Menegakkan
Etika Kekuasaan
Lukman Hakiem ; Anggota DPR RI 2004-2009
|
REPUBLIKA, 11 Mei 2015
Pada 19
Desember 1948, pagi sekali, tentara Belanda menyerbu ibu kota Republik
Indonesia, Yogyakarta, menangkap Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan
sejumlah menteri. Serangan militer juga dilakukan Belanda tehadap ibu kota
Sumatra Tengah, Bukittinggi. Belanda mau mengakhiri riwayat RI yang
kemerdekaannya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Di
tengah deru pesawat tempur Belanda yang menyerang Yogya, Bung Karno dan Bung
Hatta memimpin sidang kabinet yang memutuskan pemerintah akan tetap tinggal
di dalam kota dan memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin
Prawiranegara yang sedang di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat
di Sumatra. Mandat juga diberikan kepada dr Sudarsono, LN Palar, dan AA
Maramis di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan darurat jika upaya
Sjafruddin di Sumatra tidak berhasil.
Segera
sesudah mendengar kabar didudukinya Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin
Republik, Sjafruddin yang tidak pernah mengetahui ada mandat untuk dirinya
menemui Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatra (kompempus, sekarang
gubernur) Mr TM Hasan guna mendiskusikan kemungkinan kevakuman pemerintahan
yang akan menimbulkan dampak negatif di dalam maupun luar negeri. Karena itu
perlu segera dibentuk pemerintahan darurat untuk menyelamatkan negara yang
sedang dalam keadaan bahaya.
Pada
mulanya Hasan menolak gagasan Sjafruddin. Apalagi, Sjafruddin dan para
pemimpin Republik di Sumatra tak ada yang memegang mandat membentuk
pemerintahan. Namun, tanggung jawab terhadap kelanjutan perjuangan
kemerdekaan telah mengatasi aspek hukum. Maka pada 19 Desember 1949 sore
tercapai kesepakatan membentuk pemerintahan darurat dengan Sjafruddin sebagai
ketua dan TM Hasan sebagai wakil ketua.
Eksistensi
PDRI diakui para pemimpin Republik, termasuk Panglima Besar Jenderal Sudirman
di Jawa. Pesan yang disampaikannya melalui pesawat radio berpengaruh positif
terhadap eksistensi Republik. Siaran radio PDRI yang sampai di New Delhi
mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru, untuk menyelenggarakan
Konferensi Inter-Asia guna memberi dukungan kepada Indonesia.
Konferensi
mendesak PBB supaya melakukan berbagai upaya memulihkan Republik Indonesia.
Antara lain karena desakan itu, lahirlah Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28
Januari 1949 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi militer,
membebaskan para pemimpin RI yang ditahan, dan kembali ke meja perundingan.
Belanda
yang semakin terjepit posisinya, melalui Wakil Ratu Belanda di Indonesia, Dr
Beel, mencoba mengelak dari Resolusi DK PBB. Dia mengundang para pemimpin
Indonesia yang saat itu dikumpulkan di Bangka untuk datang ke Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag, langsung dari Bangka. Rencana Beel ditolak. Para
pemimpin RI menuntut agar sebelum KMB dilaksanakan, kedudukan RI dipulihkan.
Sikap
para pemimpin di Bangka itu didukung para pemimpin yang tidak ditawan seperti
Dr Darmasetiawan, Dr Halim, dan M Natsir. Ketiga tokoh mengingatkan agar para
pemimpin di Bangka tidak meninggalkan PDRI dan menjadikan berdirinya
pemerintahan RI di Yogyakarta sebagai kartu penting perundingan dengan
Belanda.
Mr
Mohamad Roem yang sejak awal terlibat proses perundingan dengan Belanda gigih
mempertahankan garis perjuangan itu. Ketika Ketua Komisi Tiga Negara (KTN),
Merle Cohran, mengundang Belanda dan Indonesia untuk memulai perundingan di
Jakarta pada 30 Maret 1949, Roem menolak. Roem menegaskan, dia hanya bersedia
membicarakan lebih dulu secara detail segi-segi praktis pemulihan RI di
Yogyakarta.
Setelah
tidak mampu mengelakkan desakan internasional, akhirnya perundingan Belanda
dengan Indonesia dimulai di Jakarta pada 14 April 1949. Delegasi Belanda
dipimpin Dr JH van Roijen, dan delegasi Indonesia dipimpin Roem.
Berbeda
dengan Roijen yang dalam pidato di awal perundingan bernada lemah lembut,
Roem berpidato tegas dan keras. "Agresi militer Belanda yang kedua
mengakibatkan hlangnya sama sekali sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi
berhasilnya perundingan damai," kata Roem seraya mengingatkan
"Resolusi DK PBB pada 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah
pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. Setelah itu
baru soal lain bisa dibicarakan kemudian."
Perundingan
yang berakhir 7 Mei 1949 itu menghasilkan Pernyataan Roem-Roijen sebagai
"Pernyataan Permulaan mengenai Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia
ke Yogyakarta." Atas dasar Pernyataan Roem-Roijen itulah tentara Belanda
ditarik dari Yogyakarta, Presiden dan Wapres serta para pemimpin RI
dibebaskan dan dikembalikan ke Yogya.
Mengenai
pentingnya kembali ke Yogya sebagai prasyarat pelaksanaan KMB, Roem
mengatakan, "Kami secara fisik lemah di Bangka, tapi sekembali di
Yogyakarta kami bisa mengatur kembali kekuatan kami dan rakyat, dan
seterusnya mengatur kembali daerah yang lain."
Sebagai
salah satu episode terakhir revolusi kemerdekaan sebelum KMB yang melahirkan
pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh atas kedaulatan Negara
Republik Indonesia (Serikat), pernyataan Roem-Roijen adalah peristiwa
bersejarah sangat penting. Bagi Roem, pernyataan itu menempatkannya dalam
deretan diplomat dunia dengan hasil karya yang senapas dengan nama
pribadinya.
Meskipun
Pernyataan Roem-Roijen menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang.
PDRI merasa ditinggalkan. Dalam kata-kata Sjafruddin, "Hanya sekali dia
(Roem) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan
Sukarno—yang waktu itu bukan menjabat presiden karena sedang dalam pembuangan—untuk
berbicara dengan Van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut
‘Pernyataan Roem-van Roijen’ (Mei 1949). Dia berani berbicara, seolah-olah
tidak ada PDRI. Padahal PDRI-lah pada waktu itu satu-satunya pemerintah yang
sah".
Jenderal
Sudirman yang dalam keadaan sakit memimpin perang gerilya, tidak terima
penggunaan istilah "pengikut Republik yang bersenjata" dalam
Pernyataan Roem-Roijen. Bagi Sudirman, penggunaan istilah itu menganggap
Angkatan Perang RI hanya sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan
kedua pemimpin perjuangan itu menggelisahkan. Setelah Yogyakarta kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogya menanti kedatangan Sjafruddin dan Sudirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Sudirman bagi para pemimpin yang berada di
Yogyakarta sangat krusial. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan,
tetapi juga bagi keutuhan RI.
Ternyata
Sjafruddin dan Sudirman kembali ke Yogya. Kedua pemimpin itu meninggalkan
kepentingan subjektif dan memilih nilai lebih tinggi, yaitu memenangkan
perjuangan bersama. Mereka kembali ke Yogya, demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan
PDRI, Pernyataan Roem-Roijen, dan Yogya kembali memperlihatkan pilihan para
pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni ikhtiar
menegakkan etika kekuasaan. Seperti dicatat Taufik Abdullah, ikhtiar
menegakkan etika kekuasaan itu tecermin dari kalimat pendek yang diucapkan
Sjafruddin dalam sidang kabinet 13 Juli 1949. "PDRI tidak mempunyai
pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, tetapi segala akibat yang
ditimbulkannya kita tanggung bersama." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar