Wellbeing
= Imagination, Bamboo, and Mentor
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 25 Mei 2015
KEKUATAN sebuah kata hanya bisa
di maknai seseorang yang terbiasa membaca dan menulis, dan dalam benaknya
memiliki jutaan vocabulary tanpa
batas. Itulah penanda mengapa seseorang yang kuat secara bahasa akan sanggup
memengaruhi orang lain dengan cara yang tidak biasa, misalnya melalui proses
belajar yang penuh imajinasi dan tanda tanya. Selain itu, ke kuatan kata dari
seorang penulis menunjukkan akal sehat dan logika yang kuat pasti dimiliki
seorang penulis.
Karena itu, ketika seorang teman
yang baru saja saya kenal, Allan Schneitze, membuat argumen menarik tentang
ciri yang membedakan antara sekolah yang baik dan sekolah yang hebat justru
pada proses yang menumbuhkan pribadi seorang anak menjadi seseorang yang
mereka inginkan (wellbeing), bukan
berpengetahuan (knowing), kesadaran
tentang makna pendidikan yang baik dan benar pun terasa memiliki pembelaan
yang sepadan. Mengapa?
Di tengah kepercayaan guru, para
pendidikan, menteri, hingga masyarakat luas tentang pentingnya sebuah ujian
nasional untuk menguji standar kognitif atau pengetahuan seorang siswa, saya
justru malah bertambah yakin bahwa tujuan pendidikan bukanlah semata
pengetahuan, melainkan bagaimana menumbuhkan rasa kemanusiaan terhadap diri
seorang siswa agar mau menjadi manusia yang menghargai sesamanya secara
beradab (wellbeing).
Memaknai proses
Jika memaknai sebuah kata
merupakan proses yang lazim dilakukan para guru kita, tak ayal pendidikan
kita akan jauh lebih baik. Guru harus memiliki kesabaran sekelas nabi agar
mau berhasil, termasuk ketika meminta secara perlahan dan meyakinkan para siswanya
untuk memaknai sebuah kata. Jika daya kritis siswa lemah, itu pertanda tak
ada pembiasaan yang dilakukan para guru kita untuk mem biasakan para siswa
mereka melakukan telaah akan makna sebuah kata. Ada beberapa contoh menarik
bagaimana seharusnya siswa terbiasa untuk menelaah sebuah kata.
Ada dua film yang selalu saya
ajak para guru untuk menontonnya sebelum mereka benar-benar mengajar, yaitu Pay It Forward dan The Magic of Belle Isle. Dalam Pay It Forward, Eugene Simonet yang
diperankan Kevin Spacey membuka kelas dengan meminta para siswanya untuk memilih
sebuah kata untuk ditelaah dan dimaknai dalam kehidupan nyata. Menemukan ide
dari sebuah kata dan meletakkannya dalam kehidupan nyata dalam sebuah aksi nyata
tentu saja bukan hal mudah. Akan tetapi, sebagai guru sosiologi, Simonet
justru menginginkan para siswanya melihat perubahan sosial dari sebuah kata,
yaitu Pay It Forward.
Contoh lain yang juga menarik
ialah kisah seorang penulis terkenal Amerika yang kehilangan semangat untuk
terus menulis, Monte Wildhorn, yang diperankan Morgan Freeman dalam film The Magic of Belle Isle. Ketika
semangatnya memburuk akibat ditinggal mati istri tercintanya, Monte
memutuskan untuk menyepi di sebuah desa yang bernama Belle Isle untuk
meneruskan kegemarannya minum hingga mabuk.
Akan tetapi, ketika Monte
bertemu dengan seorang anak tetangganya yang bernama Finnegan, proses
menemukan kata dalam diri Monte seperti berlanjut dan itu mengubah
pandangannya terhadap pentingnya untuk tetap dan terus menulis. Finnegan
sangat antusias untuk belajar menulis dan ketika dia bertanya kepada Monte
bagaimana cara memulai untuk menulis, Monte memberinya tiga kata kunci untuk
ditelaah secara perlahan dan pasti, yaitu kata imajinasi (imagination), bambu (bamboo), dan pembimbing (mentor).
Bimbingan terstruktur
Bagi saya, cara Monte memberikan
dan membiarkan Finnagen bermain dengan pikirannya sendiri untuk menemukan ketiga
kata tersebut merupakan sebuah proses belajar yang luar biasa. Dengan
pemahaman yang sederhana, Finnegan secara bertahap menemukan makna ketiga
kata tersebut dalam bimbingan yang terstruktur dari Monte.
Imajinasi merupakan sesuatu yang
tidak terlihat, tetapi bisa terwujud dalam pikiran setiap orang, kata Monte.
Finnegan kemudian memaknai imajinasi sebagai suatu peta dan arah bagi
pikirannya untuk menemukan sebanyak mungkin kata yang berkaitan dengan apa
yang bisa dibayangkan dan, tentu saja, merupakan cita-cita yang ingin
diraihnya.
Kemudian dengan bantuan kata
`bambu', mulailah dia menulis tentang betapa pentingnya sebatang bambu bagi
suatu masyarakat yang dikelilingi jenis tanaman itu. Selain bentuknya yang
eksotis, bambu ternyata memiliki banyak kegunaan praktis dalam keseharian
hidup masyarakat Tiongkok, misalnya. Bayangkan, sebuah kata mampu membawa
imajinasi seorang anak sambil terus mencari makna yang sesuai dengan kondisi
lingkungannya.
Kata mentor juga penting untuk dianalisis seorang siswa agar para
siswa kita memiliki beragam pandangan dan perspektif tentang makna
pembimbingan. Anak juga akan mulai mampu menilai siapa yang pantas menjadi
mentor nya untuk mencapai suatu tujuan. The
power of word, dengan demikian, akan terasa bermakna jika proses
penerjemahannya dilakukan seorang anak yang dalam kondisi selalu mencari tahu
tentang segala hal. Ruang imajinasi dan eksplorasi dari sebuah kata menjadi
sangat penting dalam setiap proses belajar mengajar, dan itu bisa dilakukan
setiap guru yang mengajar bidang studi apa pun.
Kedua contoh eksplorasi kata
yang diberikan kedua film yang saya sebutkan di atas patut dicoba para guru
dalam rangka membawa imajinasi para siswa kita menemukan hal-hal baru secara
alamiah, tanpa paksaan sebuah teks yang biasanya diajarkan para guru kita
melalui buku-buku teks yang minim imajinasi.
Pada akhirnya, semakin banyak
anak kita menemukan ribuan dan jutaan kata dalam hidup mereka, pasti ketika
dewasa anak-anak akan mampu menjadi manusia yang lebih baik daripada kita.
Harus diakui, sangat jarang kita memiliki guru yang mau memperhatikan bagaimana
cara anak-anak kita menangkap dan memaknai sebuah kata. Sebaliknya, anak-anak
cenderung kita biarkan menemukan dan memaknai kata secara salah karena tanpa
bimbingan yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar