Di
Balik Rendahnya Pertumbuhan Ekonomi
Sunarsip ; Komisaris Bank BRI Syariah; Ekonom The
Indonesia Economic Intelligence
|
REPUBLIKA, 11 Mei 2015
Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015 tercatat
4,71 per sen (year on year/yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya,
5,02 persen (yoy). Pelemahan ini sejalan dengan berbagai indikator yang
memang melemah dalam beberapa bulan terakhir.
Pelemahan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I
2015 terutama didorong melemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi.
Pelemahan pada konsumsi pemerintah terjadi
akibat belum optimalnya penyerapan belanja. Pada investasi, pelemahan
diakibatkan masih adanya sikap wait and
see sektor swasta dan belum berjalannya proyek-proyek pemerintah.
Anggaran belanja infrastruktur pada 2015 sebesar Rp 290 triliun baru
dibelanjakan hanya sekitar Rp 7 triliun.
Di sisi eksternal, kinerja ekspor juga menurun
sejalan dengan lemahnya permintaan dan turunnya harga komoditas dunia.
Sementara itu, pertumbuhan impor mengalami penurunan cukup dalam sejalan
dengan melemahnya perkembangan permintaan domestik.
Sejumlah pejabat resmi (pemerintah dan
otoritas moneter) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mulai meningkat
pada triwulan II 2015. Penyebabnya, pengeluaran pemerintah, terutama belanja
modal pemerintah pada proyek-proyek infrastruktur, diperkirakan meningkat
mulai triwulan II 2015 dan seterusnya. Namun, saya melihat bahwa risiko tidak
tercapainya pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen masih sangat besar.
Mengapa? Analisis berikut akan menjelaskannya.
Pada 15 April lalu, IMF kembali merilis
proyeksi ekonomi dunia. Dalam outlook- nya, IMF memproyeksikan ekonomi dunia
2015 akan tumbuh 3,5 persen, tidak berubah dibanding proyeksi yang dibuat
pada Januari 2015. Namun, IMF melakukan revisi terhadap outlook beberapa
negara, seperti Amerika Serikat (AS), kawasan Eropa, Jepang, dan India.
Berdasarkan outlook IMF, pada 2015 ini, AS
diperkirakan tumbuh 3,1 persen terkoreksi -0,5 persen dibanding outlook IMF
pada Januari lalu yang diproyeksikan tumbuh 3,6 persen. Kawasan Eropa
diperkirakan tumbuh 1,5 persen pada 2015, lebih tinggi 0,3 persen dibanding
proyeksi Januari lalu sebesar 1,2 persen. Sementara, Jepang diperkirakan
tumbuh 1,0 persen pada 2015 lebih baik dibanding proyeksi Januari sebesar 0,6
persen. Sedangkan India, kini menjadi bintangnya Asia karena pada 2015 ini
diperkirakan tumbuh 7,5 persen atau lebih tinggi 1,2 persen dibanding
proyeksi Januari lalu sebesar 6,3 persen.
Perubahan outlook kini, termasuk faktor-faktor
yang menjadi penyebabnya, tentunya akan memiliki dampak bagi Indonesia.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS, misalnya, perlu dicermati karena
ini akan berimplikasi pada rencana bank sentral AS (the Fed) yang akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya.
Padahal, kita ketahui bahwa ketidakpastian terkait rencana kebijakan the
Fed ini telah berimplikasi cukup dalam terhadap fluktuasi nilai tukar
rupiah.
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS
antara lain dipengaruhi oleh apresiasi mata uangnya (USD) yang dalam enam
bulan terakhir ini yang menguat hingga 10 persen. Penguatan USD ini
memperlambat laju ekspor AS sehingga berdampak pada perlambatan pertumbuhan
ekonomi AS. Selain itu, laju pertumbuhan investasi di AS juga mengalami
penurunan. Penguatan USD telah menjadi faktor yang tidak menguntungkan bagi
kegiatan investasi sektor manufaktur berbasis ekspor. Sedangkan, jatuhnya
harga minyak telah menyebabkan turunnya investasi pada sektor migas yang sebelumnya
meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagai oil net importer, AS semestinya
diuntungkan dengan rendahnya harga minyak. Sebab, pengeluaran BBM mereka
menjadi lebih rendah, bahkan terendah sejak 2003. Sayangnya, rendahnya harga
minyak tersebut tidak dapat dimaksimalkan untuk mendorong konsumsi di AS
secara signifikan. Faktanya, data penjualan ritel di AS dalam dua bulan
pertama 2015 justru melemah. Masyarakat AS ternyata menggunakan surplus dari
rendahnya harga BBM bukan untuk konsumsi melainkan ditabung karena suku bunga
tabungan yang mulai meningkat.
Bila proyeksi ekonomi AS diperkirakan lebih
rendah maka sebaliknya dengan kawasan Eropa dan Jepang. Kedua perekonomian
ini diperkirakan tumbuh lebih baik pada 2015. Kebijakan quantitative easing (QE) yang diambil oleh kedua perekonomian ini
menjadi faktor utama di balik perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonominya.
Kebijakan QE Eropa dan Jepang telah menyebabkan mata uang mereka melemah
sehingga mendorong laju ekspor mereka. Kebijakan QE juga menyebabkan tingkat
suku bunga menjadi lebih rendah sehingga laju investasi meningkat. Dan,
sebagai oil net importer, rendahnya harga minyak juga menguntungkan bagi
pertumbuhan ekonomi Eropa dan Jepang.
Dalam konteks Indonesia, hal yang sama juga
terjadi.
Faktor harga minyak dan nilai tukar masih akan
tetap menentukan perkembangan ekonomi Indonesia ke depan. Dalam outlook-nya,
IMF masih memproyeksikan pada 2015 ini ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen
tidak berubah dibanding outlook-nya pada Januari lalu. Namun, dalam outlook-nya,
IMF menuntut agar Indonesia memperkuat kredibilitas kebijakan makro ekonomi
dan makro-prudensialnya agar mampu mengendalikan pergerakan nilai tukar
rupiah.
Kinerja harga minyak dan nilai tukar rupiah
memang cukup berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Turunnya harga
minyak turut membantu neraca perdagangan Indonesia. Kinerja neraca
perdagangan Indonesia Januari-Maret 2015 mencatatkan surplus 2,43 miliar
dolar AS, meningkat 129 persen dibanding periode yang sama 2014 yang surplus
sebesar 1,06 miliar dolar AS.
Peningkatan kinerja neraca perdagangan ini
terutama berasal dari menurunnya impor migas dari sebesar 11,0 miliar dolar
AS pada periode Januari-Maret 2014 menjadi sebesar 6,1 miliar dolar AS.
Tidak dapat dielakkan bahwa rendahnya harga
minyak berada di balik turunnya impor migas tersebut. Sayangnya, pelemahan nilai
tukar rupiah tidak cukup membantu memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia.
Ekspor Indonesia Januari-Maret 2015 mencapai 39,13 miliar dolar AS, turun
dibanding periode yang sama 2014 yang mencapai 44,29 miliar dolar AS.
Secara
normatif, pelemahan nilai tukar rupiah seharusnya meningkatkan ekspor. Namun
yang terjadi, pelemahan rupiah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal
karena permintaan yang berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh
positif dari pelemahan rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan
turunnya permintaan dan jatuhnya harga.
Secara mikro dampak pelemahan nilai tukar
rupiah dan harga minyak ini juga sudah terlihat. Beberapa perusahaan
(terutama BUMN) yang bergerak di sektor energi sangat tertekan kinerjanya. Turunnya
harga minyak (termasuk gas dan batu bara) telah menyebabkan kinerja ekspor
dan penjualan mereka tertekan. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah telah
menyebabkan mereka mengalami kerugian signifikan akibat selisih kurs.
Berbagai kondisi inilah yang menyebabkan
outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 tidak akan mencapai seperti
ekspektasi pemerintah. Terlebih lagi, perekonomian kita masih menghadapi
masalah struktural yang belum kunjung terpecahkan.
Joseph E Stiglitz, pemenang No bel ekonomi
belum lama ini, mengatakan, "You
will have stronger growth if you reduce inequality". Itu artinya,
dengan tingkat rasio ketimpangan (Gini ratio) sebesar 0,41 (terburuk sejak
Indonesia merdeka), memang sulit kita berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia
bisa tinggi.
Tampaknya, kita memang masih harus
"bersabar" lebih lama lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar