Enam
Bulan tanpa Kesan
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
REPUBLIKA, 05 Mei 2015
Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla telah melewati fase enam bulan pertama pemerintahannya.
Ibarat pentas drama, adegan demi adegan di awal babak berlalu tanpa kesan
kuat. Padahal, dalam perspektif teori dramaturgi Erving Goffman, manajemen
kesan itu menjadi hal penting guna menghadirkan kepercayaan khalayak pada
plot cerita yang dibawakan.
Jokowi-JK
kini menjadi aktor utama di panggung kekuasaan republik ini. Banyak mimpi,
harapan, dan cita-cita yang melekat pada mandat kekuasaan yang Jokowi-JK
terima saat dia dimuliakan menjadi pemimpin nasional. Terlalu prematur jika
menyimpulkan pemerintahan Jokowi gagal. Namun, publik bisa memberi catatan,
Jokowi-JK belum tampil optimal sebagai pemimpin sejati di tengah banyaknya
tekanan para "investor" di lingkar kekuasaan.
Jika
merujuk ke data hasil riset terbaru Poltracking, Ahad (19/4), tingkat
kepuasan publik terhadap enam bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK masih
rendah. Secara keseluruhan, 48,5 persen menyatakan tidak puas terhadap
kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Hanya 44 persen responden menyatakan puas.
Adapun 7,5 persen lainnya mengaku tidak tahu atau tidak menjawab. Riset ini
bisa menjadi peringatan dini bagi laju pemerintahan Jokowi pada kemudian
hari.
Salah
satu ujian terbesar dan menentukan di fase awal pemerintahan Jokowi adalah
kesanggupannya menjadi presiden sungguhan! Jokowi-JK harus bersikap
profesional dan proporsional di tengah banyaknya kemauan dan tekanan mitra
koalisi. Di banyak praktik kekuasaan, justru saat kemenangan sudah diraihlah
pertarungan sesungguhnya dimulai. Hal ini terkait penyamaan persepsi,
tindakan dan kebijakan di antara kekuatan penyokong pemerintahan.
Meminjam
istilah James P Carse dalam Finite and Infinite Games (1987), pemerintahan
bisa dikategorikan sebagai finite game atau permainan yang memiliki awal dan
akhir, khususnya tentang kekuasaan. Dalam konteks ini, kerap menjadi
mekanisme pemenangan kekuasaan belaka demi kepentingan pribadi dan golongan.
Situasi
ini terbiasa menghadirkan finite player, yakni para politikus yang secara
optimal menyalurkan hasratnya semata-mata untuk mendapatkan keuntungan
kekuasaan. Jika kesan yang menguat pada awal pemerintahan Jokowi adalah
bagi-bagi kekuasaan dan abai pada urusan rakyat akan terjadi penurunan
harapan yang signifikan di masyarakat.
Jokowi
harus memosisikan diri secara tepat dalam mengelola komunikasi politik dengan
Megawati tanpa terjebak pada stigma buruk semata-mata presiden boneka atau
petugas partai. Hal ini tidak mudah bagi Jokowi karena PDIP merupakan rumah
politiknya saat ini dan Megawati Soekarnoputri adalah ketua umum sekaligus
veto player bagi hampir seluruh kebijakan strategis PDIP.
Relasi
kuasa keduanya akan menyumbang nilai positif, sekaligus negatif. Hal positif
jika Mega memberi dukungan sekaligus memastikan basis struktur partai dari
pusat hingga daerah sepenuhnya mendukung kerja pemerintahan Jokowi-JK.
Syaratnya,
Mega harus menjadi negarawan dengan memberi keleluasaan pada Jokowi bekerja
dan mendedikasikan kekuasaannya untuk rakyat. Tetapi, posisi Mega juga akan
memberi nilai negatif jika beragam pernyataan dan tindakannya hanya memosisikan
Jokowi sebagai subordinat tanpa mengapresiasi simbol kenegaraan dan
pemerintahan yang kini melekat pada sosok Jokowi.
Pola
hubungan Mega-Jokowi ini meminjam istilah Leslie Baxter dan Barbara
Montgomery dalam tulisannya dalam Relating Dialogues and Dialectics (1996)
dapat menghadirkan situasi dialektika relasional. Situasi ini dicirikan oleh
ketegangan berkelanjutan antara impuls yang kontradiktif. Berbagai isu
bergulir dan menjadi dinamika, sekaligus indikator mengukur performa dan daya
tahan Jokowi di tengah tekanan kuasa Megawati.
Banyaknya
parpol dan tersebarnya kuasa di sejumlah aktor politik menyebabkan bangunan
komunikasi politik pemerintahan Jokowi dihadapkan pada jebakan model
transaksional. Dalam model transaksional, Jokowi akan lebih banyak menegosiasikan
ide, gagasan, pemikiran, dan tindakannya di tengah lingkungan politik yang
sangat kompetitif dan penuh paradoks.
Atmosfer
politik yang terbangun saat ini lebih banyak berpola asimetris, yakni tidak
begitu jelas siapa kawan dan lawan. Karenanya, perlu tata kelola komunikasi
politik yang lebih terencana, terutama untuk memelihara daya tahan di tengah
tekanan beragam kekuatan dalam mencapai titik keseimbangan politik. Jokowi
harus tampil menjadi pemimpin pengambil risiko dalam menunaikan janji politiknya
kepada rakyat, bukan semata-mata mengelola zona nyaman kekuasaan elite.
Jokowi-JK
harus membuktikan mereka bisa keluar dari jebakan politik enigmatik. Makna
politik enigmatik adalah politik yang menimbulkan teka-teki, prasangka,
absurditas, disorientasi, dan tanpa navigasi karena dinamikanya tidak jelas.
Hal ini disebabkan ketiadaan aktualisasi prinsip fundamental demokrasi itu
sendiri. Politik yang ditampilkan tidak substansial, tapi demokrasi dangkal.
Praktik
politik enigmatik ini sangat mungkin muncul dan menguat di era Jokowi-JK jika
mereka tak mampu menghadirkan optimalisasi kerja untuk masyarakat secara
terukur dan dirasakan langsung manfaatnya. Dalam konteks ini, butuh
komunikasi deliberatif yang memosisikan setiap kebijakan publik Jokowi-JK
sebagai konsensus berbasis rasionalitas dan melalui diskursus publik yang
memadai. Jangan terbuai pencitraan politik berlebihan karena hanya akan
memabukkan dan membuat lupa daratan.
Sangat
mungkin pemerintahan Jokowi-JK mengalami retrogresi politik, yakni penurunan
kualitas politik akibat terlalu mengurusi zona nyaman kekuasaan elite.
Jokowi-JK sedang memimpin negeri ini menapaki jalan terjal konsolidasi
demokrasi. Karenanya, dibutuhkan daya tahan prima agar tetap melaju membawa
perubahan signifikan.
Publik
harus bersabar sambil mengevaluasi dan mengkritisi apakah Jokowi-JK melaju ke
arah tepat atau tidak. Hakikat kekuasaan adalah amanah yang harus dituntaskan
dengan kesungguhan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar