Sertifikasi
PSK?
Muhbib Abdul Wahab ; Pemerhati Masalah Sosial Keagamaan; Dosen
UIN Jakarta
|
REPUBLIKA, 04 Mei 2015
Ide dan
rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ingin
memberikan sertifikat kepada pekerja seks komersial (PSK) tak hanya menuai
kontroversi (Republika, 28 April 2015),
tetapi juga sangat melukai hati warga DKI yang mayoritas Muslim. Jika
benar-benar diwujudkan, ide Ahok justru kontraproduktif sekaligus menunjukkan
ketidakpahaman Gubernur pada aspirasi dan harapan masyarakat DKI yang
menginginkan Jakarta bersih dan bebas prostitusi.
Ide
nyeleneh yang belum lama ini juga dikemukakan Ahok adalah pendirian toko yang
secara khusus menjual miras setelah penjualan di supermarket dan minimarket
dilarang Kemendag sejak 16 April lalu. Kita patut mewaspadai ide liar dan
tidak edukatif seperti ini agar masa depan generasi muda bangsa ini tidak
mudah "teracuni" pola pikir kontraproduktif. Adakah Ahok sedang
melakukan test case terhadap warga Muslim DKI dan umat Islam Indonesia pada
umumnya?
Jawabannya
sangat bergantung pada perspektif dalam membaca arah pemikiran sang Gubernur.
Bagi Muslim, tentu saja ide ini hanya akan menambah maraknya kemaksiatan di
Ibu Kota, di samping "menguntungkan" pihak-pihak tertentu. Dapat
dipastikan, banyak kelompok kepentingan yang ikut bermain dalam legalisasi
prostitusi yang sudah jelas diharamkan oleh agama, termasuk legalisasi judi
dan penjualan miras, baik melalui proses legislasi (di DPR) maupun melalui
jalur kekuasaan (Pemprov DKI).
Menurut
Dadang Hawari, omzet bisnis prostitusi di Indonesia tak kurang dari Rp 11
triliun per tahun. Omzet bisnis miras Rp 4 triliun per tahun. Sedangkan,
transaksi perjudian di Jakarta Rp 50 miliar per hari atau Rp 18,25 triliun
per tahun.
Hal ini berarti
bisnis prostitusi, judi, dan miras—belum termasuk oplosan—sangat
menguntungkan secara finansial. Bisnis ini akan semakin "berjaya"
jika mendapat legalisasi dan perlindungan dari penguasa daerah. Tampaknya
Ahok cukup memahami "nilai bisnis" ini, dan—atas nama
toleransi—cenderung getol menyuarakan kepentingan tertentu yang bermain dalam
bisnis tersebut.
Karena
itu, rencana sertifikasi PSK layak ditolak karena lima alasan. Pertama,
sertifikasi PSK—mirip sertifikasi guru—akan membuat perempuan berlomba-lomba
mendapatkan legalitas sebagai PSK, lebih-lebih mereka yang belum memiliki
profesi tetap. Dengan sertifikat PSK, yang bersangkutan bisa meraup banyak
uang "tanpa kerja keras". Jadi, sertifikasi PSK sangat tidak
mendidik generasi muda, sebaliknya menjerumuskan mereka ke jurang kemaksiatan
dan kebobrokan moral.
Kedua,
dampak negatif akibat sertifikasi tentu tidak kecil. Tidak disertifikasi
saja, menurut Dadang Hawari, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia per tahun 2,5
juta orang. Total biaya penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia per tahun
sekitar Rp 33 triliun karena setiap orang penderita HIV/AIDS memerlukan biaya
sekitar Rp 165 juta. Akankah penyakit paling berbahaya ini akan dibiarkan
dengan adanya sertifikasi PSK?
Ketiga,
sertifikasi PSK pasti merusak mental dan moral bangsa. Sertifikasi PSK bukan
solusi terhadap kemiskinan sebagian warga bangsa, tetapi justru akan membuat
para PSK itu malas menekuni profesi lain yang halal dan mungkin banyak
menguras pikiran dan tenaga. Lelaki hidung belang yang merasa memiliki cukup
uang, tapi imannya lemah, terbuka kesempatan melampiaskan syahwatnya dengan
membeli "kenikmatan" dari jasa PSK yang sudah tersertifikasi.
Terbongkarnya bisnis prostitusi online semakin menguatkan fakta bahwa
sertifikasi PSK juga potensial menimbulkan trafficking anak-anak.
Keempat,
sertifikasi PSK justru menjadi pintu masuk aneka kejahatan dan penyakit
masyarakat (pekat) yang biasa dikenal molimo atau 5M (maling, main, minum,
madon, dan madat). Penyakit era jahiliyah ini akan semakin mewabah dan
meresahkan karena dilegalkannya praktik prostitusi dan sertifikasi PSK.
Padahal, salah satu tugas pemerintah daerah adalah melindungi warganya dari
aneka penyakit, termasuk pekat.
Artinya,
jika pemerintah daerah justru memfasilitasi dan melegalkan prostitusi dan
sertifikasi PSK, berarti membiarkan warga DKI dijangkiti aneka pekat dan
kemaksiatan lainnya yang kemungkinan menular kepada orang lain yang tidak
berbuat zina.
Kelima,
dalam perspektif agama—khususnya Islam—diajarkan bahwa, "Siapa yang menunjukkan
kepada jalan kebaikan, maka dia akan memperoleh pahala sama seperti pahala
orang yang menempuh jalan kebaikan itu." (HR Muslim). Hadis Nabi SAW ini
dapat dipahami mafhum mukhalafah-nya,orang yang menunjukkan (juga
memfasilitasi) jalan keburukan, termasuk sertifikasi PSK, maka dia akan
memperoleh dosa yang sama seperti yang dilakukan PSK (zina). Artinya, pihak
yang memfasilitasi berbuat zina sama seperti orang melakukan zina itu
sendiri.
Karena
akibatnya yang sangat berbahaya seperti terjangkiti penyakit kelamin, merusak
tatanan rumah tangga, memicu aneka kejahatan kemanusiaan (trafficking dan perbudakan), Alquran
secara tegas melarang mendekati perbuatan zina (prostitusi). (QS al-Isra’
[17]: 32). Mendekati saja dilarang, apalagi melegalkan, memfasilitasi, dan
melakukan zina.
Jika
sertifikasi PSK ini diniatkan untuk "meningkatkan" pemasukan
pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemberlakuan pajak prostitusi, misalnya,
maka warga Ibu Kota boleh jadi akan menolak jika pembangunan daerahnya
didanai dari "uang hasil prostitusi".
Sudah
saatnya Ibu Kota menjadi teladan dalam menjaga kebersihan multidimensi:
bersih sungai dan jalannya, bersih aparatnya dari korupsi dan mafia, bersih
warganya dari aneka kejahatan, bersih dan bebas dari penyakit menular, dan juga
bersih dari peredaran miras, perjudian, dan prostitusi. Janganlah
menghalalkan yang sudah jelas-jelas diharamkan oleh agama karena hal ini sama
artinya menandingi dan melawan Tuhan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar