Aspek
Ideologis Ijazah Palsu
Fathur Rokhman ; Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA MERDEKA, 28 Mei 2015
PENJUALAN ijazah dan
gelar yang diungkap Menristek Dikti M Nasir membuka kotak pandora dunia
akademik. Dalam inspeksi mendadak, ditemukan sejumlah perguruan tinggi tidak
memiliki izin. Lembaga itu ditengarai memperjualbelikan gelar akademik dengan
nominal tertentu.
Di Indonesia, gelar
akademik mulai dikenal ketika sejumlah intelektual pribumi menempuh
pendidikan di Belanda. Perkembangan gelar akademik kian masif ketika Belanda
mendirikan sejumlah sekolah tinggi.
Selain sekolah tinggi
kedokteran (School tot Opleiding van
Indische Artsen) pemerintah kolonial mendirikan sekolah teknik (Technische Hoogeschool), sekolah tinggi
hukum (Recht Hoogeschool), dan
sekolah tinggi ilmu pertanian (Landsbouwkundige
Faculteit).
Pada masa pergerakan,
tidak ada perbedaan peran mencolok antara intelektual yang berlatar belakang
pendidikan tradisional dan intelektual berlatar belakang pendidikan Barat.
Kapasitas keilmuan masing-masing tokoh samasama terakui. Mereka sama-sama
memiliki pengetahuan yang mumpuni, sikap nasionalis, sekaligus kecakapan
berorganisasi.
Santri seperti Wahid
Hasyim misalnya, memiliki peran sama besar dengan Soekarno yang bergelar
ingenieur atau Mohamad Hatta yang bergelar doktorandus. Ketika Indonesia
menjadi negara berdaulat, negara memiliki perhatian lebih besar untuk
mengembangkan pendidikan formal yang diwarisi dari Belanda.
Konsep sekolah dasar,
menengah, dan pendidikan tinggi didasarkan pada konsep akademik ala Belanda.
Adapun pendidikan nonformal lebih banyak diselenggarakan oleh masyarakat
dengan aneka bentuk. Pemerintah hanya menjadi pengayom.
Kondisi demikian
membuat paradigma postivistik yang berkembang di Belanda dan sebagian besar
Eropa tetap bertahan menjadi paradigma akademik pendidikan formal di Tanah
Air. Tradisi memberikan gelar, yang menjadi tradisi lembaga pendidikan
Belanda, diadaptasi oleh perguruan tinggi di Tanah Air ketika merdeka.
Tradisi ini kemudian
memperoleh legitimasi yuridis melalui undang-undang pendidikan tinggi.
Legitimasi bidang akademik menjadi persoalan sentral karena berkonskuensi
terhadap hak dan kewajiban.
Negara hanya mengakui
kualifikasi seseorang sejauh dibuktikan dengan dokumen sah. Logika ini
digunakan oleh negara, misalnya, dalam perekrutan PNS. Posisi tertentu hanya
dapat diakses oleh orang dengan kualifikasi pendidikan tertentu.
Kecenderungan pendidikan yang berorientasi gelar tumbuh dalam tradisi
keilmuan positivistik.
Dalam paradigma
kelimuan ini, sesuatu hanya bisa dianggap ada jika dapat dibuktikan. Hal-hal
yang bersifat spekulatif dan perskriptif, sehingga kebenarannya sulit
dibuktikan, tidak diakui sebagai kebenaran (Puspowardojo dan Seran; 2015).
Lebih Dalam
Pandangan ini perlu
dikritik karena berisiko mendangkalkan makna pengetahuan. Pengetahuan diukur
hanya jika memiliki wujud material dan eksistensinya dilegitimasi oleh
struktur yang memiliki otoritas. Padahal, makna ilmu pengetahuan jauh lebih
dalam dari itu. Bagi masyarakat timur, ilmu pengetahuan memiliki dimensi
psikologis, sosial, dan spiritual sekaligus.
Dari aspek psikologis,
pengetahuan bermakna agar manusia dapat memahami diri dan lingkungannya.
Pemahaman atas cara kerja dunia dapat membantu seseorang bertahan hidup (survive) dengan memanfaatkan materi di
sekitarnya dengan benar. Pemahaman juga diperlukan agar manusia memahami pola
relasinya dengan makhluk lain.
Dari aspek sosial,
ilmu pengetahuan merupakan peranti yang sangat penting untuk mendudukkan
hubungan manusia dengan manusia lain. Ilmu pengetahuan membantu manusia
menjalin hubungan secara etis dan terhormat dengan sesama. Dengan
pengetahuan, eksistensi manusia sebagai makhluk individu dan sosial dapat
dijaga dengan kadar yang etis, baik, dan benar.
Adapun dari aspek
spiritual, ilmu pengetahuan merupakan strategi manusia memahami hakikat diri
sebagai ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk, manusia memiliki tugas dan peran yang
perlu dijalankan. Ilmu pengetahuan yang memadai merupakan prasyarat agar
tugas keilahian yang diberikan kepadanya dapat dijalankan. Dengan demikian,
hakikat kemanusiaan seseorang dapat terjaga.
Ketiga makna itu perlu
didudukkan agar ilmu pengetahuan tetap menempati peran yang seharusnya. Ilmu
perlu selalu dijaga supaya tidak tersimplifikasi sebagai transaksi, agar
tidak terdegradasi sebagai urusan materi, juga tidak terkontaminasi sebagai
aktivitas konsumsi. Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mulia sekaligus
memuliakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar