Bersama
Memperebutkan Kebenaran
Karyudi Sutajah Putra ; Pegiat Media, tinggal di Jakarta
|
SUARA MERDEKA, 29 Mei 2015
PENGAMAT ekonomi Faisal Basri menuduh mantan menteri
Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri
bauksit nasional saat ini. Dalam seminar di Jakarta,
Senin (25/5/15), mantan ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu bahkan
menuding yang dilakukan Hatta saat menjabat Menko Perekonomian ada kaitannya
dengan langkahnya maju sebagai calon wapres pada Pemilu 2014.
Menurut Faisal, awal 2014
peranan Hatta melarang ekspor mineral mentah, termasuk bauksit, sangat besar.
Berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas dengan berbagai
menteri terkait di kantor Menko Perekonomian. Akhirnya, Peraturan Menteri
ESDM No 1 Tahun 2014 terbit pada 12 Januari 2014. Aturan ini membuat industri
bauksit nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit tak lagi
diperbolehkan mengekspor sebagai bahan mentah pembuatan aluminium. Pelarangan ekspor
bauksit itu, menurut Faisal, merupakan permintaan perusahaan aluminium
terbesar Rusia, UC Rusal, yang saat itu berencana investasi di Indonesia
membuat pabrik pengolahan bauksit (smelter alumina) di Kalimatan. Akibat
pelarangan ekspor bauksit itu, pasokan 40 juta ton bauksit dari industri
nasional untuk dunia internasional menghilang. Dampaknya, harga
alumina UC Rusal di dunia internasional melonjak.
Sebaliknya, industri bauksit nasional kehilangan potensi devisa Rp 17,6
triliun per tahun, penerimaan pajak Rp 4,09 triliun, dan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) Rp 595 miliar. Namun, tuduhan Faisal Basri
dibantah Hatta Rajasa. Mantan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini
menilai tudingan Faisal itu sebagai fitnah. Melalui akun Twitter-nya,
@hattarajasa, Senin (25/5/15), ia menjelaskan pelarangan ekspor mineral
mentah merupakan perintah UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
UU ini memerintahkan semua
pelaku usaha pertambangan, dalam 5 tahun berlakunya UU ini, agar ekspor hasil
tambang harus sudah dimurnikan dulu di Tanah Air. Sebelum ini, Menteri ESDM
Sudirman Said juga menyerang Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 yang
juga besan Hatta Rajasa. Sudirman munuding pemberantasan mafia minyak dan gas
(migas), termasuk rencana pembubaran Petral, anak perusahaan Pertamina,
selalu berakhir di meja SBY.
Namun, SBY membantah tudingan itu. Para loyalis SBY
bahkan mengancam melaporkan Sudirman ke polisi dengan tuduhan mencemarkan
nama baik dan fitnah sebagaimana dimaksud Pasal 310 dan 311 KUHP.
Asas Kesetaraan
Mengapa orang-orang di
lingkaran kekuasaan Presiden Joko Widodo menyerang dan mencari-cari kelemahan
pemerintahan sebelumnya? Apakah ini untuk menutup-nutupi kelemahan
pemerintahan saat ini dengan mencari kambing hitam?
Inilah pertanyaan yang kerap
disampaikan pendukung SBY. Maka, demi kebenaran, tanpa mengurangi bobot SBY
dan Hatta sebagai negarawan, langkah hukum kiranya perlu mereka tempuh. Bila
tidak, tudingan terhadap mereka dianggap sebagai kebenaran. Ingat, kebohongan
yang disampaikan berulang-ulang akan dianggap sebagai kebenaran. Sebaliknya,
bila memang Faisal dan Sudirman merasa benar, plus punya data maka jangan
sampai surut. Teruslah menyampaikan kebenaran kendati berisiko pahit. Jeratan
hukum adalah risiko perjuangan. Sebaliknya, bila Faisal dan Sudirman tidak
membongkar tuntas apa yang mereka tuduhkan maka bisa dianggap sekadar
pencitraan, bahkan ujung-ujungnya bisa dianggap memfitnah dan mencemarkan
nama baik.
Keduanya juga bisa dituduh
melakukan kebohongan publik. Faisal dan Sudirman tidak boleh terjebak
falsafah mikul dhuwur mendhem jero
yang kadang diterapkan tidak pada tempatnya. Tanpa mengurangi rasa hormat
kepada SBYdan Hatta, kalau memang kedua tokoh ini melakukan kesalahan, harus
diminta pertanggungjawaban, sesuai prinsip kesetaraan di muka hukum.
SBY merasa gerah. Bukan kali
ini saja SBY disalahkan. Soal harga BBM, Ketua Umum Partai Demokrat ini juga
disalahkan lantaran tidak mau menaikkannya, dan hal itu dituding demi
pencitraan. Sebab itu, tuduhan yang dilontarkan Faisal dan Sudirman hendaknya
dijadikan momentum bagi SBY dan Hatta untuk membersihkan nama baik. Keduanya
tidak boleh berpangku tangan dengan berprinsip becik ketitik ala ketara.
Kebenaran harus ditegakkan, dan
tak jarang harus diperebutkan. Pun, tulisan ini disajikan bukan untuk
memprovokasi pihak-pihak yang bertikai, melainkan semata-mata demi mengungkap
kebenaran agar ke depan negeri ini diurus dengan benar. Langkah hukum adalah
cara paling beradab untuk menyelesaikan pertikaian dan memperebutkan
kebenaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar