesantren adalah basis tumbuh kembangnya Islam
yang "ramah", bukan Islam yang "marah".
Mengedepankan Islam
dengan wajah ramah sungguh tidaklah mudah di tengah rongrongan aneka paham.
Apalagi, arus hilir-mudik Islam "marah" yang cenderung reaktif
dalam memaknai serta menjalankan diktum-diktum agama bisa terbilang sangat
masif dan intensif hari ini. Dan, di sinilah saya rasa pendidikan pesantren
semakin menemui titik urgensinya.
Beralaskan keunggulan
yang ditawarkan oleh sistem pendidikan pesantren, seyogianya sebagai bagian
kecil dalam andil mengimplementasikan semangat Islam yang ramah kita harus
mengapresisasi serta mendukung segala bentuk serta gerakan yang mengajak
kembali ke pesantren sebagaimana yang digaungkan oleh Said Aqil Siroj.
Gerakan kembali ke
pesantren adalah gerakan kembali memahami nilai-nilai keislaman yang ramah
serta pendidikan yang berbudaya. Dan, kedua nilai ini sejatinya teringkus
dalam bingkai satu formula, yakni Islam Nusantara. Semoga Muktamar ke-33 NU
yang mengambil tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia" bisa dihelat dengan sukses sehingga kita bersama
bisa mencecap hasilnya, terutama tentang pendidikan Islam yang ramah. Wallahu a’lam bishawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar